TARAKAN – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Tarakan ajukan anggaran untuk pemilihan kepala daerah (pilkada) 2024 sebesar Rp 8 miliar. Bawaslu berharap anggaran pilkada yang diberikan bisa tercukupi sesuai kebutuhan.

Ketua Bawaslu Kota Tarakan Zulfauzy Hasly menjelaskan rincian anggaran diajukan tersebut, salah satunya dipergunakan untuk pembayaran honorarium Badan Ad Hoc baik itu Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kecamatan, Kelurahan hingga Tempat Pemungutan Suara (TPS) termasuk petugas Sekretariat.
Selain, juga untuk biaya pelatihan dan bimbingan teknis terkait penanganan pelanggaran di sentra Gakkumdu maupun penanganan pelanggaran administrasi lainnya.


“Kan itu ada biaya juga termasuk kita mau datangkan ahli dan lain-lain sebagainya, itu termasuk dalam biaya penanganan pelanggaran. Kemudian ada biaya kaya perjalanan dinas, termasuk juga sosialisasi media, kita masukkan lah semuanya,” kata Zulfauzy, belum lama ini.
Di pemilihan Gubernur (pilgub) 2020 lalu, dijelaskan Zulfauzy Bawaslu Kota Tarakan menerima anggaran sebesar Rp 4,25 miliar. Sedangkan untuk pemilihan Walikota (pilwali), hanya mendapatkan anggaran Rp 4 miliar.
“Kalau pilgub 2020 yang kita dapatkan Rp 4,25 miliar, kita tidak mengusulkan yang mengusulkan itu Bawaslu Provinsi. Kalau yang waktu pilwali 2018 sekitar 4 juga, karena Rp 2,7 miliar kita dapat dari pemkot terus ada Bawaslu RI Rp 1,5 miliar cumakan sekarang tidak boleh lagi dibiayai harus dari pemerintah daerah,” pungkasnya.
Zulfauzy berharap, anggaran pilkada yang diberikan pemkot kepada Bawaslu mencukupi sesuai kebutuhan. Sebab besar kecilnya anggaran yang diberikan, bakal mempengaruhi kebutuhan sumber daya dan kinerja pengawasan.
Baca juga: https://facesia.com/realisasi-investasi-lampaui-target-bkpm-ri/
“Prinsipnya anggaran bisa mencukupilah kebutuhan pengawasan, karena kan akan berpengaruh juga terhadap kinerja kan. Apa kah bisa maksimal pengawasan atau tidak, paling tidak kan sedikit banyaknya dipengaruhi oleh sumber daya salah satunya anggaran minimal bisa mencukupi misalnya ada honor, kemudian sewa, Sekretariat, kemudian untuk bimtek dan sebagainya,” ujarnya.
Alasan perlu bintek, dijelaskan Zulfauzy karena antara regulasi pemilu dengan regulasi pemilihan berbeda. Begitu juga undang-undangnya juga berbeda, sehingga perlu ada bintek.
“Karena takutnya kalau tidak di bimtek, nanti dia gunakan aturan pemilu untuk menangani kasus-kasus di pemilihan. Nah ini kan beda waktunya, beda aturannya, undang-undangnya, perbawaslunya, PKPU nya juga berbeda, makanya perlu di bimtek ulang,” tegasnya.
Ia mencontohkan seperti masalah perhitungan hari antara hari kalender dan hari kerja, itu berbeda di pemilu hari kerja sedangkan di pemilihan hari kalender.
“Kemudian untuk penanganan pelanggaran itu kalau di pemilu 7+7, kalau di pilkada itu 3+2 hari, itu kan jauh kalau gak diajarkan ke mereka nanti takutnya ditangani undang-undang pemilu itu nanti bisa kadaluwarsa kasusnya,” tutupnya.(*)