Oleh: Dr. Syamsuddin Arfah, M.Si
“Kapan bangunan bisa sempurna berdiri, jika engkau sendiri membangunnya sedang yang lain darimu merusak dan menghancurkannya” (kata bijak)
Bulan Ramadhan yang penuh berkah dan keutamaannya berlalu sudah, rasanya baru puasa dimulai dan tanpa terasa bulan yang kariim itu telah beranjak pergi mulai menghitung hari nan jauh, meninggalkan pribadi yang sudah terisi dengan sederet amal ibadah, meninggalkan jiwa yang penuh keimanan, dan jika optimal akan bergelar “orang yang bertakwa”.
Saat ini umat Islam lagi intens menjalankan silaturahim, sanak keluarga, sahabat dan handai taulan, saling kunjung-mengunjungi walau hanya lewat virtual atau video call, mungkin lebaran ini adalah lebaran spesial dalam hidup kita, silaturahim di batasi dengan wajah yang tidak saling tatap secara langsung, tangan tidak saling berjabat dan bersentuhan di karenakan Covid-19 belum juga hilang dan pergi dari bumi pertiwi tercinta ini, datang dan dengan memberi dan meminta maaf, sungguh pemandangan indah sebagai implementasi dari jiwa yang suci, laksana kertas putih dengan membuka lembaran baru serta jiwa yang bersih. Semangat bersilaturahim, walau hanya dengan jarak jauh atau lewat dunia maya, tapi sayang hangatnya ngobrol saling berbagi cerita dengan sarana handphone smart kita begitu mendominasi, sehingga kumandang adzan menjadi terlewatkan hanya dengan dalil dan argumentasi masjid masih di tutup sehingga memilih melaksanakan shalat di akhir waktu, sungguh sangat menyedihkan. Nikmatnya hidangan berlebaran membuat shalat berjamaah bareng keluarga inti terabaikan. Masjid kehilangan jama’ah, para da’I kehilangan audiens, kelelahan dan kekenyangan membuat mushaf Al-Qur’an tidak di buka lagi, jangankan membacanya atau sampai mentadabburi makna yang terkandung di dalamnya, membuka bahkan menyentuh kitab suci itu menjadi terlewatkan, kesejukan dan keheningan malam yang di isi dengan rintihan dan munajad do’a, berganti sunyi senyap terbawah mimpi berbalutkan selimut yang tebal.
Ramadhan bukan momentum “kesholehan musiman”, kemudian “tidak perlu” sholeh di bulan-bulan lain nya, dan hanya akan kembali beramal sholeh pada Ramadhan tahun berikutnya. Seakan trend musiman ini bagaikan “arus mudik” dan “arus balik” hanya ada pada musim lebaran, itupun bagi yang punya “kampung halaman” jika tidak punya kampung halaman tentu di larang mudik. Laksana trend musiman lebaran ketupat pada hari ketujuh syawal, yang suasananya terasa kental khas Indonesia. Tentu semua tidak seperti itu.
Ramadhan memang telah pergi, tetapi Ramadhan tetap akan kembali, waktu dengan putarannya akan mengantarkannya kembali, hanya apakah jika Ramadhan datang kembali malah kita yang pergi dan tidak bertemu dengan Ramadhan lagi, lalu muncul pertanyaan besar apa yang tertinggal dalam diri kita setelah keluar dari madrasah bulan puasa tahun ini?
Dalam konteks menjaga kesucian Ramadhan setelah idul fitri. Waktu saya masih remaja, nasihat ayah saya, dengan bahasa sederhana: “Janganlah panas setahun, sirna hanya di guyur hujan sesaat”. yang saya maksudkan adalah, janganlah kesucian pribadi muslim yang sudah di bersihkan, susah payah (selama bulan Ramadhan) itu kembali di kotori dengan kemaksiatan dalam sekejap, setelah Ramadhan berlalu.
“Kapan bangunan bisa sempurna berdiri, jika engkau sendiri membangunnya sedang yang lain dari mu merusak dan menghancurkannya” (kata bijak).
Yang saya maksudkan dengan menyampaikan pepatah arab sebagai kata bijak adalah, untuk “membangun” sebegitu susahnya, apalagi membangun pribadi yang bertakwa, tetapi untuk merusak ketakwaan pada diri tentu akan mudah, dan hilang dengan seketika.
Apakah bekas-bekas itu hilang seiring dengan berlalunya bulan itu? Apakah amal-amal kebaikan yang terbiasa kita kerjakan di bulan itu pudar setelah puasa berakhir?.
Jawabannya ada pada kisah berikut ini. Imam Bisyr bin al-Harits al-Hafi pernah ditanya tentang orang-orang yang (hanya) rajin dan sungguh-sungguh beribadah di bulan Ramadhan, maka beliau menjawab
“Mereka adalah orang-orang yang sangat buruk, (karena) mereka tidak mengenal hak Allah kecuali hanya di bulan Ramadhan, (hamba allah) yang sholeh adalah orang yang rajin dan sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh .” (dinukil oleh imam ibnu Rajab al-HAmbali dalam kitab Latha-iful ma’arif, hal 313).
Demi Allah, inilah hamba Allah yang sejati, yang selalu menjadi hamba-Nya di setiap tempat dan waktu, bukan hanya di waktu dan tempat tertentu. Kemana dan dimanakah hasil puasa Ramadhan yang bernama takwa itu “lari” atau “bersembunyi”? Jika mulai komunitas “akar bumi” sampai “ atap langit” pasca Ramadhan, kerusakan akhlak kian kembali menjadi-jadi, para penegak hukum memegang kendali hukum dengan cara tebang pilih, mengkritik dan mengkoreksi pemerintah menjadi sesuatu yang nista di takuti, sehingga mengkritik negeri ini dianggap sebagai pelecehan terhadap penguasa sehingga harus di kebiri, di kerangkeng dan di jeruji. Demokrasi menjadi tereleminasi. Seorang muslim yang memahami islam secara keliru dan bathil memberikan statemen tentang keislaman di ruang publik dengan percaya dirinya terhadap kebodohannya. Bukankah mereka semuanya beragama Islam dan secara fisik pun berpuasa setiap Ramadhan?
Merespon fenomena itu, publik muslim relegius tidak perlu heran. Sungguh banyak orang yang berpuasa Ramadhan, tetapi mereka belum termasuk golongan orang yang bertakwa. Karena landasan ibadah hanya “fisik” atau “kulit” belaka. Jadi wajar saja ketika Ramadan usai, tidak “sholeh” atau tidak “takwa” lagi.
Dalam tinjauan balaghoh, gegap gempita euforia “seremonial” ibadah Ramadhan di ruang publik Indonesia ini masih sebatas pendahuluan (muqaddimah) dan belum menghasilkan kesimpulan atau hasil (natijah), yaitu kondisi takwa. Perlu intropeksi dari masing-masing individu yang melaksanakan puasa dan berbagai ibadah di bulan Ramadhan, untuk menggapai natijah (hasil ibadah) yaitu takwa.
Maka sebagaimana kita membutuhkan dan mengharapkan rahmat Allah Subhanahu wata’ala di bulan Ramadhan , bukankan kita juga tetap membutuhkan dan mengharapkan rahmat-Nya di bulan-bulan lainnya? Bukankah kita semua termasuk dalam firman Nya yang artinya,
“Hai manusia, kalian semua butuh kepada (rahmat) Allah, dan Allah Dialah yang maha kaya lagi maha terpuji.” (QS: Faathir: 15)
Istiqomah
Inilah maKna istiqomah yang sesungguhnya dan inilah pertanda diterimanya amal sholeh seorang hamba. Imam Ibnu Rajab berkata: “Sesungguhnya Allah jika Dia menerima amal (kebaikan) seorang hamba maka dia akan memberi taufik kepada hamba-Nya tersebut untuk beramal sholeh setelahnya, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka (ulama salaf):
“Ganjaran perbuatan baik adalah (taufik dari Allah SWT untuk melakukan) perbuatan baik setelah nya. Maka barangsiapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia mengerjakan amal kebaikan lagi setelahnya, maka itu merupakan pertanda diterimanya amal kebaikan yang pertama, sebagaimana barangsiapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia mengerjakan perbuatan buruk setelahnya, maka itu merupakan pertanda tertolak dan tidak diterimanya amal kebaikan tersebut.”
Itulah tantangan terberat kita semua sebenar nya adalah menjaga keistiqomahan kita semua dalam beribadah. Padahal Allah SWT berfirman dalam Qur’an-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan :”Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqamah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut, janganlah merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surge yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS: Fusshilat: 30)
Ayat diatas bukan berarti hanya mencakup keistiqomahan dalam bulan Ramadhan saja. Namun keistiqomahan tersebut juga mencakup semua hal yang tentunya bersifat kebaikan. Tidakkah kita mau mendapatkan pertolongan dari Allah ketika sakratul maut tiba? Bukankah sebaik-baik tempat di akhirat adalah surgaNya. Dan demikianlah Allah menjanjikan melalui firmanNya.
Mengapa judul diatas saya pilih untuk tulisan ini: “Ramadhanku Telah Pergi”. Karena memang karantina Ramadhan telah usai PSBB akan berganti dengan New Normal Life..heeh kok melenceng nich tulisan.., tetapi yang di sayangkan syawal yang harusnya terjadi peningkatan serta continue (keistiqamahan) dalam beramal masih belum maksimal pada diri seorang muslim.
Ibadah tidak mengenal batasan waktu . Selama Allah memberi kita kehidupan, maka selama itu pula kita berusaha mengabdikan hidup kita untuk beribadah kepadaNya. Semoga kita beribadah sampai ajal menjemput kita. Allah berfirman : “Sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al-yaqin (yakni ajal).” (Al-Hijr: 99).
Allahu a’lamu bis-shawab.(*)