JAKARTA – Pengamat pendidikan dari Vox Populi Institut Indonesia Indra Charismiadji menilai program Kampus Mengajar besutan Mendikbud Nadiem Makarim memiliki esensi yang hampir serupa dengan Indonesia Mengajar milik Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ketika masih bergelut di dunia pendidikan.
“Perbedaannya, Indonesia Mengajar dibuat orang di luar Kemendikbud. Jadi tentunya pendekatannya beda dengan kampus mengajar ini. Yang itu (Kampus Mengajar) program pemerintah, dibiayai APBN,” kata Indra, Rabu (10/2/2021).

Indonesia Mengajar adalah sebuah lembaga nirlaba yang berperan meningkatkan kualitas pendidikan. Program ini melibatkan pemuda yang dianggap memiliki kualifikasi dan ingin berpartisipasi untuk mengajar di sekolah dasar (SD) di penjuru daerah.
Lembaga tersebut sudah berdiri sejak 2009, ketika Anies saat itu masih menjadi Rektor Universitas Paramadina. Antusiasme kalangan muda terhadap program ini cukup tinggi. Indonesia Mengajar meraup 1.383 pendaftar pada angkatan pertama, dan naik tiga kali lipat pada angkatan kedua.
Konsep ini kemudian yang dinilai hampir serupa dengan yang diterapkan Kampus Mengajar. Bedanya saat ini, Nadiem menargetkan tenaga pengajar dari kalangan mahasiswa. Mereka dapat imbalan uang kuliah hingga Rp2,4 juta dan biaya hidup Rp700 ribu per bulan.

Indra menilai langkah ini tidak tepat dan cenderung asal-asalan. Mengerahkan mahasiswa dengan pelatihan yang minimum untuk mengajar di sekolah, kata dia, seolah menunjukkan pemerintah menganggap remeh pembelajaran di tingkat SD.
“Anak mahasiswa disuruh ngajar, pertanyaannya adalah kualifikasi apa yang dimiliki anak-anak kita ini disuruh ngajar adik-adik kelasnya? Apa mereka punya kapasitas? Ini yang bisa membuktikan ternyata pemerintah menganggap enteng, menganggap remeh,” ucap dia.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri tidak menetapkan banyak kriteria untuk mahasiswa yang bisa ikut mengajar. Program terbuka untuk semua mahasiswa semester 5 ke atas di PTN dan PTS, selama memiliki IPK lebih dari 3 dan disarankan punya pengalaman berorganisasi.
Menurut Indra, upaya pemerintah menjadikan mahasiswa sebagai solusi membenahi kendala pendidikan di tengah pandemi seolah melupakan peran guru yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang terbukti secara akademik.
Alih-alih membenahi pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan mendukung potensi guru, ia menyinggung program ini justru menganggap mahasiswa punya kemampuan melebihi guru sehingga bisa membawa perubahan di sekolah.
Indra sendiri tak kaget melihat konsep Kampus Mengajar serupa dengan lembaga lain yang sudah 12 tahun berjalan. Menurutnya, kemiripan konsep program besutan Nadiem dengan program pihak swasta sudah beberapa kali terjadi.
“Merdeka Belajar, Sekolah Penggerak, Guru Penggerak, Organisasi Penggerak, portal Guru Belajar, itu kan copy paste semua dari Sekolah Cikal. Jadi bukan hal yang aneh,” tuturnya.
Pada pertengahan tahun lalu, sempat beredar kabar bahwa slogan program ‘Merdeka Belajar’ yang kerap digunakan Kemendikbud di bawah Nadiem ternyata merek dagang milik sekolah swasta, Sekolah Cikal.
Pendiri Sekolah Cikal, Najeela Shihab membenarkan bahwa Merdeka Belajar mulanya adalah gerakan yang menjadi inovasi dia. Pada 2015, Sekolah Cikal mendaftarkan merek Merdeka Belajar yang merupakan nama dari program pelatihan guru milik mereka.
Pada 2017, Sekolah Cikal juga sempat menerbitkan buku mengenai metode mengajar berjudul Merdeka Belajar. Sementara gagasan Merdeka Belajar baru diungkap Nadiem ketika menjadi Mendikbud pada 2019 dengan konsep yang hampir serupa, yakni memberi ruang fleksibilitas di dunia pendidikan.
Menurut Indra pendekatan seperti ini sah-sah saja dilakukan Nadiem ketika dirinya masih menjadi pemimpin di perusahaan swasta. Namun di lingkungan kementerian, ia mengingatkan setiap kebijakan publik sepatutnya disusun dengan pertanggungjawaban akademis. Terlebih di dunia pendidikan.
“Berhati-hati lah ketika menangani pendidikan. Karena ini soal masa depan bangsa,” lanjut dia.(int/sha)