Bagian (3): Rakyat Menolak Perppu Korona No.1/2020
Oleh : Marwan Batubara
MELALUI Tim Kuasa Hukum pemohon, Koalisi Masyarakat Peduli Kedaulatan (KMPK) telah memohon pada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa: a) Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan 3, b) Pasal 27 dan c) Pasal 28 Perppu No.1/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Gugatan terdaftar di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Nomor Perkara 23/PUU-XVIII/2020.
Sebagai kelanjutan dari tulisan-tulisan sebelumnya, pada Bagian (3) ini akan dijelaskan mengapa Pasal 27 Perppu No.1/2020 harus ditolak oleh rakyat. Pasal 27 Perppu No.1/2020 berbunyi:
1. Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
2. Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Baca juga : https://facesia.com/gonjang-ganjing-dalam-keputusan/
Baca juga : https://facesia.com/dpr-jadi-lembaga-penggembira/
Pasal 27 di atas sangat layak ditolak terutama karena memberi status kebal hukum kepada para pejabat negara yang membuat dan menjalankan kebijakan pemerintah berdasar Perppu. Para pejabat yang bertugas pada berbagai lembaga seperti diuraikan dalam Pasal 2 Perppu diberi perlindungan bebas tuntutan perdata dan pidana jika telah melaksanakan tugas berdasarkan iktikad baik dan ketentuan peraturan. Tentu saja rakyat harus menolak Pasal 27 Perppu tersebut karena alasan-alasan berikut:
1.) Bertentangan dengan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Salah satu aspek makna negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan. Dalam kondisi apapun hukum harus menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran yang bernalar. Sehingga tidak ada kejadian atau kondisi apapun yang mentolerir ketidakadilan ada dalam rongga-rongga hukum;
Betentangan dengan Pasal 23E UUD ayat 1: “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”. Pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dalam pelaksanaan Perppu wajib diperiksa oleh BPK yang bebas dan mandiri, untuk kemuddian hasilnya diserahkan kepada DPR, DPD dan DPRD;
2.) Bertentangan dengan Pasal 27 ayat 1 UUD: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Hukum secara universal mengutamakan prinsip equality before the law atau setiap orang sama di hadapan hukum dan supremasi hukum. Pasal 27 memuat rumusan norma yang menjadikan penegakkan hukum menjadi tidaklah adil;
3.) Bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD: ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Para pejabat pelaksana Perppu tidak berhak untuk mendapatkan perlakuan istimewa hanya karena terlibat melaksanakan Perppu;
Moral kekuasaan tidak boleh hanya diserahkan pada niat, ataupun sifat-sifat pribadi seseorang yang kebetulan sedang berkuasa. Betapapun baiknya seseorang, tetapi kekuasaan tetap harus diatur dan dibatasi. Apalagi jika sang pejabat mempunyai rekam jejak yang terbukti tidak amanah, tidak kredibel;
Jika seluruh pejabat memang menjalankan tugas berdasarkan iktikad baik dan patuh terhadap aturan, maka mestinya mereka tidak perlu khawatir akan dituntut secara perdata dan pidana. Karena itu, dengan sendirinya mereka harus siap bertugas di bawah kendali seluruh peraturan yang ada, apalagi konstitusi, tanpa perlu pencantuman Pasal 27;
Sebaliknya, dengan pencantuman Pasal 27 tersebut rakyat bisa menilai ada iktikad tidak baik dari pembuat dan pelaksana kebijakan untuk memanfaatkan Perppu guna memperoleh keuntungan, menyeleweng dan korupsi. Para pengidap moral hazard akan memperoleh jalan yang nyaman, leluasa dan tanpa kontrol untuk melakukan KKN, karena sudah terjamin tidak akan dapat dituntut secara hukum di kemudian hari.
Dengan berbagai pelanggaran yang sangat nyata terhadap konstitusi seperti diuraikan di atas, maka tak pelak Perppu No.1/2020 harus ditolak rakyat. Untuk itu KMPK mengajak seluruh elemen masyarakat berupaya sekuat tenaga untuk menolak Perppu tersebut. Jika akhirnya DPR mendukung peraturan sesat tersebut, menjadi UU, seperti sudah diberitakan hari ini (5/5/2020), maka KMPK akan Kembali menggugat UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Seluruh pelaksanaan kebijakan harus bersandar pada ketentuan hukum, dan tidak bisa disandarkan pada iktikad baik. Bagaimana bisa rakyat percaya bahwa seluruh pejabat pelaksana Perppu mempunyai iktikad baik dan kredibel, kalau sebagian dari mereka selama ini sudah biasa melanggar hukum, berbohong, ingkar janji, lebih memihak oligarki konglomerat hitam dan diduga tega pula korupsi ditengah korban korona?
Penolakan ini lebih didasarkan tuntutan kepada penyelenggaraan negara agar tetap tunduk kepada konstitusi dan hukum yang berlaku walau negara dalam kondisi darurat. Namun pada saat yang sama KMPK pun menuntut agar bantuan kepada masyarakat yang terdampak pandemi korona, terutama para korban PHK dan rakyat miskin harus menjadi prioritas untuk disantuni dan diberi berbagai fasilitas agar dapat bertahan hidup, serta dibebaskan dari ancaman kematian akibat korona.
Fakta Perppu Korona yang diterbitkan pemerintah, di samping melanggar konstitusi, juga tidak memuat ketentuan yang memadai untuk mengatur bagaimana masalaah kesehatan dan ekonomi masyarakat diatur. Tetapi justru lebih dominan memuat ketentuan untuk menyelamatkan bisnis para pengusaha sambil melindungi pelaku moral hazard dari tuntutan hukum. Hal ini tercermin dari alokasi anggaran dalam PP No.54/2020 tentang APBN-P 2020. Kalau klaim keberhasilan ekonomi selama ini benar, maka logikanya tentu anggaran untuk stabilitas keuangan dan ekonomi dalam APBN-B tidak akan sedemikian besar?
Pandemi Korona telah menutupi kegagalan pemerintah mengelola ekonomi nasional selama ini. Mereka mengklaim diri berhasil! Setelah itu, para pejabat gagal ini menerbitkan Perppu Korona yang lebih mengutamakan bisnis para pengusaha dibanding kesehatan dan hidup rakyat. Puncaknya, konspirasi oligarki ini malah menyiapkan jalan bebas tuntutan hukum terhadap pelaku moral hazard melalui Pasal 27 Perppu No.1/2020, di atas penderitaan rakyat yang mati dan hidup menderita. Apakah kita akan biarkan kejahatan tak bermoral ini? (*)