
Oleh : ERNAWATI, S.Si
Guru SMPN 7 Tarakan




BARU-BARU ini kita dikejutkan dengan berita kejadian bunuh diri seorang pelajar SMP di salah satu sekolah swasta di Kota Tarakan yang diduga karena stress akibat tugas daring menumpuk. Kejadian bunuh diri pelajar ini bukan yang pertama kalinya. Pernah diberitakan sebelumnya, pada tanggal 17 Oktober 2020 seorang siswi SMA di Gowa Sulawesi Selatan juga melakukan aksi bunuh diri dengan meminum racun rumput yang diduga karena depresi akibat belajar daring. Pihak KPAI serta-merta menyalahkan Kementrian Pendidikan, Dinas Pendidikan, Kementrian Agama, Sekolah, dan guru atas kejadian tersebut yang dianggap aktifitas PJJ yang dilakukan terlalu membebani siswa dan menjadi sumber depresinya. Dalam hal ini sebenarnya diperlukan pengkajian lebih jauh terkait pemicu kejadian – kejadian tersebut.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Gowa AKP Jufri Natsir pada keterangan persnya Selasa, 3 Nopember 2020 mengatakan, “Dari hasil keterangan para saksi ditemukan fakta bahwa korban mengakhiri hidupnya karena kecewa akibat permintaan untuk dibelikan sebuah sepeda motor tidak terpenuhi”. Dari pernyataan tersebut akhirnya diketahui bahwa almarhum berniat mengakhiri hidupnya bukan semata – mata karena depresi dengan pembelajaran daring tapi karena faktor yang lain.



Pun begitu dengan kejadian yang di Tarakan, menurut pengakuan ibu korban kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Tarakan, Bpk. Tajuddin Tuo, bahwa almarhum itu memiliki kebiasaan main game (HP) sampai larut malam bahkan sampai dini hari. Tidak ingin anaknya terus kecanduan main game maka HP tersebut di sita oleh ibunya dengan harapan anaknya bisa fokus belajar dan tidak bergadang sampai larut malam. Tetapi berita yang terlanjur berkembang adalah anak tersebut bunuh diri akibat depresi karena tugas selama PJJ menumpuk dan adanya nada ancaman dari pihak sekolah untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.



Dari dua kejadian di atas, kita harus mengevaluasi banyak hal. Tidak serta merta menyalahkan pihak sekolah dan dinas pendidikan, atau menyalahkan orang tua, dan anak itu sendiri. Di sini kita semua sebenarnya adalah korban. Korban dari diterapkannya sistem kapitalis sekuler di tengah-tengah kehidupan kita. Akibat sistem kapitalis sekuler, kebanyakan orang tua (baik ayah maupun Ibu) menjadi sibuk bekerja untuk memenuhi nafkah keluarga di mana kebutuhan ekonomi kian hari kian melambung tinggi.



Akibatnya anak – anak menjadi kurang perhatian, kurang kasih sayang, dan anak menjadi akrab dengan gadget dan benda – benda pemuas eksistensi diri lainnya. Gadget dan benda-benda tersebut seolah menjadi segalanya. Didukung dengan sistem sosial yang serba bebas dan hedonis, anak mendapat contoh kehidupan yang serba permisif. Frustasi dan bunuh diri adalah sebagian contoh yang sangat mudah anak-anak akses melalui sosial media sehingga hal tersebut akan muncul menjadi pilihannya saat mereka mengalami hal yang sama. Ditambah lagi dengan lemahnya penanaman nilai agama baik oleh keluarga maupun sekolah menjadikan anak jauh dari ketaatan kepada Allah SWT, tidak menjadikan halal dan haram sebagai standart perbuatannya dan jiwa – jiwa mereka menjadi jiwa yang rapuh dan kosong.



Untuk kegiatan Pembelajaran Jarak Jauh akibat pandemi yang diduga menjadi penyebab siswa depresi tidak ada salahnya juga dievaluasi. Adanya pandemic Covid-19 memaksa banyak pihak (orang tua, anak, dan guru) untuk beradaptasi dengan pola pembelajaran baru. Yang awalnya kegiatan belajar mengajar dilakukan secara tatap muka di sekolah harus bergeser menjadi pembelajaran secara online di rumah. Tidak mudah bagi ketiga pihak tersebut untuk beradaptasi. Guru dituntut untuk menguasai platform pembelajaran online, menyiapkan bahan-bahan ajar online, mengelola kelas secara daring, membangun komunikasi massif dengan orang tua dan siswa, sehingga bisa dikatakan tugas guru dalam masa PJJ ini semakin banyak.



Begitu juga dengan orang tua, yang awalnya cukup mengantar jemput anaknya ke sekolah sekarang harus terlibat langsung mendampingi kegiatan belajar anak di rumah padahal di sisi lain mereka tetap harus melaksanakan rutinitas hariannya belum lagi minimnya latar belakang akademis orang tua sehingga sering kali ini membuat orang tua mengeluh tidak memahami baik itu platform pembelajaran online maupun materi – materi pelajaran yang diajarkan sehingga mereka tidak bisa membantu banyak dalam pendampingan belajar. Untuk siswa sendiri juga mengalami hal yang sama, mereka tidak bisa lagi belajar dan bermain bersama teman – temannya, menyimak secara langsung penjelasan dari bpk/ibu guru.
Banyak kesulitan yang dihadapi. Kesulitan memahami materi yang disampaikan secara daring, kesulitan mengerjakan tugas mandiri, dan tidak jarang juga mengalami kesulitan jaringan serta kuota internet. Pada kondisi ini sebenarnya dituntut bagi kita semua untuk saling berempati. Membangun komunikasi dan kerja sama yang harmonis antara ke tiga pihak agar kesulitan yang ada bisa dilewati dan diselesaikan bersama. Tidak boleh saling menghakimi tetapi bersama-sama mencari solusi dari setiap permasalahan yang muncul.
Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan sendiri sudah memberikan kebijakan penyederhanaan kurikulum dalam masa pandemic covid – 19 ini. Dalam berbagai webinar yang diadakan baik oleh kemendikbud dan lembaga-lembaga lain juga sudah massif mensosialisasikan dan mengedukasi hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan PJJ. Hanya saja sayangnya seringkali tidak semua guru merasa perlu untuk mengetahui hal itu. Sehingga di sinilah kadang – kadang muncul kesenjangan antara apa yang sudah direncanakan oleh pemerintah dengan eksekusi di lapangan. Meskipun saya juga tidak mengatakan apa yang direncanakan pemerintah sempurna 100%.
Dalam kesempatan ini saya akan mengingatkan kembali kepada kita semua tujuan dan prinsip PJJ. Tujuan dari PJJ adalah : Mencegah penularan covid – 19, pemenuhan hak belajar, pemenuhan dukungan psikososial, dan melindungi siswa dari dampak buruk covid-19. Adapun ada 6 Prinsip dalam PJJ yaitu : Kesehatan dan keselamatan yang utama, memberikan pengalaman belajar yang bermakna, fokus pada pendidikan kecakapan hidup, pembelajaran inklusif sesuai usia dan jenjang, tugas yang diberikan bervariasi, adanya komunikasi interaktif dan saling memberi umpan balik.
Dari tujuan dan prinsip PJJ yang sudah dirumuskan saya ingin menambahkan bahwa penanaman ketakwaan individu harusnya menjadi prioritas utama. Orang tua harus meluangkan banyak waktu untuk mendampingi putra-putrinya, orang tua hadir tidak hanya menuntut anak-anaknya untuk melakukan tugas dan kewajibannya tetapi orang tua juga hadir sebagai sahabat, dan tempat anak-anak melabuhkan keluh kesahnya. Jangan sampai ada jiwa-jiwa yang patah berikutnya kemudian nekat untuk mengakhiri hidupnya.
Tugas kita adalah menjaga generasi. Sekolah bersinergi dengan orang tua untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan anak bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya, yaitu bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki pengetahuan, sehat jasmani dan rohani, memiliki budi pekerti yang luhur, mandiri, berkepribadian yang mantap, dan bertanggung jawab terhadap bangsa dan masyarakat. Bersama kita pasti bisa, dan semoga pandemic ini memberikan pelajaran yang berharga bagi kita semua. Karena kita sudah belajar, kita berdo’a semoga pandemic segera pergi. Salam sehat dan bahagia. (*)