Facesia.comFacesia.comFacesia.com
Font ResizerAa
  • HOME
  • NEWS
    • NASIONAL
  • ADVETORIAL
    • PEMPROV KALTARA
    • PEMKOT TARAKAN
    • PEMKAB BULUNGAN
    • PEMKAB NUNUKAN
    • PEMKAB MALINAU
    • PEMKAB TANA TIDUNG
  • DPRD
    • DPD RI
    • DPRD KALTARA
    • DPRD TARAKAN
    • DPRD BULUNGAN
    • DPRD NUNUKAN
    • DPRD MALINAU
    • DPRD KTT
  • TNI POLRI
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • FACETIGASI
  • OPINI
  • FACE TV OFFICIALFACE TV OFFICIALFACE TV OFFICIAL
Reading: Efektifkah Pelarangan Miras melalui Mekanisme Legislasi Ala Demokrasi?
Share
Font ResizerAa
Facesia.comFacesia.com
  • FACE TVFACE TVFACE TV
  • OFFICIAL
  • HUKRIM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • NASIONAL
  • INTERNASIONAL
  • ADVETORIAL
Search
  • HOME
  • NEWS
    • NASIONAL
  • ADVETORIAL
    • PEMPROV KALTARA
    • PEMKOT TARAKAN
    • PEMKAB BULUNGAN
    • PEMKAB NUNUKAN
    • PEMKAB MALINAU
    • PEMKAB TANA TIDUNG
  • DPRD
    • DPD RI
    • DPRD KALTARA
    • DPRD TARAKAN
    • DPRD BULUNGAN
    • DPRD NUNUKAN
    • DPRD MALINAU
    • DPRD KTT
  • TNI POLRI
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • FACETIGASI
  • OPINI
  • FACE TV OFFICIALFACE TV OFFICIALFACE TV OFFICIAL
Follow US
© 2015 Facesia.com | All Rights Reserved.
Advetorial
OPINI

Efektifkah Pelarangan Miras melalui Mekanisme Legislasi Ala Demokrasi?

redaksi
redaksi
29 November 2020
Share
SHARE

Oleh: Hamsina Halisi Alfatih
(Korda Muslimah KARIM Kendari )









 

DPR kembali menggulirkan rancangan undang-undang tentang larangan minuman beralkohol dengan dalih untuk menciptakan ketertiban dan menaati ajaran agama, walaupun tidak ada data akademis yang menunjukkan jumlah kasus kriminalitas akibat minuman beralkohol. (bbcnews.com,13/11/20)







Wacana pelarangan minuman beralkohol yang dirancang melalui RUU mobil sudah dibahas sejak tahun 2015 lalu. Namun, pembahasan RUU tersebut mentok akibat pendapat DPR yang tak sejalan dengan pemerintah. Lalu kemudian RUU Minol  ini kembali dibahas tanggal 14 November 2020 lalu.







Pengusul RUU Larangan Minol terdiri atas 21 anggota DPR RI yakni 18 anggota Fraksi PPP, dua anggota Fraksi PKS, dan satu anggota Fraksi Partai Gerindra. Meskipun banyak fraksi yang mendukung RUU  Larangan Minol, namun rupanya ada beberapa pihak yang menolak jika RUU tersebut disahkan.







Penolakan RUU Larangan Minol datang dari Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonnesia (PGI) Gomar Gultom yang angkat suara berkaitan dengan wacana pembahasan Rancangan Undang-undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol) yang tengah digodok di DPR.







Menurut Gultom pendekatan undang-undang ini sangat infantil alias segala sesuatu dilarang. Padahal, kata dia, negara lain seperti Uni Emirat Arab mulai membebaskan minuman beralkohol untuk dikonsumsi dan beredar luas di masyarakat. (cnnindonesia.com,13/11/20)







Bahkan penolakan RUU Pelarangan Minol datang dari Fraksi Golkar dan Fraksi PDI Perjuangan yang mengisyaratkan bakal menolak Rancangan Undang-undang atau RUU Minuman Beralkohol.

Ketua Kelompok Fraksi Golkar di Baleg, Firman Soebagyo, mengusulkan pimpinan Badan Legislasi untuk berkomunikasi terlebih dulu dengan pemerintah terkait RUU yang akan masuk Prolegnas 2021. Ia beralasan agar RUU yang diusulkan DPR sejalan dengan yang menjadi perhatian dan fokus pemerintah. Senada dengan Firman, Ketua Kelompok Fraksi PDIP di Baleg DPR, Sturman Panjaitan meminta pengusul jeli dalam memperhatikan keberagaman di Indonesia. (Tempo.co,13/11/20)

Berdasarkan draf yang diterima Bisnis.com (12/11/20), RUU Larangan Minuman Beralkohol terdiri dari tujuh bab dan 24 pasal. Pasal 4 beleid tersebut memaparkan klasifikasi minuman-minuman beralkohol yang dilarang, diantaranya minuman beralkohol dengan kadar etanol lebih dari 1 persen hingga 55 persen, minuman beralkohol tradisional, dan juga campuran maupun racikan.

Adapun RUU Larangan Minol berisi tentang larangan untuk setiap orang mengonsumsi, memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan maupun menjual minuman beralkohol. Dalam RUU ini kemudian juga terdapat sanksi pidana bagi pihak yang melanggar aturan.

DPR mengklaim tujuan dari dibentuknya RUU ini terdapat pada Pasal 3 diantaranya: melindungi masyarakat, menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol, dan juga menciptakan ketertiban dan ketenteraman di masyarakat dari para peminum minuman beralkohol.

Namun ada hal menarik, dalam RUU Pelarangan minol tersebut terdapat pengecualian yaitu untuk kepentingan terbatas yang terdapat pada pasal 8 yakni “Minuman beralkohol ditetapkan untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan”.

Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan yang dilakukan oleh tim terpadu yang diatur dalam Bab IV mengenai pengawasan terdapat pada Pasal 10 (1) “Pemerintah dan Pemerintah Daerah berwenang melaksanakan pengawasan Minuman Beralkohol mulai dari memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, menjual, dan mengonsumsi Minuman Beralkohol”, hingga tercantum dalam pasal 16.

Maka bisa disimpulkan, pelarangan minol yang tidak hanya mendapatkan pertentangan dari beberapa fraksi DPR namun RUU ini sejatinya tengah menyalahi prinsip legislasi dasar ala demokrasi. Aturan yang masih dalam bentuk draft ini sejatinya hanyalah ilusi belaka untuk  menyelesaikan persoalan terkait minuman keras karena pada dasarnya dalam aturan tersebut masih membolehkan dengan catatan adanya pengawasan dan pengendalian.

Dengan kata lain, RUU Pelarangan Minol yang bersifat delusi tak rasional diterpakan secara menyeluruh. Hal yang biasa kita dapati aturan yang dilegalkan dengan jalan legislasi dalam demokrasi. Penentuan halal dan haram masih belum ditetapkan secara tegas. Padahal sebagai muslim kita tentu tahu bahwasanya miras mengandung zat berbahaya dan telah jelas diharamkan di dalam Al Qur’an. Ini bukan tentang seberapa bahayanya untuk dihindari tetapi bagaimana sikap kita menetapkan suatu perkara berdasarkan syari’at.

Penentuan halal dalam haram ketika dibicarakan dalam sebuah parlemen, hal ini hanya mencangkup pada ranah pribadi atau individu semata. Namun jika penentuan halal-haram di legislasikan mengikat rakyat maka hal ini tidak diperbolehkan. Tak mengherankan karena jelas aturan agama hanya berlaku bagi individu tapi tidak bagi negara. Sebab, para elit politik ini tengah mangadopsi sekulerisme yang memisahkan agama dan negara.

Sekularisme yang pada dasarnya membatasi keimanan, ketaatan dan halal haram hanya pada lingkup pribadi  dan ibadah ritual semata jelas ini merupakan kesalahan fatal jika berkaca melalui pandangan Islam. Padahal Allah SWT telah memerintahkan agar seluruh umatnya untuk berislam secara kaffah (menyeluruh). 

Sebagaimana dalam firmannya: ” Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu menuruti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu”.(QS. Al-Baqarah[2]:208)

Di ayat lain Allah SWT telah menegaskan agar umatnya tidak mengimani sebagian perkara dan mengingkari perkara yang lain. “Apakah kamu beriman kepada sebahagian Allah Kitab dan mengingkari sebagian lainnya? Tiadalah balasan bagi orang-orang yang berbuat demikian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak akan lengah kepada apa yang kamu perbuat. (QS Al-Baqarah [2]: 85)

Rasulullah SAW sendiri tidak pernah mencontohkan halal haram hanya berlaku pada individu semata. Seperti haramnya miras berlaku bagi individu dan negara. Bahkan Nabi Muhammad SAW melarang perilaku ini dengan sabdanya yang artinya: “Allah melaknat peminum khamer dan penjualnya.” (HR. Hakim)

Menurut Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam kitab Minhajul Muslim, hukuman peminum khamar adalah dengan dicambuk 80 kali pada bagian punggungnya. Had ini sesuai dengan yang dicontohkan Nabi Muhammad bagi para pelanggar larangan minum khamer.

Adanya sanksi tegas bagi para pelanggar syari’at telah tercantum tegas didalam Al Qur’an dan As Sunnah sebagai bukti bahwa penentuan halal-haram merupakan hukum negara. Sanksi yang diberikan oleh negara terhadap peminum maupun penjual miras seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW hanya akan berlaku jika diterapkan dalam Institusi Khilafah Islamiyyah. Jika berharap ditetapkan dalam legislasi ala demokrasi maka semua hanyalah sebuah kemustahilan. (*)

Print Friendly, PDF & Email
Share This Article
Facebook Email Print
What do you think?
Love0
Sad0
Happy0
Sleepy0
Angry0
Dead0
Wink0
Leave a review

Leave a Review Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Please select a rating!

Pencarian

Berita Terbaru

  • Kapolres Tarakan Apresiasi Antusiasme Masyarakat dalam Lomba Gerak Jalan HUT ke-80 RI 24 Agustus 2025
  • PWI Bulungan: Kepentingan Organisasi di Atas Kepentingan Pribadi 23 Agustus 2025
  • PWI Nunukan Ajukan Empat Tuntutan Penting ke PWI Kaltara: Evaluasi Kepemimpinan hingga Netralitas Kongres!   23 Agustus 2025
  • Tasyakuran PAN ke 27 Tahun, Launching Program Pengajian Sekaligus Bagikan Paket Pangan 23 Agustus 2025
  • Satlantas Polres Tarakan Tebar Kebaikan Melalui Jumat Sedekah Barokah 23 Agustus 2025
- Advertisement -

Advetorial

PT PRI Bekali Mahasiswa UBT di Acara Seminar K3 
ADVETORIAL
MODENA Perkenalkan Chest Freezer Terbaru, Solusi Andal untuk Berbagai Sektor Usaha
ADVETORIAL
PRI Peduli: Gelar Pengobatan Gratis dan Bagikan Bingkisan Natal
ADVETORIAL
Perayaan Nataru di Gereja HKBP Tarakan Berlangsung Semarak, Gubernur Ajak Warga Kaltara Tingkatkan Toleransi dan Kerjasama
ADVETORIAL
© 2025 Facesia.com | All Rights Reserved.
  • Pedoman Media Siber
  • Beriklan
  • Policy
  • Redaksi
  • Karir