Oleh: Jusmiana
Pemerhati Umat
INDONESIA sedang lampu merah. Salah satunya terkait dengan kondisi ekonomi negara saat ini sedang kolaps. Belum lagi permasalahan lain yang kini menimpa negeri. Akibatnya, pemerintah mau tidak mau harus memutar otak agar masalah mampu terselesaikan. Bangsa ini sejatinya telah beberapa kali berganti pemimpin. Namun, kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat belum tercapai sebagaimana diharapkan. Mulai rezim orde lama disusul orde baru sampai era reformasi, kemiskinan masih terus menderita rakyat banyak.
Bukan tanpa solusi diberikan oleh pemimpin negeri ini. Hanya saja solusi tersebut belum mampu menyentuh pada permasalahan pokok. Dana umat diperas, Sumber Daya Alam dilepas. Pemerintah sepertinya sudah mengalami jalan buntu karena pendapatan negara terus menyusut. Terlebih utang luar negeri semakin membengkak lebih dari 6.000 triliun, sehingga dana wakaf disinyalir mampu menjadi alternatif untuk kembali meningkatkan pendapatan. Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU). Inilah terobosan baru yang diluncurkan oleh penguasa hari ini. Senin, 25 Januari 2021 acara peluncuran tersebut berlangsung diistana negara, Jakarta, dan diikuti sejumlah hadirin secara virtual.
Dalam sambutannya, Presiden yang juga bertindak selaku Ketua Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) menjelaskan bahwa pemerintah terus berupaya mencari jalan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan diseluruh pelosok tanah air, melalui pengembangan dan pengelolaan lembaga keuangan syariah.
“Kita perlu perluas lagi cakupan pemanfaatan wakaf. Tidak lagi terbatas untuk tujuan ibadah, tetapi dikembangkan untuk tujuan sosial ekonomi yang memberikan dampak signifikan bagi pengurangan kemiskinan dan ketimpangan sosial dalam masyarakat,” kata Presiden.
Terkait dana wakaf, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membidik partisipasi pengumpulan dana wakaf yang lebih besar dari masyarakat kelas menengah Indonesia, khususnya generasi muda. Dia menyebut kesadaran kalangan ini terhadap instrumen wakaf tengah meningkat sehingga bisa dijadikan sumber keuangan baru untuk memenuhi pembiayaan dari dalam negeri. Sri Mulyani mendasarkan hal ini dari realisasi pengumpulan dana instrumen wakaf kalangan menengah Indonesia tahun ini senilai 217 triliun. (Republika.co.id).
Penolakan pun terjadi karena ketidakpercayaan masyarakat pada rezim. Ditengah hangatnya perbincangan kasus korupsi Bansos, Jiwasraya hingga Asabri, membuat masyarakat enggan mendukung program ini.
Di Indonesia, potensi wakaf memang sangat besar. Berdasarkan data yang diterima Presiden, potensi aset wakaf per tahunnya mencapai 2.000 triliun dimana potensi dalam bentuk wakaf uang dapat menembus angka 188 triliun.
Nilai yang menggiurkan memang, apalagi dana wakaf saat ini hanya untuk pembangunan masjid, sekolah dan pembangunan lainnya. Namun gerakan ini menimbulkan pro dan kontra ditengah masyarakat. Salah satunya adalah pernyataan yang datang dari ekonom senior Dr. Rizal Ramli bahwa pemerintah saat ini tidak konsisten. Menurutnya, saat ini pemerintah memiliki ketakutan berlebihan terhadap Islam, tetapi memanfaatkan dana wakaf untuk pembangunan. Pernyataan tersebut tidak berlebihan bila disebut sebagai ungkapan perasaan yang mewakili mayoritas umat Islam.
Pola “Prasmanan” terhadap Syariat Islam
Layaknya prasmanan, diambil jika disukai. Begitulah gambaran rezim hari ini terhadap syariat Islam. Memilah-milah aturan yang akan diambil. Melalui Gerakan Wakaf uang ini, terlihat bahwa pemerintah seolah pro terhadap syariat Islam. Padahal sebelumnya pemerintah justru antipati terhadap syariat Islam bahkan mengkriminalisasi kelompok yang ingin menegakkan syariat Islam.
Sikap pemerintah yang menjadikan syariat Islam sebagai prasmanan wajar dalam sistem kapitalisme. Asas manfaat tidak akan terlepas dari pengemban ideologi ini. Terlebih ideologi Islam adalah musuh nyata bagi kapitalisme. Jika syariat Islam diterapkan secara kaffah, maka eksistensi kapitalisme akan semakin berkurang.
Syariat Islam sebagai Solusi Seluruh Problem Umat
Jalan keluar untuk memperbaiki ekonomi negeri ini sebenarnya sudah sering disampaikan berbagai pengamat ekonomi, yaitu hentikan penerapan sistem ekonomi kapitalis, ganti dengan sistem ekonomi Islam yang terbukti mampu menjadi sistem yang unggul.
Namun, keberadaan sistem ekonomi Islam tidak bisa diterapkan tanpa khilafah sebagai institusi negara satu-satunya dalam Islam. Umat bukan hanya didorong berwakaf, melainkan dana wakaf akan dikelola dengan amanah. Ekonomi negara menjadi kuat, kekayaan SDA pun dikelola dengan baik semata untuk menyejahterakan rakyat.
Sungguh, meninggalkan syariat, meski hanya sebagian, tentu akan mengakibatkan kesempitan hidup. Buktinya adalah defisit anggaran negara, utang negara mencapai lebih dari 6.000 triliun, kekayaan milik publik dikuasai oleh korporasi, korupsi menjamur disegala lini. Itu semua bagian kecil dari kesempitan dan berkurangnya keberkahan hidup akibat negara tidak dikelola berdasarkan syariat Islam.
Islam adalah agama yang sempurna. Menerapkan syariat Islam secara menyeluruh akan membawa kebaikan, karena Islam adalah solusi atas setiap persoalan yang ada.
Sudah sejak lama, upaya memisahkan Islam dengan politik dilakukan secara sistematis dan gencar. Akibatnya, kekacauan terus terjadi. Sekali lagi kita perlu menegaskan bahwa Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Pertama : Islam adalah agama syamil (menyeluruh) yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Syariah Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah ritual, akhlak, wakaf, zakat, haji ataupun persoalan individual. Syariah Islam juga mengatur mu’amalah seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan. Islam pun mengatur masalah ‘uqubah (sanksi), maupun bayyinah (pembuktian) dalam pengadilan Islam. Kedua : apa yang dipraktikkan langsung oleh Rasulullah saw. saat menjadi kepala negara di Madinah, menunjukkan hal yang jelas, bahwa Islam dan politik tidak dapat dipisahkan. Tampak jelas peran Rasulullah saw. sebagai kepala negara, qadhi (hakim) dan panglima perang. Rasul saw. pun mengatur keuangan baitul mal, termasuk masalah wakaf.
Seharusnya jangan hanya wakaf, zakat, haji yang diterapkan, tapi juga ajaran Islam lainnya, seperti jikah dan Khilafah tidak boleh dianggap radikal, karena semua itu bagian dari syariat Islam. Sungguh kebaikan dari syariat wakaf tak akan nampak jika pengelolaannya masih sekuler. Memilah-milah mana syariat yang cocok dan tidak, hanya akan menjadikan ajaran Islam sebagai bahan olok-olokan. Padahal, Allah swt. telah memerintahkan pada umat manusia untuk menerapkan Islam secara total agar keberkahan menyelimuti umat manusia.
Kita harus meyakini bahwa bukan hanya zakat dan wakaf, namun syariah Islam seluruhnya yang akan menjadi solusi. Bukan hanya mengatasi masalah ekonomi, tetapi juga atas seluruh permasalahan kehidupan.
Wallahu a’lam bi showab. (*)