JAKARTA – Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Utara, Usman mengungkapkan diperlukannya kerjasama lintas sektor untuk menekan penyebaran tuberkulosis. Hal ini sejalan dengan Program Kementerian Kesehatan yaitu Menuju Indonesia Bebas TBC 2030.
“Tantangannya banyak karena itu perlu kerjasama intersektor. Kalau perlu mulai dari tingkat terbawah seperti Rukun Tetangga dan desa. Tenaga kesehatan yang terlatih melakukan skrining, juga komitmen pasien untuk konsumsi obat selama 6 bulan,” jelas Usman usai mengikuti Focus Group Discussion (FGD) “Bersama Berantas TBC: Menuju Indonesia Bebas TBC 2030”, digelar oleh Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) di Kompleks Parlemen pada Kamis (27/11).
Usman mengingatkan masyarakat untuk tidak terpaku pada stigma lama pada orang yang positif TB. Menurutnya dengan semakin cepat ditemukan gejala TB dan pasien terbuka mengakui kondisinya, maka akan cepat pula penanganannya hingga sembuh.
FGD tersebut dihadiri Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) RI, dr. Benjamin Paulus Octavianus Sp.P., FISR, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), World Health Organization (WHO) Indonesia, dan akademisi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Dari Data Kemenkes, Indonesia menjadi peringkat kedua di dunia kasus Tuberkulosis atau TBC setelah India. Berdasarkan Global TB Report 2025, terdapat 1,08 juta kasus TB dan 126 ribu kematian setiap tahun.
“Meski demikian, hingga 23 November 2025 baru 753 ribu kasus yang ditemukan, setara 69 persen dari target nasional 90 persen,”katanya.
Dari tingginya kasus tersebut, Pemerintah Indonesia telah mendorong dan mencanangkan bebas TBC pada tahun 2030.
“Masih ada ratusan ribu kasus yang belum ditemukan dan berpotensi terus menularkan TB di komunitas. Kita harus memperkuat penemuan kasus aktif dan investigasi kontak,” tegasnya.
Selanjutnya Pemerintah telah memperluas skrining melalui program Cek Kesehatan Gratis (CKG), mobile X-ray, serta integrasi layanan TB di Puskesmas dan fasilitas kesehatan swasta.
Namun disisi lain, keberhasilan terapi TB Resisten Obat (RO) masih tergolong rendah, yaitu sebesar 59 persen. Untuk itu, Pemerintah mendorong penggunaan rejimen pengobatan yang lebih singkat, memperkuat dukungan nutrisi serta pemantauan efek samping.
Tuberkolosis disebut TB bukan hanya sekadar persoalan kesehatan, melainkan menjadi isu sosial dan pembangunan. Ia menekankan pentingnya kolaborasi pemerintah pusat, DPR, pemerintah daerah, dunia usaha, komunitas, dan media sangat dibutuhkan.
“Dengan sinergi lintas sektor dan inovasi teknologi, kita optimistis Eliminasi TB 2030 dapat dicapai,” ujarnya.
Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi NasDem, Irma Suryani, menekankan bahwa situasi penanganan TBC di Indonesia membutuhkan intervensi lebih cepat dan lebih serius dari pemerintah. (*)



