Oleh: Suparji Achmad
“BANCAKAN” secara leksikal dimaknai acara makan bersama dalam satu wadah. Dalam serpihan pikiran di tengah kepedihan pandemic covid-19, kata bancakan dimaksudkan untuk merepresentasikan pola pengelolaan dana bencana yang dilakukan secara konspiratif dan tidak bertanggung jawab secara hukum.
Kondisi serba keterbatasan akibat pandemi Covid-19 yang terjadi di seluruh dunia, masih saja atau berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan orang-orang/kelompok tertentu. Di Indonesia pun sudah banyak kasus dana bantuan bencana yang sebenarnya untuk meringankan penderitaan masyarakat yang terdampak akibat hal tersebut di korupsi.
Pemerintah pun dalam menanggulangi dampak pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal Maret 2020 di tanah air, menggelontorkan dana yang cukup fantastis, yakni sebesar Rp 405,1 triliun. Sebagian dana tersebut digunakan untuk program Kartu Prakerja dengan alokasi anggaran sebesar Rp 20 triliun untuk 5,6 juta peserta, dengan tujuan menyelamatkan buruh di tengah gelombang Pemutuan Hubungan Kerja (PHK).
Ada banyak hal yang sangat perlu diperhatikan pada program kartu prakerja ini agar efektif dan efisien, serta tidak terjadi pemborosan. Antara lain, soal kepesertaan, proses seleksi, persebaran kepesertaan, metode pelatihan, lembaga pelatihan, dan link and match dengan dunia usaha.
Dari sekian banyak hal yang perlu diperhatikan tersebut, keberadaan lembaga pelatihan menjadi hal yang paling disoroti. Sebab, salah satu kunci keberhasilan program ini terletak pada lembaga pelatihan yang diajak kerja sama.
Sebagaimana disebutkan pemerintah, setiap pelatihan kerja yang dilakukan, pemerintah menyiapkan Rp3,55 juta per orang. Dari 3,55 juta itu, 1 juta diantaranya akan dipergunakan untuk biaya pelatihan. Sementara, para peserta mendapatkan Rp 600 ribu per bulan untuk empat bulan ke depan. Masalahnya, apakah lembaga pelatihan yang ditunjuk memiliki kompetensi dan penunjukannya tidak terjadi conflict of interest.
Para wakil rakyat di DPR, khususnya di Komisi III yang membidangi masalah hukum ini menyoroti program yang awalnya untuk menanggulangi pengangguran di Indonesia yang berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2019 berjumlah 7,05 juta orang. Mereka meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengawasi secara detail program Kartu Prakerja, karena diduga terjadi penyimpangan di dalamnya.
Permintaan tersebut hendaknya ditindaklanjuti oleh KPK agar dana tersebut tidak disalahgunakan pengelolaannya. Sebaiknya juga mereka-mereka yang mempunyai dugaan tersebut membantu KPK dengan memberikan data yang dimiliki. Potensi penyimpangan memang bisa saja terjadi. Misalnya, anggaran untuk pelatihan dikurangi karena penunjukan penyelenggara pelatihan terjadi konspirasi. Begitu juga pengadaan barang dan jasa bisa saja terjadi mark up. Jika memang terjadi korupsi, maka KPK harus segera bertindak dengan menuntut pihak-pihak yang harus bertanggung jawan dengan hukuman yang maksimal.
KPK pun mengancam akan menuntut pidana hukuman mati kepada mereka yang melakukan korupsi dana penanggulangan bencana pandemi Covid-19. Hal itu dilakukan karena keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi. Penerapan hukuman mati bagi koruptor di Indonesia diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal tersebut berbunyi “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor berbunyi “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Hukuman mati bagi koruptor dana bencana ini dinilai sebagai bentuk keadilan bagi masyarakat. Mengapa demikian? Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, ada 1,7 juta orang yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan sepanjang pandemi Covid-19 di Indonesia. Jumlah tersebut masih ditambah dengan 314.833 orang pekerja sektor informal yang juga terdampak Covid-19.
Mungkin pernyataan paling tepat bagi mereka-mereka tersebut adalah hidup dengan segala keterbatasan. Pasca dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 31 Maret 2020 yang dibarengi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka percepatan penanganan Covid-19 pada 4 April 2020, kehidupan yang dialami masyarakat semakin menderita.
Hal itu dapat dilihat dari konsekuensi kebijakan PSBB yang dipilih oleh Pemerintah. Sekolah-sekolah, tempat-tempat kerja diliburkan, kegiatan keagamaan dibatasi dan kegiatan di tempat atau fasilitas umum dilarang. Masyarakat diwajibkan untuk melakukan berbagai aktivitas di rumah saja. Apalagi di saat bulan Ramadhan ini. Aktivitas beribadah umat Islam menjadi terbatas, seperti buka puasa bersama, ngabuburit, sahur bersama, sholat terawih, sholat Idul Firtri, bagi-bagi tajil dan lainnya, tidak diperbolehkan.
Penderitaan masyarakat semakin lengkap akibat Covid-19, dimana Pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan mudik yang mulai diberlakukan pada Jumat (24/4/2020) sampai dengan 31 Mei 2020 untuk transportasi darat, 15 Juni untuk kereta api, 8 Juni untuk transportasi laut, dan tanggal 1 Juni untuk transportasi udara. Hal ini dapat diperpanjang dengan menyesuaikan dinamika pandemi Covid-19 di Indonesia. Warga yang dilarang mudik ialah mereka yang berasal dari daerah yang menerapkan PSBB serta daerah zona merah Covid-19 lainnya.
Belum lagi berbagai bantuan sosial yang dikerahkan pemerintah bermasalah tidak tepat sasaran. Tidak semua masyarakat yang benar-benar membutuhkan menerimanya. Justru masyarakat yang dikategorikan mampu, malah mendapatkan bantuan. Mereka-mereka ini lah yang harus diselamatkan dari rakusnya orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang hanya mementingkan dirinya sendiri, kelompok dan golongannya. Maka dari itu, jangan sampai dana bantuan bencana ini jadi bahan “bancakan” yang dikelola secara konspiratif atau dipolitisir.
Penyaluran dana bantuan bencana non alam ini harus dikelola oleh penyenggara negara yang kompeten. Terpenting penyalurannya dipastikan tepat sasaran. Jangan sampai dimanfaatkan untuk mobilitas ekonomi atau politik oleh sekelompok orang yang tidak punya nurani tetapi yang mengemuka ambisi ekonomi dan politik.
Tidak ketinggalan, aparat penegak hukum, khususnya KPK, hendaknya tidak sekedar memberi peringatan dengan mengancam penerapan pidana mati. Tetapi benar-melakukan pengawasan dan menegakkan aturan tersebut jika pihak yang terindikasi menyalahgunakam bantuan untuk bencana.
Semoga pandemic covid -19 dan ibadah puasa bulan ramadhan menciptakan kesadaran kolektif untuk mengelola uang rakyat secara amanah, prosedural dan bertanggung jawab serta jauh dari orientasi untuk memperkaya diri, kelompoknya atau korporasinya. (*)