Oleh: Suparji Achmad
PENDUDUK seluruh dunia mungkin sebelumnya tidak pernah mengira pada 2019 akan mengalami hidup dalam keterbatasan. Mengapa demikian? Karena pada Desember 2019 di Kota Wuhan, China, ditemukan virus corona atau Covid-19. Disini lah awal mula penderitaan dan keterbatasan dimulai. Berbagai negara di seluruh dunia langsung kalang kabut mengetahui virus tersebut, karena mereka tidak memiliki persiapan untuk mengantisipasinya. Namun Pemerintah Kita yang tercinta ini, nampaknya tidak terlalu peduli dengan hal itu. Beberapa pejabat bahkan memiliki keyakinan bahwa Indonesia tidak akan terjangkit Covid.19.
Baru setelah Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama Covid-19 di tanah air pada 2 Maret 2020, seluruh rakyat Indonesia kalang kabut. Hal pertama yang dilakukan oleh masyarakat yakni berburu masker untuk medis atau kesehatan. Hal itu sebagai upaya awal pencegahan Covid-19. Apotek-apotek, pasar swalayan, pasar tradisional, diserbu masyarakat hanya untuk mendapatkan masker. Bahkan sampai terjadi kelangkaan akibat ulah orang-orang yang tak bertanggungjawab yang memanfaatkan penderitaan orang lain.
Disatu sisi, kelangkaan masker ini membuka lapangan kerja baru alias membawa berkah dibalik bencana non alam ini. Di pinggir-pinggir jalan, orang pada berjualan masker. Meskipun secara kualitas, tidak sebagus masker untuk medis karena terbuat dari bahan. Penderitaan dan keterbatasan tahap selanjutnya pun di mulai setelah Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB mengumumkan status Indonesia tanggap darurat Covid-19 diperpanjang hingga 29 Mei 2020. Aktivitas masyarakat pun terbatas. Terutama di kota-kota besar.
Kantor-kantor pemerintahan dan swasta serta sekolah-sekolah pun sudah mulai menerapkan kerja/ belajar dari rumah atau stay at home. Disini lah berdampak pada masyarakat yang hari-harinya mengais rezeki di jalanan atau lapangan. Seperti kurir, ojek online (ojol), pedagang makanan, supir kendaraan umum dan pekerja lapangan lainnya berkurang penghasilannya. Bahkan sampai ada yang kehilangan mata pencarian.
Kondisi masyarakat semakin parah setelah Presiden Jokowi menetapkan wabah Covid-19 sebagai bencana nasional pada 13 April 2020, yang diikuti dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah. DKI Jakarta menjadi wilayah pertama yang disetujui oleh Kementerian Kesehatan menerapkan PSBB pada 23 April 2020 hingga 22 Mei 2020.
Konsekuensi dari penerapan PSBB di DKI Jakarta yakni peliburan sekolah dan tempat kerja. Dikecualikan untuk instansi pemerintah/BUMN/BUMD termasuk kantor yang memberikan pelayanan terkait kesehatan, pertahanan dan keamanan, ketertiban umum, kebutuhan pangan, bahan bakar minyak dan gas, perekonomian, keuangan, komunikasi, industri, ekspor dan impor, distribusi, logistik, dan kebutuhan dasar lainnya.
Konsekuensi lainnya masyarakat diwajibkan memakai masker ketika keluar rumah, tidak boleh berkumpul, jam operasional kendaraan umum dibatasi, kendaraan roda dua tidak boleh berboncengan, mall, tempat hiburan malam, objek wisata ditutup dan konsekuensi lainnya. Disinilah masyarakat benar-benar hidup dalam keterbatasan. Untuk sekedar memenuhi kebutuhan pokok saja, masyarakat harus bersusah payah untuk mendapatkannya. Belum lagi masyarakat diminta menutup akses jalan menuju pemukimannya.
Kembali pada peliburan sekolah dan tempat kerja. Dari dua hal tersebut banyak orang bergantung kehidupannya disana. Banyak berputar roda perekonomian di dua sektor tersebut. Mulai dari tukang makanan/minuman, tukang parkir, ojol, buruh dan lainnya, sangat merasakan dampak akibat pandemi Covid-19. Sebagai contoh, banyak tempat makanan atau restauran gulung tikar karena sepinya pembeli. Demikian juga Ojol, pendapatannya berkurang hampir 70-80 persen dari hari biasanya, karena hanya diperbolehkan melayani pesan antar makanan dan barang. Tidak diperbolehkan membawa penumpang.
Lebih parah lagi, sebanyak 139.288 pekerja di Jakarta terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan tanpa menerima upah (unpaid leave) akibat terdampak pandemi Covid-19. Pemerintah pun memberikan berbagai bantuan dan program untuk mengatasi Covid-19 ini dengan menggelontorkan dana sebesar Rp 405,1 trilliun. Sayangnya, hingga kini anggaran sebesar itu belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat.
Pembagian Bantuan Tunai Langsung atau BLT dari pemerintah pun tidak tepat sasaran. Masih banyak ditemui masyarakat yang mampu mendapatkan BLT. Sementara yang benar-benar membutuhkannya, justru tidak mendapatkan apa-apa alias gigit jari. Peliburan sekolah juga tidak sepenuhnya positif dari segi ekonomi. Di mana pengeluaran orang tua justru semakin bertambah karena harus merogoh kantong lebih dalam untuk membeli kuota internet. Hal itu karena belajar di lakukan secara online. Sementara pemasukan berkurang akibat tidak bisa bebas beraktivitas di luar rumah.
Dari semua keterbatasan yang disebutkan di atas, yang paling menyedihkan yakni aktivitas masyarakat untuk beribadah dibatasi. Untuk umat Islam, sholat Jumat di Masjid ditiadakan. Berbagai aktivitas seperti pengajian bulanan juga ditiadakan. Hanya sholat wajib lima waktu yang diperbolehkan. Itu pun jarak antar jamaah ketika sholat harus satu meter. Bahkan pada bulan Ramadhan tahun ini yang diperkirakan jatuh pada Jumat (24/4/2020), sholat terawih, buka puasa bersama, sahur bersama, sholat Idul Fitri, ditiadakan.
Bagi umat Islam di Indonesia, bulan Ramadhan tahun ini menjadi paling hambar dan menjadi sejarah karena untuk pertama kalinya tidak ada aktivitas ibadah di Masjid. Mereka hanya bisa melaksanakan ibadah di rumah saja. Begitu juga untuk pemeluk agama lain, tidak diperbolehkan beribadah di tempat ibadahnya. Kepedihan dan keterbatasan yang di alami masyarakat tidak hanya itu saja. Dengan banyaknya warga DKI Jakarta yang terkena PHK alias tidak mempunyai pekerjaan, apalagi perantau, tentu mereka ingin kembali ke kampung halamannya atau mudik karena kehidupan di sana lebih terjamin bersama keluarga.
Kepedihan makin terasa, karena mulai Jumat (24/4/2020), larangan mudik ke kampung halaman diberlakukan. Warga yang dilarang mudik ialah mereka yang berasal dari daerah yang menerapkan PSBB serta daerah zona merah Covid-19 lainnya. Larangan tersebut tentu menjadi aneh bagi masyarakat, karena mudik lebaran sudah menjadi tradisi di Indonesia. Bahkan Indonesia menjadi satu-satu negara yang memiliki tradisi mudik.
Artinya, masyarakat sudah jatuh tertimpa tangga. Khususnya di DKI Jakarta, dimana banyak masyarakat yang sudah tidak punya penghasilan atau penghasilannya berkurang akibat Covid-19, tidak bisa berkumpul dengan keluarga di kampung halamannya agak terobati..karena pulang kampung diperbolehkan, mengingat beban hidup di Jakarta yang sangat berat. sehingga dianggap lebih baik, jika pulkam.
Akhirnya, Memasuki Bulan Ramadhan. Bulan yang penuh ampunan dan berkah, mari bersama kita memohon kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, atas segala dosa dan khilaf yang dilakukan di muka bumi ini serta memohon keberkahan agar wabah pandemik Covid-19 segera berakhir sehingga kehidupan dapat berjalan normal kembali tanpa kepedihan dan keterbatasan. (*)