Oleh: ADINDA JURNALIS
AKHIR-akhir ini kita disajikan dengan rentetan peristiwa yang sangat menyayat hati. Pasalnya, hak asasi pada anak dan perempuan sedang berkabung akibat banyaknya kabar yang menodai hak-hak anak dan perempuan seperti pencabulan, pelecehan seksual dan pemerkosaan, atau hal yang berbau tindak kejahatan dan kekerasan seksual. Semua tahu kalau tindakan itu dapat menciderai fisik, psikis, mental, jiwa, raga dan sudah pasti merugikan korban. Mirisnya korban yang dituju adalah “Anak-anak Perempuan”.
Mengapa penulis kembali mengorek perkara itu, Karena kekerasan pada anak terutama kekerasan seksual semakin hari kian meningkat. Kebetulan atau tidak, peningkatan itu terjadi pada masa pandemi, Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencantumkan data pada tahun 2021 ada sekitar 7.191 kasus kekerasan seksual pada anak dan perempuan di Indonesia.
Dan mirisnya lagi, pihak yang melakukan kekerasan seksual adalah orang terdekat korban, coba ingat-ingat kembali berita yang belum lama dibahas, hingga viral berhashtag #percumalaporpolisi
Yapss benar, kasus pemerkosaan tiga orang anak oleh Ayah kandungnya sendiri. Dan bukan hal baru bagi warga Indonesia, kasus serupa pun sering kedapatan dan bagaimana dengan kejahatan belum atau sengaja tidak diungkapkan, ini hanya salah satu dari banyaknya kasus-kasus asusila lainnya. Sudah bukan hal tabu di Indonesia, sampai-sampai alih-alih tidak meredah justru kasus kian bertambah. Penuh-penuhin data KemenPPPA dan KPAI saja.
Atau berita lokal dulu saja deh, yang kerap menjadi perbincangan hangat malam ini, perihal seorang guru berusia 53 tahun Sekolah Menengah Atas di Kota Tarakan yang melakukan pencabulan pada anak berusia 11 tahun. Atau kasus eksploitasi seksual anak di bawah umur yang marak terjadi di Indonesia bahkan hingga wilayah perbatasan seperti Kaltara. Ada apa dengan para orang tua?
Orang tua ataupun guru, harusnya menjadi ruang dekap seorang anak perempuan, menjadi tolak ukur moral, menjadi haluan akan pembelajaran, persis pada UU nomor 35 tahun 2014, bahwa perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Anak menjadi tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan “Orangtua”. Tapi mengapa malah sebaliknya?
Betapa traumanya anak-anak perempuan yang dengan terpaksa mengalami kejadian itu. Bagaimana bisa keceriaan di usia belia harus direngut se-cela itu?
Siapa yang mampu bertanggung jawab atas apa yang telah menimpa mereka. Bahkan langkah pemulihan atau konseling pasca perkara sekalipun tak benar-benar mampu mengembalikan masa anak-anak mereka.
Motif pakaian tertutup atau terbuka sudah basi dijadikan pembenaran, bahkan ungkap “khilaf” rasa-rasanya segan diperdengarkan.
Mengapa semakin hari, anak-anak khususnya perempuan tak bisa hidup damai, tenang, atau bahkan merasa aman?
Sangat mahal dan pelik sekali untuk menuntut itu di jaman sekarang sekalipun telah di payungi perundang-undangan.
Bahkan di ruang yang mustinya menjadi pengaduan dan pelariannya saja, mereka masih dituntut untuk selalu was-was perihal kehormatan. Mengapa? Sepertinya diskriminasi gender sudah membiak dimana-mana.
Bahkan anak perempuan semakin hari nampak semakin rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi. Subordinasi yang bermukim pada mindset masyarakat sudah terpatok rapi, ya? Hingga sampai hati berulah se-keji ini.
Hey, hanya kesadaran saja untuk kembali mengingatkan bahwa masa depan bangsa Indonesia terletak pada anak-anaknya hari ini. Semakin terpuruk kondisi mereka, maka semakin suram masa depan peradaban. (*)