TARAKAN – Hasil perikanan Kalimanta Utara khusunya udang windu atau black tiger menjadi primadona komoditi ekspor yang paling diminati. Bukan tanpa alasan, udang windu yang berasal dari perairan Kaltara dinilai masih alami sehingga memberikan nilai jual tersendiri.

Meski demikian, harga udang windu dinilai terus menurun dari beberapa tahun terakhir. Para petani tambak pun mulai resah dan mempertanyakan kenapa harga ini bisa anjlok. Padahal, jika melihat ekonomi global, nilai tukar dollar sangat tinggi. Hal ini pun menimbulkan spekulan di lapangan, ada yang menilai bahwa terjadi permainan harga dari pihak pabrik yang merupakan ekporter udang ke beberapa negara.
Untuk menggali informasi lebih dalam, tim facesia.com mendatangi Abdul Rahman, mantan pekerja di salah satu perusahaan cold storage di Tarakan yakni PT Tunas Nelayan Mandiri. Kala itu, ia dipercaya sebagai Kepala Bagian Produksi.

Pria yang kesahariannya menjual Coto Makassar di Jalan Mulawarman ini tak menampik jika memang ada permainan harga di cold storage. Tapi menurutnya itu masih wajar. Terlebih saat ini sudah tidak ada lagi cold storage yang dikelolah oleh pribumi sehingga spekulan harga ini mulai muncul.

“Dulu ada cold storage H Muhidin. Satu-satunya pengusaha lokal yang fokus untuk kesejahteraan para petambak. Ia berani membeli dengan harga tinggi,” jelasnya.
Abdul Rahman menuturkan, spekulan harga ini muncul karena pihak cold storage juga harus menghitung untung dan rugi. Penyebabnya, karena pengepul atau pos pembelian udang mulai menjamur dan ini menurunkan kualitas udang.
“Kita juga tidak bisa menyalahkan mereka (perusahaan) karena kita tahu bahwa sekarang ini, udang yang dipasarkan oleh pengepul itu, kualitasnya beda jauh dengan yang dahulu. Dulu pengepul tidak sebanyak sekarang. Sehingga udang yang baru dipanen oleh petambak langsung di bawa ke perusahaan. Ini yang mempengaruhi harga tetap stabil, karena kualitas udang masih sangat fresh,” tuturnya.
“Waktu itu udang bagus, sangat melimpah. Tapi sekarang, udang yang baru di panen oleh petani tambak kemudian di kirim ke pengepul dan ditampung beberapa hari. Setelah itu pengepul mengirim ke pabrik. Jadi kualitas sudah menurun, tidak seperti pertama dibeli,” jelasnya.
Baca juga: https://facesia.com/harga-udang-anjlok-petambak-menjerit/
Ia menegaskan, ini bukan permainan harga di perusahaan, sebab dalam bisnis mereka harus menghitung untung dan rugi. Selain kualitas yang menurun, ada aspek lain yang juga mempengaruhi harga beli udang yakni permainan size.
“Sebab yang kami tahu, pada saat di pengepul atau pos pembelian, size udang banyak yang dicampur. Misalnya size 20 itu dicampur dengan 25 dan 30. Itu masalahnya. Harusnya tidak boleh dicampur,” ujarnya.
“Makanya, dari mana bisa untung pengepul tadi dengan cara mereka menggabung size itu, kemudian meminta harga size 20 ke pabrik. Sebab, perbedaan harga beli dari size itu tadi bisa beda mulai dari Rp 10 rb hingga Rp 15 ribu. Jadi permainan mengaduknya itu, bagaimana cara biar bisa menjadi size 20. Pihak pabrik juga punya hitung-hitungan dong. Makanya harga kita sekarang tidak seperti daerah lain,” bebernya.
Dari beberapa penjelasan yang disampaikan Abdul Rahman, ada beberapa hal yang bisa disimpulkan. Anjloknya harga udang di Kaltara dipengahui oleh kualitas udang yang mulai menurun, juga adanya pencampuran size yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Hal ini yang memicu perusahaan tidak dapat memberikan harga tinggi terhadap pembelian udang.
Dalam bisnis, perusahaan harus mengeluarkan cost lebih untuk memilah udang yang sudah bercampur. Sebab, perusahaan memiliki standar pengiriman produk ke buyer sesuai dengan SOP yang sudah disepakati kedua belah pihak.
“Saya juga tidak menyalahkan pengepul tadi, tapi dari semua rentetan itu ada salah pengepul. Untuk mencari solusi, coba kita berdiskusi dengan perusahaan karena saya lama di pabrik. Karena udang yang di pabrik memang harus sama besarnya. Tidak boleh asal-asal mengepaknya. Harus sesuai dengan permintaan buyer. Makanya perusahaan juga pasti hitung-hitungan,” jelasnya.
Petambak Kecil Terjebak Pinjaman Bibit oleh Pengepul
Dari beberapa rentetan masalah yang timbul, ada hal yang menjadi pertanyaan saat ini. Kenapa para petambak tidak menjual langsung hasil panen ke pabrik? Apakah benar banyak petambak kecil terjebak utang piutang dengan pengepul atau pos pembelian udang? Seperti pinjaman modal atau bibit.
“Iya memang ada yang seperti itu, tapi itu tidak mempengaruhi harga. Harga ini sama semua. Yang beda hanya dari komisi. Biasanya dari pabrik memberikan komisi Rp 80 ribu atau Rp 90 ribu, bahkan ada yang menambah hingga Rp 100 rb,” jelasnya.
Mengenai petambak yang tidak menjual langsung hasil panen ke pabrik, Abdul Rahman mengatakan, ada beberapa faktor yang mempengahui selain masalah utang bibit dan lainnya.
“Bisa jadi karena faktor keluarga. Sebab, sekarang ini banyak pemilik pos pembelian tapi mereka juga petambak. Jadi misalnya mereka punya tambak beberapa hektare buatlah pos pembelian udang dan memanggil keluarganya untuk menjual sama dia,” bebernya.
Rahman juga menjelaskan, kenapa kemudian banyak petambak yang meminjam modal atau bibit ke pengepul karena proses lebih cepat. Beda halnya dengan perusahaan. Jika ingin mengajukan pinjaman, prosesnya lama karena ada manajemen keuangan yang harus memperoses peminjaman ini.
“Makanya mereka lebih memilih pinjam ke pengepul. Karena cepat,” ujarnya.
Kisah Sukses Cold Storage Milik H Muhidin
Sebagai salah satu karyawan H Muhidin sekitar 15 tahun lalu, Abdul Rahman bercerita tentang kisah sukses cold storage yang dikelolah H Muhidin. Di masa itu, harga udang sangat tinggi begitupun kualitas sangat terjaga.
“H Muhidin mampu menyaingi harga cold storage yang lainnya. Akhirnya petambak memilih menjual ke pabrik H Muhidin,” kenanganya.
Ketika ditanya apa yang membedakan pabrik yang dikelola oleh H Muhidin dengan pabrik lainnya yang masih beroperasi saat ini? Abdul menegaskan, kala itu, H Muhidin memang fokus untuk kesejahteraan masyarakat Kaltara, bukan hanya mencari keuntungan pribadi.
“Yang kedua, faktor harga saat itu sama saja, yang membedakan itu cara kerjanya. Selain itu, karena H Muhidin ini pribumi sehingga banyak yang menjual sama dia,” tuturnya.
“Waktu itu pengepul belum ada, jadi petambak itu langsung ke perusahan semua. Jadi udang yang dijaul asli dari tambak. Masih sangat segar, size juga tidak bercampur. Timbangnya itu ditiris betul-betul, tidak ada airnya baru kita timbang,” ungkapnya.
Berkaca dari pengalamannya, Abdul Rahman menyakini jika petambak menjaga kualitas udang maka harga masih bisa bersaing. Sebab, di daerah lain, dengan sistem tata kelola yang baik, harga udang sangat stabil.
“Misalnya petambak mengirim langsung udang segar ke pabrik, itu sangat dimungkinkan sekali harga masih bisa berubah. Jadi sebenarnya yang harus dilakukan sekarang memperbaiki kualitas agar harga juga bagus,” katanya.
Ia juga menyebutkan, bahwa pemerintah tidak bisa masuk untuk mengintervensi perusahaan untuk menstabilkan harga udang. Sebab,ini murni bisnis to bisnis. Perjanjian antara perusahaan dan buyer.
“Permeintah tidak bisa masuk. Kecuali dia punya pabrik sendiri,” pungkasnya.(sha)