TANJUNG SELOR – Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kalimantan Utara (Kaltara) menjadi sorotan berbagai pihak.

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kaltara, Syamsudin Arfah, mengungkapkan sejumlah temuan krusial Ombudsman Kaltara yang mengindikasikan pelayanan yang jauh dari optimal. Padahal, amanat Undang-Undang jelas menyebutkan bahwa masyarakat berhak atas pelayanan kesehatan yang layak.
“Dari pertemuan kami dengan Ombudsman Kaltara dan beberapa pihak terkait termasuk BPJS Kesehatan dan Direktur RSUD se Kaltara, terungkap banyak sekali cela yang membuat pelayanan BPJS Kesehatan di Kaltara ini tidak berjalan maksimal,” ujar Syamsudin Arfah, usai memimpin RDP, Selasa (22/4/2025).

Temuan-temuan dari Ombudsman sontak menarik perhatian Gubernur Kaltara, yang langsung mengambil langkah cepat untuk mengatasi permasalahan ini. Sebagai bentuk atensi serius, Gubernur Kaltara menginstruksikan diadakannya rapat koordinasi penting yang melibatkan berbagai pihak terkait. Pertemuan tersebut menghadirkan Ombudsman Pewakilan Kaltara, BPJS Kesehatan, seluruh Kepala Rumah Sakit (RS) se-Kaltara, perwakilan DPRD, serta Dinas Kesehatan (Dinkes) Kaltara.

Syamsudin Arfah membeberkan empat poin utama yang menjadi temuan Ombudsman Kaltara dan menjadi akar permasalahan pelayanan BPJS Kesehatan di Kaltara. Regulasi yang Tidak Adaptif. Regulasi yang berlaku saat ini dinilai memiliki banyak kelemahan, terutama jika diterapkan di wilayah dengan kondisi geografis yang berbeda seperti Kaltara dan Papua. Contoh konkretnya adalah aturan yang mengharuskan pasien yang datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) memiliki rujukan dari Puskesmas atau Fasilitas Kesehatan (Faskes) tingkat pertama.
“Jika ini diujicobakan di Pulau Jawa mungkin berhasil, tapi beda cerita jika diberlakukan di Kalimantan bahkan Papua. Tidak semua Puskesmas buka 24 jam. Masyarakat bisa serba salah,” tegas Syamsudin.
Menurutnya, regulasi yang kaku ini perlu disesuaikan dengan kondisi lapangan. “Jika BPJS Kesehatan terus berlindung di balik aturan yang tidak fleksibel, masalah ini akan terus berulang,” imbuhnya.
Lalu, permasalahan klaim pembayaran dari pihak rumah sakit juga menjadi sorotan tajam. Aturan yang menyebutkan bahwa klaim yang melewati batas waktu enam bulan akan hangus dinilai memberatkan rumah sakit. Di sisi lain, banyak rumah sakit yang justru baru menerima tagihan setelah satu tahun berjalan dengan alasan klaim dianggap tidak sesuai. Lebih ironis lagi, rumah sakit terpaksa mengembalikan dana yang sudah diterima.
Temuan lain menunjukkan adanya permasalahan pada implementasi SOP dokter. Seringkali, dokter tidak secara lengkap mengisi rekam medis, misalnya tidak memberikan tanda centang atau mengisi informasi yang dibutuhkan. Akibatnya, pihak rumah sakit diminta untuk mengembalikan dana klaim.
Ombudsman Kaltara juga menemukan bahwa BPJS Kesehatan tidak menempatkan petugasnya di rumah sakit untuk menerima dan menindaklanjuti aduan dari pasien maupun pihak rumah sakit yang standby 24 jam. Hal ini menyulitkan penyelesaian masalah di tingkat awal dan memperpanjang proses birokrasi.
Syamsudin Arfah menyayangkan sikap BPJS Kesehatan yang terkesan terus berlindung di balik aturan yang ada. Selain itu, alasan klasik terkait defisit anggaran dan keterbatasan premi juga terus diulang. “Menaikkan premi pun tidak akan menyelesaikan persoalan mendasar ini jika regulasi dan implementasinya masih bermasalah,” tuturny.
Menyikapi temuan-temuan tersebut, Syamsudin Arfah menyampaikan bahwa Gubernur Kaltara memberikan atensi penuh. Rapat koordinasi lanjutan yang akan segera digelar diharapkan dapat menghasilkan solusi konkret dan tidak lagi merugikan masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan.
“Kesimpulannya, perlu diadakan rapat koordinasi yang dipimpin oleh Dinkes, BPJS, dan perwakilan rumah sakit. Harus dibahas secara tuntas, jangan sampai ada masyarakat yang kesulitan berobat,” tegas Syamsudin. Pihak pemerintah provinsi dan DPRD Kaltara memberikan waktu satu bulan agar permasalahan ini dapat diselesaikan dan pelayanan BPJS Kesehatan di Kaltara menjadi lebih baik. (nri)