Oleh : Yusri Usman
Direktur Eksekutif CERI

HANYA untuk menikmati hak harga BBM murah di negeri ini, hanya bisa dinikmati oleh rakyat dalam mimpi. Meskipun harga minyak dunia menunjukan angka yang sudah terkoreksi sekitar 70 persen, selama kuartal 1 tahun 2020. Tetapi tidak menunjukkan adanya perubahan harga di negeri ini. Dari pernyataan Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR pada 21 April 2020 lalu. Nicke kala itu, membenarkan harga produk bahan bakar minyak (BBM) saat ini di bawah harga crude, dan Pertamina sebagai BUMN tidak bisa mengikuti formula harga BBM yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM. Kalau diikuti, kata Nicke, bisa nanti Pertamina tak mampu membayar gaji karyawan dan membiayai Opex (Operation Expenditure) dan capex (Capital Expenditur).
Ini menunjukkan sikap Dirut Pertamina menyalahkan aturan soal BBM yang telah ditetapkan oleh Menteri ESDM. Itu memperlihatkan sikap putus asa dewan direksi dan dewan komisaris. Padahal, semua aturan itu berakar pada Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 yang sudah dirubah dengan Perpres Nomor 34 tahun 2018, semua aturan itu didasari UU Migas Nomor 22 Tahun 2001. Pernyataan Dirut Pertamina itu ibarat ‘buruk muka, cermin dibelah’. Kesalahan manajemen Pertamina selama ini, terbukti telah mengelola perusahaan tidak efisien dalam menjalankan proses bisnisnya dari hulu ke hilir. Faktanya sudah merupakan penyakit bawaan yang kronis. Namun kenyataan itu, oleh direktur utama seolah ingin menyatakan ke publik, kesalahan adanya di peraturan Kementerian ESDM dan Peraturan Presiden serta UU Migas.

Aturan itu sudah berlangsung lama dan beberapa kali telah direvisi serta sudah dilaksanakan dalam kebijakan harga BBM nasional. Prinsipnya semua aturan untuk melindungi kepentingan Pemerintah bisa memungut pajak BBM. Kelangsungan bisnis Badan Usaha (Pertamina dan Shell, Total, Vivo, AKR dan Petronas) dengan menikmati margin maksimal 11% (10/90 x harga dasar), dan kemampuan rakyat menikmati harga BBM yang dijual dengan harga wajar. Bagi rakyat tak mampu oleh pemerintah disubsidi tetap dan dianggarkan dalam APBN, termasuk untuk harga LPG 3 kg. Sesungguhnya kalau mau jujur, Pertamina sudah menyimpan penyakit bawaan yang kronis, tetapi selama tidak ada virus setara Covid-19, maka semua itu masih bisa ditutupi dengan aksi-aksi penerbitan surat hutang (global bond) untuk membiayai aksi perusahaan berupa akuisi dan investasi proyek baru, istilah kasarnya, ‘gali lobang tutup lobang’.
Yang kronis meliputi pembelian participasing interest beberapa asset blok migas di luar negeri, seperti di Malaysia, Aljazair dan Afrika (saham MnP), beberapa kontrak-kontrak jangka panjang LNG yang ada, dan proses bisnis pengadaan minyak dan LPG yang belum transparan juga sampai saat ini di ISC. Ternyata berbanding terbalik dengan ucapan Ahok sebagai komisaris Utama di akun twitternya. Sebagai contoh nyata, Pertamina telah menjual BBM Premiun Ron 88 ke industri seharga Rp 5.100 perliter diluar pajak sejak 15 April 2020. Tentu pertanyaannya mengapa rakyat sampai sekarang membeli Premium Ron 88 di SPBU masih di harga Rp 6.450 perliter. Itupun kadang sulit ada di SPBU, sehingga rakyat terpaksa beli Pertalite atau Pertamax Ron 92.
Bahkan sekarang muncul begitu banyak buzzer bayaran yang membuat opini bahwa kejatuhan harga minyak dunia yang terakhir dipresentasi harga WTI bisa minus USD 37 perbarel tak bisa dikaitkan harga BBM kita yang harus turun. Itu adalah hanya sebuah angka perdagangan derivatif untuk perdagangan berjangka adalah benar. Seolah-olah Pertamina berada di ruang hampa yang terpisah dari harga minyak dunia, dan seakan-akan harga minyak dunia bukan menjadi rujukan harga BBM yang dijual di wilayah NKRI.
Namun tak terbantahkan lagi, bahwa harga Dated Brent merupakan acuan harga minyak mentah dunia dan harga BBM publikasi MOPS merupakan acuan produk BBM yang sudah digunakan Pertamina selama 20 tahun dalam jual beli minyaknya. Tak bisa dipungkiri bahwa Kementerian ESDM, SKK migas, BPH migas, dan PLN semua berlangganan publikasi MOPS dan Argus yang menerbitkan harga minyak mentah dan BBM di dunia. Bahkan tidak tanggung-tanggung, biaya berlangganan publikasi itu nilainya sekitar Rp 100 milyar per tahun untuk tiap instansi di atas.
Oleh karena itu, sudah saatnya para pejabat publik yang digaji dengan uang rakyat untuk segera bertindak bijak di ruang publik, agar rakyat tidak melihat bahwa terkesan negara kita diatur secara crossboy. Sebaiknya lakukan kebijakan penentuan harga BBM itu sesuai aturan yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah, dan Pemerintah serta DPR juga harus mengawasi kepentingan rakyatnya dan harus menunjukan contoh yang baik dalam menjalankan aturan yang dibuatnya sendiri, bukan sebaliknya. Bagi Dewan Direksi Pertamina, jujurlah kalau sudah tak mampu menjalankan perintah pemegang saham, bersikap kesatria, nyatakan ‘lempar handuk’ itu lebih baik daripada jadi beban negara dan rakyat. (*)