Oleh: Hamsina Halisi Alfatih
Kordinator Muslimah KARIM Kendari
RENCANA pemerintah membuka peluang terhadap pengelolaan Pelabuhan Murhum Bau-Bau yang bakal diserahkan kepada swasta, mendapat kritikan dari anggota DPD RI, Dr Amirul Tamim. Kritikan tersebut disampaikan melalui forum yang digelar di Kantor BPS Bau-Bau, Selasa (27/10) yang kebetulan kegiatan tersebut diikuti dari pihak Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (KUPP) Pelabuhan Murhum Bau-Bau.
Kepala KUPP di Kantor BPS Bau-Bau, Dr Amirul Tamim mengatakan ” sekalipun mungkin swasta lebih profesional dalam menangani sektor seperti pelabuhan akan tetapi, beberapa fasilitas yang memerlukan keamanan harus menjadi pertimbangan pemerintah.” (Publik satu.com,02/11/20)
Amirul pun menambahkan bahwa benar ada wacana pemerintah kalau pelabuhan bakal dikelola pihak swasta. Sambungnya melalui forum yang digelar di Kantor BPS Bau-Bau, Selasa (27/10).
Pengaruh dan kekuatan korporasi/swasta di negeri ini memang tak bisa dianggap remeh dan sebelah mata. Dengan kekuatan yang mereka miliki justru mampu mengendalikan pemerintah lewat berbagai kebijakan. Tak bisa dipungkiri, pengaruh dan kekuatan korporasi ini tak hanya di dukung dengan kekuatan modalnya saja. Namun, di belakang mereka tentu ada segelintir elit politik, partai politik bahkan tokoh politik yang mendukung kepentingan dari pihak swasta ini.
Mengapa demikian? Tentu hal ini menjadi pertanyaan besar mengapa pihak korporasi begitu mudahnya menguasai aset-aset bangsa ini. Bagaikan simbiosis mutualisme tentu kedua bela pihak ini akan sama-sama ingin mendapatkan keuntungan yang besar. Dengan kekuatan finansialnya, pihak swasta ini dengan mudah mengendalikan kebijakan pemerintah. Saat aset negara mereka dapatkan, pundi-pundi rupiah pun mengalir dikantong para elit politik meskipun hal ini justru merugikan negara terutama rakyat.
Secara global aset negara seperti pelabuhan dan bandara sepenuhnya memang milik negara. Namun dalam pengoperasian, pihak asing dan swasta bisa terlibat dalam pengelolaan sejumlah infrastruktur di Tanah Air. Kepemilikan infrastruktur nasional berdasarkan komposisi saham perusahaan nasional minimal 51 persen dan asing maksimal 49 persen. Pembagian kepemilikan ini dalam hal cakupan kerja sama, penyediaan infrastruktur pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian.
Keterlibatan pihak swasta dalam pengelolaan kekayaan alam seperti SDA, jalan raya, jembatan, bandara, pelabuhan dan lain sebagainya tak terlepas dari pengaruh mereka sebagai investor di tanah air. Maka kritikan yang disampaikan oleh Amirul Tamim selaku Kepala KUPP di Kantor BPS Bau-Bau yang menegaskan adanya pihak swasta yang diwacanakan untuk mengelola salah satu pelabuhan di Sulawesi Tenggara bukanlah isapan jempol belaka.
Kebijakan privatisasi yang telah banyak di praktikkan di beberapa negara, Indonesia menjadi salah satu negara yang telah menerapkan konsep tersebut. Tujuannya tak lain adalah untuk memperbaiki tatanan perekonomian dengan menekan pengeluaran APBN dan APBD. Maka tak heran pemerintah begitu luwes mengalihkan SDA maupun aset negara lainnya kepada pihak swasta sebagai langkah pencegahan krisis moneter.
Konsep privatisasi ini pun tak terlepas dari propaganda Amerika dan sekutunya yang mendorong perubahan radikal secara global ke berbagai negara untuk menjalankan konsep privatisasi. Melalui jalur hutang dengan kekuatan dua lembaganya World Bank dan IMF menjadi tumpuan negara-negara berkembang untuk mengembangkan berbagai infrastruktur. Walhasil, konsep privatisasi ini berakhir dengan pengalihan aset negara meskipun pemerintah berdalih sebaliknya.
Privatisasi atau perpindahan kepemilikan umum menjadi kepemilikan pribadi atau kelompok dimana SDA serta aset negara lainnya dialihkan fungsikan ke pihak korporasi swasta tak terlepas dari keterkaitannya dengan sistem liberalisme. Peran pemerintah yang seharusnya berpihak pada kepentingan rakyat justru sebaliknya lebih memihak pada kepentingan korporasi. Kebijakan yang tak rasional justru membawa ketimpangan bagi kesejahteraan rakyat.
Kenyataan bahwa pihak korporasi semakin leluasa menguasai aset milik negara ditandai dengan ketundukan pemerintah terhadap para pemilik modal. Hal ini menandakan bahwa pemerintah semakin tak berkutik dibawah ketiak pengusaha yang terang-terangan menguasai kepemilikan hajat hidup orang banyak. Bahkan atas nama investasi, regulasi yang menghambat kebijakan tersebut akan ditiadakan.
Dalam sistem ekonomi Islam, infrastruktur yang masuk dalam kategori umum harus dikelola oleh negara dan dibiayai dari dana milik umum. Bisa juga dari milik negara, tetapi negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaannya.
Di dalam buku The Great Leader of Umar bin al-Khathab, halaman 314-316, diceritakan bahwa Khalifah Umar al-Faruq menyediakan pos dana khusus dari Baitul Mal untuk mendanai infrastruktur, khususnya jalan dan semua yang terkait dengan sarana dan prasarana jalan. Tentu dana ini bukan dari dana hutang. Hal ini untuk memudahkan transportasi antara berbagai kawasan negara Islam.
Khalifah Umar memastikan pembangunan infrastruktur harus berjalan dengan orientasi untuk kesejahteraan masyarakat dan untuk ‘izzah (kemuliaan) Islam. Jikalau negara harus bekerja sama dengan pihak ketiga, haruslah kerja sama yang menguntungkan bagi umat Islam. Bukan justru masuk dalam jebakan hutang, yang menjadikan posisi negara lemah di mata negara lain.
Khalifah Umar melalui gubernur-gubernurnya sangat memperhatikan perbaikan berbagai jalan tatkala membuat perjanjian antara para gubernurnya dan berbagai negeri yang berhasil ditaklukkan. Dengan spirit menerapkan syariah Islam, Khalifah Umar merealisasikan pembangunan infrastruktur yang bagus dan merata di seluruh negeri Islam.
Infrastruktur yang dibangun oleh negara, merupakan aset bangsa yang harus dijaga dan diperuntukkan sebesar-besarnya untuk publik/rakyat. Negara tidak berhak menyerahkan atau memprivatisasi kepemilikan umum tersebut kepada pihak swasta. Maka dalam hal ini, fungsi negara haruslah menjadi periayah yang mampu menciptakan kehidupan rakyat yang makmur, adil dan sejahtera dalam setiap regulasi atau kebijakan yang dikeluarkan bukan justru tunduk dan lebih mementingkan kepentingan korporasi asing/swasta. (*)