
Oleh: Adinda Rahmadhani




Setiap emak-emak tak mungkin mau atau bahkan dengan sengaja melewatkan serial India di ANTV bertajuk “Anandhi” (Balika Vadhu) setiap pukul 16.00 WITA, boleh cek tayangan apa yang di set setiap rumah di kompleks masing-masing, bahkan kecil kemungkinan mamakmu untuk tidak nimbrung juga, sama kok, mamakku pun begitu bahkan amarah membara bila ada yang berani merubah chanel ANTV, tapi tetaplah lebih membara saat kau hilangkan tupperwarenya.
Sebab itulah, mau tidak mau anaknya ini mengikut nimbrung juga. Tapi yang mau kita bahas bukan perihal Anandhi yang kebal walau disakiti berkali-kali oleh Jagdish, bukan perihal sang nenek yang bagaikan PMS setiap hari, bahkan perihal mamakmu yang gregetan sampai ingin banting tv tiap menonton adegan Gauri yang hobinya menyalah-nyalahkan Anandhi.



Bukan, bukan perihal itu, penulis ingin mengajak teman-teman sekalian untuk berpijak di suatu sudut pandang berbeda, mengusut alasan mengapa Anandhi tak juga kunjung bahagia, adalah bentuk satire dari pernikahan dini atau perkawinan anak. Jika kita menjangkau Indonesia sendiri, Indonesia menyandang peringkat ke-2 se-ASEAN dan peringkat ke-8 di dunia untuk kasus perkawinan anak.



Menurut Koalisi Perempuan Indonesia (2019) dalam studinya Girls Not Brides menemukan data, bahwa 1 dari 8 remaja putri Indonesia sudah melakukan perkawinan sebelum usia 18 tahun.



Temuan ini diperkuat dengan data dari Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) BPS tahun 2017 yang menunjukkan presentase perempuan berusia 20-24 tahun yang sudah pernah kawin di bawah usia 18 tahun sebanyak 25,71 persen.



Tak kalah diperkuat pula oleh data Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Setiap tahun, sekitar 300.000 anak perempuan di Indonesia menikah di bawah usia 16 tahun.



Bahkan, mengacu pada temuan Kemen PPN/Bappenas mengungkap bahwa ada sekitar 400-500 anak perempuan usia 10-17 tahun berisiko menikah dini akibat pandemi Covid-19.
Malahan, acapkali terjadi peningkatan kasus di beberapa provinsi, di antaranya seperti Provinsi Kalimantan Selatan meningkat menjadi 21,2 persen, Provinsi Kalimantan Tengah sekitar 20,2 persen, Provinsi Sulawesi Tengah dengan 16,3 persen dan Provinsi Nusa Tenggara Barat sebanyak 16,1 persen.
Wah wah wah bukan sebuah angka yang patut dianggap remeh-temeh.
Lalu, tentu kita kembali bertanya, sebab musabab terjadinya pernikahan dini ataupun perkawinan anak, yang tak lain tak bukan sebab perjodohan yang dilakukan orang tua dengan alasan ekonomi. Anak-anak perempuan dari keluarga miskin berisiko dua kali lebih besar terjerat dalam perkawinan usia anak.
Atau bahkan sebab perkawinan di luar pernikahan, yang antar pelakunya tak lain tak bukan adalah remaja atau bahkan anak usia dini dengan dalih suka sama suka, maka dari itu ingat petuah orang era baheula, kalau pacaran jangan suka berdua-dua-an nanti setan ikutan nimbrung, maka terjadi-lah hal-hal yang tidak diinginkan.
Sekali lagi penulis tegaskan, bahwa perkara ini bukan perkara remeh, jika ada julukan di atas mengerikan, itu-lah dia. Karena dapat mengancam mutu maupun taraf pembangunan negara kita tercinta, Indonesia.
Bagi pelaku atau bahkan korban sendiri, tentu dapat mengganggu kesehatan dan tumbuh kembangnya, terutama pendidikan, ketahanan keluarga, bahkan paling buruk adalah peningkatan angka perceraian dan angka kematian ibu.
Tak sedikit juga ditemui pelaku pernikahan dini atau perkawinan anak yang putus sekolah akibat menanggung beban moral yang pelik.
Padahal pendidikan merupakan hal terpenting untuk membentuk kepribadian, mendapatkan pengalaman, dan membentuk generasi bangsa yang cemerlang.
Berdasarkan data Bappenas (2021), perkawinan anak dapat membawa dampak ekonomi yang menyebabkan kerugian ekonomi negara sekitar 1,7 persen dari Pendapatan Kotor Negara (PDB).
Selain dampak ekonomi, para pengamat menyatakan bahwa perkawinan anak ini sebenarnya akan berdampak multi-dimensional, karena dapat membawa implikasi besar terhadap pembangunan, khususnya terkait kualitas dan daya saing sumber daya manusia kaum muda di masa mendatang.
Padahal, pemerintah telah mengatur dengan jelas batas minimal perkawinan menjadi 19 tahun, dan memperketat aturan dispensasi perkawinan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
Maka, perlu adanya gencaran edukasi reproduksi kalau perlu dengan kiat door to door, serta pemerintah yang musti tegas menargetkan penurunan angka perkawinan anak.
Sebab perlindungan perlu regulasi yang konsisten dan mampu dipertanggung jawabkan. (*)