TARAKAN – Layanan pembayaran digital, Qris (Quick Response Indonesia Standard) di berbagai usaha menjadi perhatian belakangan ini. Pasalnya, kehadiran layanan tersebut dinilai sangat memudahkan pemilik usaha dan pembeli dalam proses jual beli di tengah mewabahnya Covid-19.

Pengamat ekonomi, Dr Margiyono SE MSi menjelaskan, dengan hadirnya sistem pembayaran berbasis digital yang diluncurlan Bank Indonesia (BI) sejak awal tahun 2020, masyarakat tidak lagi memerlukan waktu lama beradaptasi. Sehingga, secara perlahan uang digital dapat menjadi pilihan utama masyarakat dalam memudahkan pembayaran.
“Tidak dapat dipungkiri, kemudahan bertransaksi dan memberikan kenyamanan serta keamanan di masa pandemi, membuat uang digital perlahan mampu mencuri hati masyarakat. Di momen saat ini masyarakat dapat merasakan langsung bagaimana tujuan dari uang digital. Yang awalnya sebagian masyarakat tidak begitu tertarik kemudahan itu, akhirnya ‘terpaksa’ mencoba dan merasakan langsung perbedaannya,” jelas Margiyono, Selasa (27/12).
Penggunaan Qris, kata Margiyono, juga mengubah perilaku masyarakat dalam bertransaksi ke arah yang modern. Hal itu juga tidak terlepas dari upaya sosialisasi yang dilakukan BI kepada masyarakat Kaltara selama ini. Selain itu, menurutnya kondisi covid-19 juga secara tidak langsung berpengaruh terhadap penggunaan uang digital.

“Penggunaan Qris sendiri ada mengubah perilaku masyarakat dari tradisional, konvensional menjadi masyarakat modern dan efisien karena untuk melakukan transaksi dengan batas tertentu. Artinya tidak perlu menggunakan mata uang. Tujuan belakangan ini, bukan lebih kepada efisiensi ekonomi, tetapi menjadi cara meminimalisir penularan Covid-19,” paparnya soal layanan yang diluncurkan oleh BI dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) sejak 17 Agustus 2019 silam tersebut.
Dalam menyikapi potensi penularan Covid-19, lanjutnya, proses jual beli bisa menjadi media yang berpotensi terjadinya penularan. Sebab, aktivitas tersebut membuat si pembeli yang memegang uang harus memindahkan uang ke tangan orang lain. Proses inilah yang dikhawatirkan memudahkan penularan Covid-19 ke masyarakat.
“Beberapa masyarakat memang, sudah mulai menggunakan aplikasi itu, apakah itu LinkAja, Gopay atau Qris. Di Tarakan, mungkin sebagian di Tanjung Selor itu mulai diperkenalkan masyarakat dan digunakan. Dan Kaltara saya berpikir bahwa ini agak penting,” kata Dosen Universitas Borneo Tarakan ini.
Tidak hanya di pusat kota, pembayaran digital menggunakan aplikasi Qris juga sangat bermanfaat di perbatasan, salah satunya Sebatik yang pernah tumbuh dengan dua mata uang, yakni rupiah dan ringgit. “Misalnya di Nunukan atau sebatik mata uang ringgit menjadi alternatif masyarakat transaksi. Kalau masyarakat di Kaltara menggunakan pembayaran virtual, (tentu) akan menggerus penggunaan uang ringgit sebagai transaksi,” jelas Margiyono.
“Kalau penggunaan uang digital di perbatasan dapat meningkat, maka hal itu akan membuat berkurangnya peran ringgit di perbatasan. Bahkan mungkin ringgit bisa saja tidak lagi digunakan,” sambungnya.
Tidak hanya itu, penggunaan uang digital, sebut Margiono, dapat memaksimalkan pendapatan daerah serta meminimalisir kerugian. Dia memberi contoh peran pembayaran digital dalam peningkatan pendapatan daerah telah diterapkan di Kota Tarakan. Hal ini sesuai dengan visi Kota Tarakan sebagai Smart City yang mengendalikan pembayaran menggunakan sistem digital yang bertujuan agar seluruh pembiayaan maupun anggaran yang masuk terpantau dengan rapi.
“Dengan demikian, sekecil apapun uang yang masuk akan tercatat dengan rapi. Tetapi kalau menggunakan konvensional, selama ini dengan karcis, itu kan kita tidak memantau bagaimana tingkat, misalnya akurasi dari pencatatan dan parkir atau pajak lajnnya. Serta tidak dapat mendeteksi besar kebocoran pendapatan setiap harinya. Dengan demikian, (pembayaran digital) meminimalisir kerugian,” jelasnya. (*/da)