
Oleh : Ernadaa Rasyidah
(Pemerhati Generasi)




Ibu, kaulah wanita yang mulia
Derajatmu tiga tingkat dibanding ayah



Lautan kasih sayang pada setiap insan



Mataharinya alam sebagai perumpamaan



Dunia, isinya belumlah sepadan sebagai balasan ibumu melahirkan



Pandemi belum juga reda, sedikit banyak menjadikan peran ibu ada yang berubah. Meski demikian kasih sayangnya tetaplah sepanjang usia. Kondisi tidak ideal ini membuat banyak diantara ibu yang harus rela tidak bertemu dengan anaknya karena terpisah jarak dan waktu, alias long distance relationship (LDR). Di saat yang sama, baru-baru ini kisah pilu seorang ibu muda di Sumatra Utara pada Rabu (09/12/2020) tega mengakhiri hidup tiga orang buah hatinya, berdalih himpitan ekonomi. Alih-alih sosok ibu sebagai tempat paling aman dan nyaman, menjelma menjadi ancaman.



Ibu adalah sosok wanita mulia dengan segudang peran domestik maupun publik yang dilakoni, di bahunya dititipkan amanah mencetak generasi, menentukan kelestaraian manusia di muka bumi. Kualitas generasi masa depan tidak pernah lepas dari peran tangan dingin sosok bergelar “Ibu”
Ibu adalah sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya, sosok yang sangat dekat dan pertamakali berinteraksi dengan anak. Bahkan sejak dalam kandungan, ibu sudah mempengaruhi fisik dan mental anaknya. Ketika anak lahir melalui proses yang penuh perjuangan dan pengorbanan, Ibu pula yang mengukirkan warna dalam lembaran-lembaran putihnya.
Sangat tepatlah Islam menempatkan posisi mulia bagi sosok ibu, atas setiap lelahnya dalam mengandung, kesiapan menanggung resiko kematian saat melahirkan, menyusui, mengasuh, mendidik dan memenuhi segala kebutuhan anaknya . Hingga Islam menempatkan surga di bawah telapak kaki ibu.
Namun sungguh disayangkan, kehidupan sekuler yang jauh dari nilai-nilai agama telah menggerus peran ibu, membuat Ibu abai dalam menjalankan peran pentingnya sebagai ummu wa robbatul bayt. Kisah ibu yang tega membunuh anaknya, diantara kisah miris buah penerapan sistem sekuler.
Cengkaraman peradaban kapitalis global telah merasuki kehidupan sebagian besar kaum muslim, tidak terkecuali kaum ibu. Mengukur standar bahagia dengan capaian materi semata. Alhasil telah menggeser makna bahagia yang semula diraih dengan ketaatan dan limpahan pahala dari sang pencipta atas tugas mulia sebagai ummu wa robbatul bayt, berganti standar kapitalistik dengan berlimpahan materi dan bergaya hidup serba mewah.
Banyak dijumpai seorang ibu yang minder, tidak percaya diri dan merasa tidak produktif jika tidak bekerja dan menghasilkan uang. Sebagian menganggap peran ibu di sektor domestik seputar dapur, sumur dan kasur sebagai penghambat aktualisasi diri dan karir. Akibatnya, beramai-ramai menyerbu sektor publik untuk mengejar puncak karir, meski tidak jarang menjadi korban kekerasan dan eksploitasi.
Dalam Islam, bekerja bagi perempuan di ranah public secara syar’i hukumnya mubah (boleh). Bahkan mengamalkan ilmu di luar rumah sebagai guru, dokter, perawat, bidan dan lain-lain termasuk fardlu kifayah. Namun, kewajiban utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga tetap menjadi yang utama dan tidak boleh terabaikan. Yang keliru adalah pandangan bahwa ibu harus bekerja menafkahi keluarga bersama suami. Karena kewajiban memberi nafkah, telah Allah tetapkan di pundak suami bukan istri, dan ini adalah perintah Allah sang maha pencipta dan pengatur manusia dalam QS. Al – Baqarah :233.
Menjadi Ibu Cerdas Berkualitas
Islam telah menetapkan bahwa seorang perempuan memegang peranan yang sangat penting dalam membangun perdaban yang gemilang. Andil menentukan kualitas kepemimpinan dan corak peradaban masa depan.
Islam mewajibkan seorang perempuan untuk menjadi Ibu yang memiliki peran strategis sebagai pencetak generasi dan pendidik pertama bagi anak-anaknya. Memiliki kontribusi yang sangat besar dalam mengkokohkan dan membina kepribadian Islam bagi generasi. Memastikan aqidah Islam sebagai pondasi pertama dan utama dalam pembentukan pola pikir dan pola sikap anak, agar sesuai dengan fitrah Islamnya.
Pada saat yang sama, sosok Ibu memiliki peran sebagai manager bagi terciptanya keluarga sakinah, mawaddah warahmah. Peran ini tentu membutuhkan keterampilan dalam mengelola, mengatur, menjaga, dan merawat seisi rumah. Menciptakan suasan aman dan nyaman, tempat melebur lelah juga membangun asa. Ungkapan rumahku surgaku, bukan sekedar kata tapi terealisasi secara nyata. Dan semua ini bisa terwujud dengan kecerdasan ibu dalam memanege rumah tangganya.
Kita mengenal sosok wanita mulia dari kalangan shahabiyah bernama al-Khansa binti Amr yang sukses menghantarkan empat orang putranya menjadi mujahid, dan meraih kedudukan mulia sebagai syuhada. Kita juga mengenal banyak nama tokoh Islam seperti Imam Bukhori, seorang perawi hadits yang diakui seluruh kaum muslimin. Imam Syafi’i, seorang ahli Fiqh yang berhasil menghafal al-quran pada usia 7 tahun. Imam Hambali, seorang ahli hadits, ahli fiqh dan mujtahid. Imam asy-Syaukani, seorang ulama besar dan pakar pendidikan. Mereka adalah figur generasi berkualitas dari para ibu cerdas dan berkualitas yang memahami kewajibannya untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya dalam ketaatan menghamba kepada zat yang maha menciptakan, Allah Swt.
Generasi berkualitas, lahir dari proses yang tidak instan. Membutuhkan kesungguhan dan ketangguhan dalam mendidik dan membina dengan stok sabar yang tidak terbatas. Tidak kalah penting adalah support lingkungan masyarakat dan negara yang menjalankan peran sebagai penanggung jawan dan pelayan rakyat di tengah kehidupan. Dibutuhkan sebuah sistem dan aturan yang mendukung terwujudnya ibu cerdas dan generasi berkualitas. Sistem ini harus berasal dari pencipta manusia, yaitu sistem Islam yang telah terbukti mampu melahirkan para generasi unggul yang tidak diragukan lagi kualitas ilmu, iman dan ketakwaanya.
Karenanya, merindukan peran ibu cerdas yang melahirkan generasi berkualitas bukan sekedar hayalan, tapi kepastian yang dapat terwujud dengan maksimal melalui penerapan Islam secara kaffah ditengah-tengah kehidupan kita. Wallahu a’lam. (*)