TARAKAN – Penurunan harga udang windu atau black tiger yang menjadi komiditi unggul ekspor di bidang perikanan di Kalimantan Utara dikeluhkan oleh para petambak. Pasalnya, penurunan harga ini sudah terjadi beberapa tahun terakhir namun tidak ada solusi yang diberikan oleh pemerintah.
Lukman, petambak asal Tarakan ini menuturkan, penurunan harga udang memang tidak signifikan jika sekali turun. Akan tetapi, penurunan ini terus terjadi sejak beberapa tahun terakhir tanpa sebab yang pasti.
“Sudah puluhan tahun berlangsung. Setiap periode turun terus, akumulasinya sudah berjalan beberapa tahun, ibaratnya udang ini sudah tidak ada harga lagi,” kata Lukman.
Penurunan harga udang ini berbanding terbalik dengan kebutuhan operasional para petambak. Kebutuhan petambak mulai dari bibit, pupuk, racun hingga BBM mengalami kenaikan. Sementara harga udang terus menurun.
“Segala kebutuhan tambak naik, tidak berimbang dengan harga udang saat ini. Penyebab harga turun pun kami tidak tahu sampai sekarang. Kami hanya bisa merintih dan mengeluh. Hal ini juga sudah kami sampaikan ke pemerintah baik legislatif maupun eksekutif tapi tidak ada solusi yang diberikan,” kata Lukman dengan nada kecewa.
Menuruntya, pemerintah tidak mau tahu terkait masalah ini. Padahal Kaltara menjadi salah satu provinsi dengan ekspor terbesar di bidang perikanan khususnya udang windu. Ia pun pempertanyakan bagaimana regulasi penentuan harga udang dari pabrik atau cold storage.
Lukman menuturkan, yang menentukan harga udang adalah pihak cold storage yang diketahui hanya ada 5 di Tarakan. Yakni PT Mustika Minanusa Aurora, PT SKA, PT Sabindo, PT SAT dan PT PMMP. Ke lima perusahaan ini yang memberikan list harga ke para pengepul atau pos-pos pembalian udang dan petambak.
“Kita sebagai pos atau nelayan sudah menerima harga fiks dari pabrik. Penentuan harga itu melalui rapat antar pabrik. Yang kami mau tahu bagaimana regulasi penentuan harganya? Apakah berdasarkan harga di luar atau semena-semena antara mereka saja,” ujarnya.
Sebagai orang awam, Lukman merasa bahwa ada permainan harga dalam bisnis ekspor udang ini. Sebab, jika kita merujuk pada harga dollar terhadap rupiah, nilai dollar sangat tinggi. Tapi, kenapa harga udang ini masih saja turun.
“Dulu ketika harga udang turun, kami mengeluh dan mereka jelaskan itu karena dollar turun. Seperti kita tahu, udang ini merupakan komoditi ekspor dijual dan dibeli dengan dollar. Oke kami terima itu. Tapi kenyataannya saat ini, ketika dollar tinggi tapi harga tetap turun. Itu yang menurut kami tidak masuk akal,” paparnya.
“Untuk penentuan harga udang melalui rapat sesama pabrik ini sudah terjadi dari dulu. Tapi setahu kami, dulu penentuan itu berkolerasi dengan situasi ekonomi global. Artinya harga dollar naik maka harga udang ikut naik. Begitu juga sebaliknya. Sekarang tidak lagi,” lanjutnya.
Lukman pun mencontohkan, beberapa komoditi lain dibidang perikanan seperti ikan laut, kepiting, ikan tawar, udang galah hingga lobster tetap stabil bahkan mengalami kenaikan harga. Hal inilah yang menjadi pertanyaan bagi para petambak.
Meski demikian, para petambak tidak dapat berbuat banyak selain mengeluh, sebab muara penjualan hasil panen nelayan ini tetap ke 5 pabrik atau cold storage ini.
“Untuk alur penjualan, udang yang sudah dipanen oleh petambak biasanya di jual ke pos-pos pembelian udang. Ada juga petambak jual langsung ke pabrik atau cool storage. Muara akhirnya itu ke pabrik dan mereka yang menentukan harga jadi mau nda mau tetap kami jual,” akunya.
Saat ini harga udang windu dengan size 20 berdasarkan table dari pabrik sekitar Rp 80 ribu per kilo ditambah dengan komisi Rp 55 ribu per kilo. Jika ditotal maka harga hanya dikisaran Rp 135 ribu.
“Jika dibandikan dengan harga lama ketika dollar tidak semahal ini, masih lebih mahal yang dulu. Itu belum komisi. Jika diakumulasi turunnya sudah sekitar 200 persen. Size 20 itu kami bisa dapatkan dalam jangka 6 bulan,” jelasnya.
Tidak adanya tindakan atau solusi yang ditawarkan oleh pemerintah pun membuat nelayan jenuh.
“Komunikasi sudah capek. Beberapa kali demo tidak ada respon. Mediasi juga tidak ada solusi. Akhirnya kami menerima apa yang ada. Kami hanya bisa mengomel. Kami menganggap perwakilan kami di legislatif dan eksekutif kerjanya nol besar,” ujarnya.
“Kami berharap, keluhan kami sampai ke pusat. Baik ke DPR RI dan Presiden. Kami mohon agar ini menjadi perhatian,” harapnya. (sha)