Yusri Usman
Direktur Eksekutif CERI
PUBLIK saat ini semakin bingung. Siapa lagi pejabat yang bisa dipercaya omongannya di negeri ini? Ketika sudah 30 hari sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memerintahkan kepada menteri terkait untuk mengkalkulasi ulang harga BBM subsidi dan non subsidi. Sebab harga minyak dunia sudah jauh turun sekitar 66 persen selama semester 1 dari asumsi APBN 2020. Hal itu dikatakan Presiden dalam rapat kabinet terbatas melalui video conference dengan anggota kabinet Indonesia Maju, pada 18 Maret 2020.
Namun faktanya, sampai hari ini belum ada penurunan harga BBM dan LPG oleh Pertamina, termasuk harga jual gas untuk industri sudah dipatok USD 6 per MMBTU mulai 1 April 2020. Kenyataannya, PGN Tbk dan Pertagas Niaga sebagai anak perusahaan Pertamina masih menjual harga gas berkisar USD 10 sampai dengan USD 11 untuk industri dikawasan Industri Medan dan kawasan industri Sei Mangkei Sumut. Namun lagi dan lagi, alasan Menteri ESDM baru menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 8 Tahun 2020 pada 14 April 2020 tentang Tata Cara Penentuan dan Penetapan Harga Gas Untuk Industri Tertentu. Terkesan, lebih sibuk membuat kebijakan yang pro konglomerat batubara daripada membuat kebijakan harga gas sesuai perintah Presiden.
Meskipun tak lama berselang kemudian setelah pernyataan Presiden, tepatnya 22 Maret 2020, telah direspon oleh Corporate Communication Pertamina Fajriah Usman ke berbagai media yang menyatakan, kalau harga minyak sampai akhir bulan Maret tetap rendah, maka Pertamina akan menyesuaikan harganya. Memang lazimnya setiap tanggal 1 awal bulan, Pertamina selalu merilis harga BBM terbaru sesuai rata rata harga minyak dan nilai tukar rupiah. Begitulah perintah Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 yang ditanda tangani oleh Presiden Joko Widodo.
Harga jual BBM di sejumlah negara sejak bulan Februari sampai dengan April 2020 telah terkoreksi banyak. Tentu dinilai wajar kalau publik setiap hari bertanya, kapan ya Pertamina bisa menurunkan harga BBM? Karena harga jual Gasoline 95 (Euro 4) di SPBU Malaysia mematok harga ecerannya Rp 5200,- perliter ( RM 1,2/liter), sementara Pertamina sampai saat ini masih menjual BBM Pertamax Ron 92 (Diduga belum memenuhi standar Euro 4) dan Ron-nya juga dibawah Ron 95, masih dijual seharga Rp 9.000,- perliter, sebaliknya di Amerika untuk BBM yang setara Pertamax 92 Pertamina hari ini dijual dengan harga Rp 2.500 perliter.
Sehingga harga keekonomian BBM yang telah disampaikan oleh mantan Wamen ESDM Rudi Rubiandini (11/4/2020) bahwa harga yang wajar untuk BBM sejenis Pertamax Ron 92 adalah sekitar Rp 6.000,- perliter, tentu ada benarnya. Karena harga minyak dunia selama kuartal 1 sudah terkoreksi banyak, bahkan di pasar terjadi anomali bahwa harga produk BBM (bensin) lebih murah dari harga minyak mentah. Itu semua terjadi sejak wabah virus corona (Covid-19) merebak dan banyak negara melakukan lockdown. Kegiatan industri, tranportasi darat dan udara banyak terhenti, maka terjadi over suplly produk BBM dari kilang kilang di banyak negara. Bahkan analis energy senior di Neuberger Berman Jeff Wyll memprediksi, bisa terjadi orang membeli BBM secara gratis. Itulah hebatnya dampak pandemic Covid-19 yang tak pernah dibayangkan oleh para ahli dan semua manusia selama ini.
Terkini didapat kabar bahwa kesepakatan rencana negara negara OPEC memangkas produksinya ternyata tak mampu juga mengangkat harga minyak dunia dari titik paling nadir. Bahkan, Rabu 15/4/2020, harga minyak dunia merosot lagi. Harga minyak WTI sudah diangka USD 19, 8 perbarel, terendah sejak Tahun 2002. Harga minyak dated Brent USD 28.38 untuk penyerahan 30 – 60 hari kedepan.
Ironisnya saat seluruh rakyat Indonesia saat ini lagi mengalami paranoid pademi Covid-19, adanya kebijakan #StayAtHome dan Work From Home (WFH) dilanjutkan PSBB, tentu berakibat banyak terhadap kemampuan ekonomi mayoritas rakyat menurun tajam. Sikap bungkam pejabat tinggi ESDM dan Pertamina terhadap status harga BBM sampai saat ini patut dipertanyakan atas kesusahan rakyat? Padahal para pejabat ini bekerja digaji dari uang rakyat dengan angka yang fantastis ditambah bonus bonus dan fasilitas rumah, kendaraan yang mewah.
Anehnya sekarang bukan disikapi oleh Pertamina, malah muncul buzzer yang rajin membuat opini dan diviralkan untuk menyesatkan ke publik, membuat narasi bahwa tak perlu buru-buru Pertamina menurunkan harga BBM-nya, toh sebentar lagi juga harga minyak akan naik lagi. Ada juga mengatakan, kalaupun diturunkan tak signifikan menolong rakyat. Lucunya buzzer menyatakan, bahwa selisih turun harganya tak besar ternyata telah menggunakan formula perhitungan yang sudah usang, yaitu Kepmen ESDM No. 62 Tahun 2019, maka patut diduga buzzers ini dibawah kendali Direksi Pertamina dan para calo BBM serta LPG yang sering nongkrong dikantin Pertamina, sungguh menyedihkan.
Padahal saat ini masyarakat dunia lagi menikmati harga minyak murah, rakyat Indonesia malah dipaksa membeli harga minyak tinggi. Kapan lagi rakyat bisa menikmati harga minyak rendah kalau tidak sekarang? Janganlah rakyat selalu dikondisikan seperti pengemis yg mengharapkan BLT atau mengemis yang mengharap belas kasih Pemerintah. Sejatinya dalam situasi harga minyak dunia yang lagi terjun bebas sekarang ini, rakyat memiliki hak untuk menikmati berkah harga minyak yang murah seperti di negara negara lain.
Sesungguhnya ada masalah serius yang tak diketahui publik soal arus kas Pertamina saat ini, maka kalau benar ada masalah. Mungkin mereka yang tidak bisa efisien dalam melakukan proses bisnisnya dari hulu ke hilir, kenapa harus rakyat yang menanggungnya? Sebut saja dugaan mark up akuisisi saham blok migas diluar negeri telah membebani Pertamina sepanjang masa, yaitu akusisi blok migas di Aljazair, Murphy di Malaysia dan terakhir tahun 2017 telah mengakuisi saham Maurel et Proum Prancis untuk aset di 3 negara Afrika. Padahal dana akuisisi itu menggunakan pinjaman global bond, maka dapat dibayangkan betapa besar beban yang akan ditanggung Pertamina dari sisi bayar bunga dan membayar kewajiban pokoknya, karena ternyata antara nilai investasi dengan produksi yang dihasilkan sangat tidak ekonomis. Terbukti surat hutang Pertamina di pasar global nilainya turun hingga mencapai 85% dari nilai awal yang menunjukkan rendahnya kepercayaan pasar terhadap kinerja Pertamina.
Begitu juga ada kontrak jangka panjang pembelian LNG yang dilakukan Pertamina secara tidak efisien, sebut saja kontrak Pertamina dengan Corpus Christ Liquefaction anak usaha Cheniere Energy yang berbasis di Houston Texas Amerika. Kemudian telah menanda tangani kontrak LNG dengan Woodside Singapore sebanyak 600 ribu ton LNG, bisa ditingkatkan menjadi 1,1 juta ton yang menurut perjanjian jual belinya ( SPA/Sales Purchase Agreement) dari tahun 2022 sampai 2034, berikutnya diduga bermasalah juga kontrak pembelian LNG dengan Exxon Mobil pada 21 April 2017 sebanyak 1 juta ton mulai tahun 2025 sampai 2045. Terakhir adalah kontrak dengan Anadarko Petroleum Corporation dari Mozambik sebanyak 1 juta ton dengan jangka waktu 20 tahun. Ironisnya, pada saat yang bersamaan kita kesulitan menjual LNG bagian Pertamina dari kilang Bontang dan LNG bagian negara dari lapangan Tangguh.
Kondisi itu semakin diperparah dengan sistem pengadaan minyak di Pertamina yang belum transparan, buktinya silahkan buka website Pertamina.com dan search ke ISC crude, product procurument, maka yang ada terlihat tampilan tidak lengkap. Misalnya, tidak ada volume impor, tujuan terminal impor, informasinya dan mempostingnya juga kurang tepat waktunya. Seharusnya jauh hari sebelum tender dilaksanakan minimal 14 hari sudah ditayangkan semua rencana pembelian minyak mentah dan produk BBM dengan informasi lengkap meliputi jenis minyak, volume, terminal tujuan dan jadwal penyerahannya. Selain itu, setelah Pertamina menerima penyerahan minyak dari perusahaan pemenang, maka semua informasi harga juga harus dicantumkan didalam website tersebut. Sehingga seluruh stakeholder dapat mengetahui dengan baik dan ikut mengawal Pertamina dari “tangan kotor” baik di dalam maupun di luar Pertamina, jika ini dilakukan maka dapat dikatakan, Pertamina benar-benar melakukan transformasi bisnis di era industri 4,0 sekarang ini yang menuntut proses bisnis dilakukan secara fair dan transparan.
Oleh karena faktor-faktor di atas, maka diduga kuat menyebabkan Pertamina enggan menurunkan harga BBM. Publik juga bertanya, atas dasar pertimbangan apa KESDM mendadak merevisi tata cara perhitungan harga eceran BBM dengan Keputusan Menteri ESDM nmr 62 K/ MEN/12/2020 pada 27 Febuari 2020, yaitu formula harga untuk BBM Ron 95 dan minyak Solar CN 48 kebawah, digunakan formula MOPS / Argus + Rp 1800 perliter + margin 10% dari harga dasar, dan untuk harga Ron 95 dan minyak Solar CN 51 keatas ditetapkan dengan formula MOPS/ Argus + Rp 2000 perliter + margin 10% dari harga dasar.
Perubahan ini harusnya dilakukan secara kosekuen dan konsisten, artinya begitu patokan harga minyak turun, harga jual BBM juga semestinya turun seperti yang ditunjukkan oleh parameter MOPS ( Mean Of Platts Singapore ) dan Argus. Sekarang ini Harga Mops untuk Gasoline 92 sekitar USD 21 perbarel atau Rp. 2.100/liter. Dengan mengikuti Kepmen ESDM diatas, maka harga jual Pertamax di SPBU seharusnya sekitar Rp 4.343 perliter.
Patut disadari oleh kita semua, bahwa Harga BBM yang tak kunjung turun ini sangat menguntungkan bagi badan usaha swasta dan asing seperti, AKR, Shell, Total, Vivo dan Petronas. Namun sebaliknya, rakyatlah yang menanggung derita akibat harga BBM saat ini yang sudah kemahalan sekitar Rp 2.000 – sampai dengan Rp. 3.000 perliter. Kalau saat ini konsumsi BBM nasional perhari sudah turun sekitar 30% dari 134.000 ribu KL menjadi 100.000 ribu KL perhari, maka siapapun dengan sangat mudah menghitung berapa nilai rupiah yang diambil oleh Pertamina dari harga BBM yang jauh diatas nilai keekonomiannya.
Selain mahal, ternyata spesifikasi BBM Gasoline dan Gasoil/ Solar yang dijual di Indonesia mutunya sangat rendah dibanding standard Euro 4 seperti yang dijual di negara tetangga Malaysia dan di dunia. Spesifikasi BBM yang dijual Pertamina juga tidak sesuai dengan spesifikasi standard international yang ada di Platts / MOPS dan Argus, mengambil contoh spesifikasi Premium 88, Pertalite, Pertamax, Pertamax Turbo, Solar, Dexlite dan Dex spesifikasinya tidak sesuai dengan standard MOPS / Argus, tetapi aneh nya harga jual BBM Pertamina mengikuti harga MOPS dan ARGUS, disini sebetulnya titik krusial biang kerok perhitungan harga jual BBM di Indonesia.
Oleh sebab itu, maka wajar bila Pemerintah diwakili oleh Menteri BUMN Erick Tohir (3/4/2020) telah menyatakan, bahwa kedepan Pemerintah tidak akan menyalurkan subsidi BBM melalui Pertamina, karena ditenggarai sering melakukan window dressing terhadap laporan keuangan akhir tahun. Mungkin juga dianggap banyak penyimpangan dalam pelaksanaan subsidi BBM selama ini.
Rakyat saat ini sudah jatuh, ketimpa tangga dan tersiram air kotoran. Ironis dan tragis memang menjadi rakyat. Sebagai penutup, perlu kiranya Dewan Komisaris dan Dewan Direksi Pertamina merenung kembali, bahwa cikal bakal Pertamina ada, diawali hasil pengorbanan nyawa, darah dan airmata masyarakat di Pangkalan Berandan, yaitu peristiwa yang terjadi pada 13 Agustus 1947 yang dikenal sebagai Pangkalan Berandan Lautan Api. (*)