
Oleh: Rini Handayani
(Pemerhati Sosial)




Menteri Perdagangan Republik Indonesia (Mendag RI) Agus Suparmanto menandatangani Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) di Istana Bogor, Jawa Barat, Minggu (15/11/2020). Perjanjian itu akhirnya disepakati setelah satu dekade dirundingkan.



RCEP disepakati oleh Indonesia bersama sepuluh negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), negara di Asia Pasifik seperti Korea Selatan dan China, dan negara di Benua Australia seperti Australia dan Selandia Baru. Perjanjian kerja sama tersebut dilakukan sebagai puncak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) RCEP keempat yang menjadi bagian dari rangkaian KTT ASEAN ke-37.



RCEP adalah kerjasama dagang terbesar di dunia karena melibatkan 15 negara yang mencakup 30% ekonomi dunia, 30% populasi dunia, dan tak kurang dari 2,2 milyar calon konsumen (theconversation.com, 20/11/2020).



Pengaruh RCEP bagi Tanah Air menurut pengamat ekonomi Hinrich Foundation Stephen Olson bahwa negara-negara di Asia Timur, Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru yang dekat secara geografis dapat lebih mudah bersatu, tumbuh, dan menguat bersama.



Mendag Agus juga menilai, RCEP akan mendorong Indonesia masuk ke rantai pasok global dengan dua cara yaitu backward linkage dan forward linkage. Indonesia dapat memasok kebutuhan bahan baku yang kompetitif ke negara RCEP lainnya (amp.kompas.com, 15/11/2020).



“Indonesia harus memanfaatkan peluang yang ditawarkan RCEP, dengan akses pasar bagi produk ekspor Indonesia yang akan semakin terbuka, industri nasional akan semakin terintegrasi dengan jaringan produksi regional, dan semakin terlibat dalam mata rantai regional dan global. Dan tentunya, hal tersebut akan menarik lebih banyak investasi ke dalam negeri” ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (republika.co.id, 26/11/2020).
Berbagai harapan digantungkan pada RCEP. Namun, akankah harapan ini menjadi kenyataan manis bagi negara-negara ASEAN atau justru sebaliknya?
Penjajahan Ekonomi
Perlu disadari bahwa politik luar negeri negara demokrasi kapitalis tidak lain adalah untuk memperoleh sumber-sumber ekonomi di negara lain. Berbagai kerjasama global di antara negera-negera kapitalis saat ini merupakan bentuk cengkraman penjajahan ekonomi.
Perjanjian kerjasama merupakan cara-cara beradab untuk menguasai sumber-sumber bahan baku dan pasar bagi produk-produk industri negara adidaya. Pembentukan perjanjian dagang regional merupakan metode sistematis menguasai kekayaan negara-negara jajahan dalam kurun bersamaan.
Negara-negara ASEAN termasuk Indonesia hanya akan menjadi sapi perahan negara-negara kapitalis adidaya. Perjanjian RCEP tidak akan berdampak baik pada rakyat Indonesia maupun negara ASEAN lainnya. Rakyat justru akan menjadi konsumen produk-produk negara adidaya. Semakin banyak perjanjian kerjasama global, tak membawa rakyat pada kesejahteraan. Justru jurang kemiskinan kian lebar.
Metode penjajahan seperti ini sangat halus. Pasalnya perjanjian ini menggiurkan bagi penguasa. Hal ini sangatlah wajar, karena penguasa pada negara-negara yang menerapkan ekonomi kapitalis tak lain para kapital/pengusaha itu sendiri.
Para penguasa ini berkuasa untuk mengamankan kepentingannya dalam menumpuk kekayaan. Mereka tidak peduli akibat buruk yang menimpa negara dan masyarakat. Selama menurut mereka menguntungkan, apa pun yang ditawarkan negara kapitalis adidaya akan diterimanya.
Politik Islam
Politik luar negeri Daulah Khilafah adalah untuk menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Politik luar negeri ini dilaksanakan dengan metode dakwah dan jihad. Negara-negara yang menerima dakwah Islam akan menjadi bagian Daulah Khilafah dan menerapkan aturan Islam.
Daulah Khilafah tidak akan menguasai sumber-sumber ekonomi negara yang ditaklukan. Bila suatu negara yang tidak menerima dakwah dan justru menyatakan perang dengan Daulah Khilafah, maka metode jihad akan digunakan untuk menaklukan negara tersebut.
Terkait ekonomi, Islam memandang bahwa masalah ekonomi disebabkan oleh masalah distribusi kekayaan kepada seluruh individu masyarakat. Oleh karena itu, politik ekonomi Daulah Khilafah adalah bertujuan untuk memberi jaminan terpenuhinya kebutuhan hidup setiap individu masyarakat.
Daulah khilafah memberi peluang pada setiap individu untuk memanfaatkan, mendapatkan dan memiliki kekayaan. Daulah juga harus menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap individu masyarakat secara sempurna dan kebutuhan sekunder semaksimal mungkin.
Islam memandang bahwa kekayaan adalah milik Allah Swt. Allah Swt memberi hak memiliki kekayaan tersebut pada manusia. Islam mengelompokkan kekayaan dalam tiga kepemilikan, yaitu kepemilikan individu, umum dan negara.
Penggunaan hak milik tersebut terikat dengan izin dari Allah Swt, baik penggunaan maupun pengembangan kepemilikan tersebut. Dilarang berfoya-foya, menghamburkan harta dan kikir. Dilarang mengambil riba, memanipulasi harta secara berlebihan, penimbunan, perjudian dll.
Daulah Khilafah tidak boleh mengalihkan kepemilikan individu menjadi milik umum. Investasi dan penanaman modal asing di seluruh negara tidak diperbolehkan, termasuk larangan memberikan hak istimewa kepada pihak asing.
Menghadapi tantangan global saat ini, menerapkan seluruh hukum Islam dalam sistem Daulah Khilafah adalah sebuah kebutuhan. Negeri-negeri kaum muslimin akan terbebas dari dominasi negara penjajah, sehingga dapat menjalani kehidupan dengan damai dan sejahtera. (*)