JAKARTA – Pernyataan Komisaris Utama PT PGN Tbk, Archandra Tahar tentang penghematan anggaran di proyek pipa Blok Rokan menuai kritikan. Alih-alih mengumbar tentang penghematan anggaran itu, PGN justru diharapkan membuka kepastian mengenai mitra investasi Pertagas dan mengklarifikasi mengenai penunjukan sub kontraktor oleh PGSol dan PDC sebagai EPC proyek pipa Blok Rokan.

“Jadi Pak Komut jangan berputar-putar lagi lah, langsung saja ke inti persoalannya soal sejauh mana Pertagas harus bermitra,” ungkap Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman Minggu (8/11/2020).
Mengenai hal ini, Sekretaris Perusahaan PT PGN Tbk, Rachmat Hutama dikonfirmasi urbannews.id sejak Minggu (7/11/2020), tak memberikan keterangan apa pun. Hal sama juga dilakukan Sekretaris Perusahaan PT Pertagas, Fitri Erika. Hingga berita ini diturunkan, mereka bungkam atas konfirmasi tertulis yang telah dikirim.
Sementara itu, Komisaris Utama PT PGN Tbk Achandra Tahar yang dikutip beberapa media Rabu (4/11/2020), kembali menyatakan bahwa PGN telah berhasil melakukan penghematan USD 150 juta atau setara Rp 2,1 triliun dalam menetapkan nilai investasi pemasangan pipa minyak sepanjang 367 km dalam Final Invesment Decision (FID). Pernyataan berulang ulang sejak bulan Juni, Juli, Agustus dan Oktober 2020 sampai sekarang.

Berita tentang penghematan itu sudah lama diberitakan oleh Archandra, awalnya dimulai pada 20 Juni 2020, kemudian diulang lagi oleh Direktur Utama PGN Suko Hartono pada 14 September 2020, yaitu beberapa hari setelah dimulainya pengelasan perdana (first welding) proyek pipa minyak blok Rokan.
Belakangan terungkap, usulan anggaran investasi senilai USD 450 juta merupakan hasil pra studi oleh tim teknis Pertagas, namun setelah dilakukan FEED (Front End Engineering Design) dan DED (Detail Engineering Design), terkoreksi nilainya menjadi USD 300 juta.
“Namun kalau tidak dianggap wajar, beri dong sanksi kepada tim tehnis yang membuat perencanaan awal itu, jadi jangan digoreng gorenglah” ungkap Yusri.
Sebab, kata Yusri, dari hasil FEED dan DED telah terpetakan secara detail jalur yang lebih pendek dan aman dari gangguan, di segmen mana pipa harus di bawah tanah dan di segmen mana pipa boleh muncul di atas permukaan, serta detail rincian penggunaan pipa dari berbagai ukuran, mulai ukuran 4 inchi sampai dengan 24 inchi dan letak station pengumpul dan pengontrolnya.
“Menjadi hal yang lumrah dalam sebuah proyek hasil FID akan lebih rendah dari perkiraan awal pada tahap pra studi,” ungkap Yusri.
Dikatakan Yusri, mestinya yang harus disampaikan oleh Komisaris Utama atau lebih tepatnya oleh Direktur Utama PT PGN saat ini adalah sejauh mana perlunya PT Pertagas bermitra investasi 25 persen
“Hal itu jauh lebih penting dijelaskan ke publik setelah heboh di majalah Gatra, mengingat berdasarkan hitungan keekonomian proyek investasi itu sangat menarik, karena memberikan nilai IRR (internal rate of return) 16,4 persen dan net present value (NVP) bisa mencapai USD 181,32 juta bila Pertagas tidak bermitra, namun jika bermitra 20 persen saja, akan turun NPV nya hanya USD 145,06 juta,” ulas Yusri.
Kemudian, lanjut Yusri, seiring dengan pernyataan Dirut PGN Suko Hartono di majalah Gatra terbitan 15 – 21 Oktober 2020 dengan cover Anak Mantu Megawati di Blok Rokan. Suko menegaskan, jika bermitra tidak memberikan manfaat bagi korporasi atau perusahaan dan malah membawa masalah dikemudian hari, lebih baik tak bermitra sekalian.PGN masih punya kemampuan keuangan yang baik untuk dapat project financing scheme.
“Nah, sesungguhnya realisasi pernyataan Suko itulah yang sekarang ditunggu oleh publik, apakah Pertagas masih perlu bermitra dengan PT Rukun Raharja Tbk atau PT Isar Gas atau tidak , yaitu bisa jalan sendiri, karena untuk mendapatkan pembiayaan dari bank dalam negeri saja tentu akan sangat mudah, sudah pasti pihak bank akan berebut untuk membiayai invetasi Pertagas, hanya butuh USD 75 juta saja, karena proyeknya sangat layak,” ungkap Yusri.
Perlu diketahui, kata Yusri, meskipun dalam studi dan rilis PGN dan Pertagas dikatakan pipa itu akan mengalirkan minyak sebanyak 250.000 barel perhari, namun kenyataannya produksi minyak di blok Rokan hari ini hanya 170.000 barel perhari dengan tarif USD 2,5 perbarel tolling fee pipa, sehingga penurunan produksi secara alamiah hanya dapat diatasi dengan melakukan pemboran banyak sumur pengembangan setiap tahunnya sesuai Komitmen Kerja Pasti senilai USD 500 juta yang sudah ditanda tangani Pertamina sebagai salah satu syarat dan memberikan signatur bonus sekitar Rp 11 trliun kepada Pemerintah, dan bisa juga mengenjot produksi dengan metoda EOR (Enhanced Oil Recovery), namun biayanya mahal, sementara ini hanya Chevron yang berhasil menerapkan tehnologi ini.
“Selain itu, sebaiknya lebih bagus dijelaskan secara transparan bagaimana mekanisme konsorsium EPC PGASolution dengan Patra Driling Contractor (PDC) bernilai Rp 2, 1 triliun dalam memilih sub kontraktornya, apakah melalui proses seleksi atau main tunjuk langsung?,” beber Yusri.
“Karena di luar sudah pada ribut, kalau kedua konsorsium anak usahanya Pertamina itu mensub kontrakan semua pekerjaan itu, terus apa fungsi PGASoluiton dan PDC sebagai perusahaan EPC? Apa bukan nanti dikatakan bahwa perusahaan itu sebagai calo saja,” ulas Yusri.
Termasuk, sambung Yusri, PGN atau Pertagas harus menjelaskan ke publik mengapa pengadaan pipanya PT Krakatau Steel senilai Rp 1.9 triliun harus menunjuk lagi konsorsium PT KHI Pipe Industri – PT Bakrie Pipe Industri dan Konsorsium PT Indal Steel Pipe, sehingga timbul pertanyaan mangapa mata rantainya semakin panjang saja? apakah ini yang namanya efisiensi itu ?.
“Karena, pengalaman saya mengatakan diproses sub kontraktor inilah potensi tingkat kebocorannya paling besar,” ungkap Yusri.
“Kalian semua harus ingat, bahwa PT PGN adalah perusahaan terbuka, ada saham publik 43 persen, jangan dikelola seperti lembaga intelijen, jadi harus transparan dan akuntabel terhadap semua proses bisnisnya,” tutup Yusri.(hen)