
Oleh : Ernadaa Rasyidah
(Pemerhati Generasi)




Pandemi Covid-19 belum juga menunjukkan adanya penurunan angka. Efek domino yang ditimbulkan menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan, tidak terkecuali dunia pendidikan. Proses pembelajaran di masa pandemi masih menjadi polemik yang tidak kunjung solusi, bagai memakan buah simalakama. Terjadi kekhawatiran di tengah-tengah masyarakat mengenai sistem pembelajaran di masa pandemi. Sebagian masyarakat khawatir dengan masa depan anak-anaknya lantaran sistem pembelajaran daring yang dianggap tidak optimal dengan segala permasalahan yang di temukan di lapangan, mulai dari minimya sarana kominikasi berupa HP android, kuota internet, kendala jaringan hingga tugas daring yang tidak jarang membuat darting (darah tinggi) bahkan frustasi baik bagi siswa maupun orang tua yang ikut mendampingi.



Ini pula yang menjadi alasan bagi pemerintah untuk memberlakukan pembelajaran tatap muka di sekolah pada Januari 2021. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengizinkan pemerintah daerah untuk memutuskan pembukaan sekolah atau kegiatan belajar tatap muka di sekolah di seluruh zona risiko virus corona mulai Januari 2021.



“Kebijakan ini berlaku mulai semester genap tahun ajaran 2020/2021. Jadi bulan Januari 2021. Jadi daerah dan sekolah sampai sekarang kalau siap tatap muka ingin tatap muka, segera tingkatkan kesiapan untuk laksanakan ini,”. (CNN Indonesia).



Komisi X DPR menyambut baik rencana pembukaan sekolah tersebut. Namun Huda menekankan perlunya penerapan protokol kesehatan COVID-19 yang ketat.



“Kami mendukung pembukaan sekolah untuk pembelajaran tatap muka. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan protokol kesehatan ketat karena saat ini penularan wabah COVID-19 masih terus berlangsung. Bahkan menunjukkan tren peningkatan dalam minggu-minggu terakhir ini,” ujar Huda.



Menurut Huda, pembukaan sekolah untuk pembelajaran tatap muka menjadi kebutuhan, khususnya di daerah-daerah. Sebab, pembelajaran jarak jauh atau daring yang tidak bisa berjalan efektif karena minimnya sarana-prasarana pendukung dan akses internet yang tidak merata.
“Di beberapa daerah, siswa selama pandemi COVID-19 benar-benar tidak bisa belajar karena sekolah ditutup. Kondisi ini sesuai dengan laporan terbaru World Bank (WB) terkait dunia pendidikan Indonesia akan memunculkan ancaman loss learning atau kehilangan masa pembelajaran bagi sebagian besar peserta didik di Indonesia,” katanya. (detik.com)
Tidak dipungkiri rasa khawatir menghantui murid juga orang tua, karena pada saat yang sama pandemi belum juga mendapatkan penanggulangan yang memadai. Dilematis memang, pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan segala kendala, atau membiarkan anak tatap muka dengan resiko terpapar virus.
Dinamika pendidikan yang penuh dengan ketidakpastian adalah buah penerapan sistem kapitalisme. Pemerintah dalam hal ini menjalankan tugas hanya sebagai regulator yang memberikan pengaturan, bukan sebagai penanggung jawab penuh masalah pendidikan rakyatnya.
Berangkat dari sebuah pandangan khas kapitalisme, yang menilai segala kebijakan dengan standar untung dan rugi, juga mengukur segala hal dengan nilai materi. Maka pemenuhan pendidikan berupa peningkatan kualitas guru dan murid dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, khususnya di tengah pandemi (penyediaan HP android, peningkatan akses internet, pemenuhan kuota, dan lain-lain) dipandang sebagai beban bagi pemerintah, bukan sebagai kewajiban yang harus ditunaikan.
Di tengah pandemi hari ini, seharusnya negara bisa menjalankan pembelajaran daring secara maksimal jika didukung akses yang memadai. Namun alih-alih menghadirkan solusi, pemerintah justru mengambil sebuah keputusan untuk beralih dari pembelajaran daring ke pembelajaran tatap muka. Sebenarnya tidak masalah jika kondisi pandemi sudah reda, namun hingga saat ini grafik pandemi justru semakin meninggi. Wajar kemudian, banyak pihak turut mempertanyakan kebijakan tersebut sarat dengan kepentingan ekonomi, bahkan dinilai bisa melahirkan cluster-cluster baru sekolah yang justru akan menambah beban anggaran. Artinya, keselamatan jiwa generasi turut dipertaruhkan. Sekaligus mengkonfirmasi, peran negara yang abai dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya, khusunya dalam bidang pendidikan.
Hal ini tentu sangat berbeda dalam sistem Islam. Islam menempatkan pendidikan, kesehtan dan keamanan adalah kebutuhan pokok yang wajib diberikan oleh negara dengan kualitas terbaik dan gratis kepada seluruh warga negara, baik muslim maupun non muslim, tanpa ada perbedaan pelayanan di kota atau pelosok desa.
Alhasil meskipun kondisi pandemi seperti saat ini, sistem Islam bersama biro pendidikan akan mengusahakan, mencari cara yang solutif agar pendidikan tetap berjalan dengan mudah namun tetap efektif walaupun dengan situasi yang berbeda. Misal dengan menfasilitasi media pembelajarannya, meningkatkan skil guru-guru agar mampu menghadapi situasi yang baru, menyediakan sarana dan prasarana yang dapat menunjang proses pembelajaran, memastikan setiap wilayah memiliki akses jaringan internet yang memadai. Sehingga tidak akan ditemukan perbedaan kualitas pembelajaran yang menonjol antara daring ataupun tatap muka. Dan yang terpenting, syariah penjagaan nyawa kepada generasi bisa dijalankan negara secara maksimal.
Demikianlah mekanisme sistem Islam dalam mengatasi proses belajar mengajar dikala pandemi. Tentu mekanisme ini bisa berjalan dengan maksimal jika sistem ekonomi, sistem pemerintahan, sistem pendidikan dan sistem yang lainnya terintegrasi dalam sistem yang berdasarkan syariah. Sistem ini akan melahirkan seorang pemimpin yang berfungsi sebgai pengurus dan pelayan bagi rakyatnya. Bukan hanya masalah pendidikan, carut marut kehidupan yang menedera negeri ini akan terselesaikan secara tuntas, in syaa Allah. (*)