Catatan : Sultan Wong

SABTU, 26 Februari 2022. Sudah seminggu lebih rasanya kisah ini tak kubagi. Sebenarnya, perjalanan ini bukan rahasia penting. Bukan pula peristiwa istimewa yang susah dicerita. Ditambah lagi, semua catatan hilang bersama handphone-ku yang rusak. Bingung memulainya dari mana.
Daripada tak menghasilkan apa-apa, kupaksa isi kepala berpikir semaunya. Segera kuraih laptop yang kupinjam dari Mas Yudhi Hamdhani. Kucari penopangnya. Meja di seberang kasur kutarik mendekati jendela. Pelan-pelan kurapatkan kursi, kumantapkan posisi, duduk manantang bermacam cahaya dari langit sana. Tak lupa, kubiarkan angin merdeka memilih tempatnya. Dari sini…..

Saat itu masih pagi. Kembali kubuka catatan yang terselip di ingatan, Sabtu 19 Februari 2022. Ya, Sabtu lalu, matahari tak mau tampakkan mukanya. Cahaya di bumi terlihat redup. Basah di mana-mana. Gerimis belum juga ada tanda-tanda mau berhenti dari derasnya. Suara hantaman lembutnya dari atap membuatku kembali menguap. Aku terbawa suasana.
Tubuh menggigil ini kugerakkan. Mataku menyapu semua isi kamar. Semua terlihat baik-baik saja. Tapi menguap kembali tak bisa kuhindari. Mataku ikut berair karenanya. Tak lama, rasa penasaranku membuncah. Leherku memanjang menjangkau halaman rumah melalui jendela. Sembuh dari demam menjalar di seluruh isi semangatku.
“Masih gerimis,” aku bercerita pada diri sendiri. Hampir tak terdengar.
Mendung ikut mengganggu perasaan. Kuraih handphone. Kubuka satu persatu isinya. Ada chat dari dia. Cinta yang masih kujaga. Kubaca pesannya, lalu kututup tanpa membalasnya. Ah, belum apa-apa aku sudah rindu dibuatnya!
Hujan yang turun sejak pukul 03.00 Wita subuh tadi memang menjadi benteng sinar matahari menjangkau bumi. Awan yang berlapis-lapis ikut menjadi tameng agar cahaya itu terasa sekenanya saja. Listrik di dalam rumah sejak pagi memang sudah kumatikan. Tak boleh boros energi. Ini pilihan, juga kebutuhan.
Kubuka tirai agak pelan. Kulirik jam tangan. Cahaya di luar sedikit membantu penglihatan. Sudah sekira pukul 13.00 Wita. Sudah siang, tapi masih seperti pagi.
Namun, rasa was-was mengganggu pikiranku yang ingin segera menepati janji. Rencana kumpul di markas Three C, atau dikenal dengan nama komunitas Camping, Cerdas, Ceria, di Gang Bismillah, Kompleks Perumahaan Pepabri, Kelurahan Kampung Satu semakin mendekati. Dua jam lagi aku harus ada di sana. Untunglah seluruh perlengkapan sudah kusiapkan sejak tadi malam.
Tapi gerimis ini….
“Kami sudah di rumah Ketua, Paman. Ada Bang Yona, Bang Roni, Bang Eko sama 2 teman sekolahku. Ditunggu ya, Paman?” suara Adinda Rahmadani di seberang sana membuka obrolan.
Remaja kelas XII SMA Muhammadiyah Tarakan ini memang selalu ingin ikut dalam setiap agenda kami yang umumnya berusia di atas kepala tiga. Biasanya, ada beberapa perempuan yang seusia kami ikut berkemah. Namun kali ini dia seorang diri perempuan dalam rombongan yang semuanya lelaki. Dia termuda dalam lindungan kami dan akan menjadi Tuan Putri dalam perjalanan ini.
“Paman tunggu di depan 613 (Markas Komando Raider Yonif 613 Raja Alam) saja, ya. Di sini gerimis masih agak deras,” jawabku berusaha santai. Bayangan perintah Bang Mustari, ketua dalam komunitas ini membekap rasa malasku. Aku ‘dipaksa’ bergerak cepat.
Telepon yang jadi penghubung kami kembali kuletakkan di meja. Aku bergegas ke kamar mandi, berdandan seadanya lalu berlari-lari kecil meraih keril berisi pakaian, alat tidur, alat masak, alat mandi, flysheet, tali-temali, hammock dll. Kupanjatkan doa pelan-pelan. Tak lama. Sedikit saja yang kuminta pada Allah. Aku memilih merahasiakannya.
Setelah kondisi rumah terkunci dengan aman, jadilah gerimis kubelah dengan semangat baja. Motor yang kukendarai melaju di aspal Jalan Cahaya Baru dengan santai, berikut semangatnya.
“Kapan lagi ke Pulau Sadau,” batinku berujar sekenanya.
Ada sedikit senyum tersungging setelah kalimat tadi. Rasa bahagia belum benar-benar berani keluar dari tempatnya. Masih sebatas ungkapan biasa.
Tiba di ujung Jalan Lestari, masih masuk wilayah Kelurahan Karang Harapan, aku berhenti. Motor kuparkir di sisi jalan. Kupastikan aman bila hanya parkir 1 sampai 4 hari. Warga di sini saling menjaga. Semua baik. Usai mendapat izin dari salah seorang warga, aku pilih menyeberang, menunggu kawan-kawan yang ikut dalam rencana kemah ceria ini.
Kudapati kursi panjang milik penjual makanan tak disusun bersama kursi lainnya. Sepertinya kursi berbahan kayu ini sengaja dibiarkan untuk diduduki siapa saja yang singgah. Kakiku memanjang semaunya. Punggungku bersandar sembari menekuri nikmat-Nya yang tiada tara.
“Sejak pertama, kujumpa dirinya, terpasuh anganku dalam binar matanya. Sekejap mata, tak lena kumelepasnya, ingin diriku lalui waktu, hanya bersamamu…” tembang band lawas, Club80 membawaku ke irama lain yang lebih dalam.
Lagu berjudul ‘Hingga Akhir Masa’ ini merayau lepas di telingaku. Lagu itu berulang-ulang menyenangkan perasaan. Hampir tertidur aku dibuatnya.
Masih dalam posisi bersandar, mataku justru tertuju jauh ke persimpangan Jalan Bhayangkara dan Jalan Aki Balak. Menunggu moncong mobil pikap L300 yang akan membawa kami ke salah satu dermaga di Kelurahan Juata Laut.
“Ah, perjalanan yang akan melelahkan,” aku membatin di tengah semangat yang tak bisa diajak kompromi lagi.
Pulau Sadau. Pulau di barat Kota Tarakan ini yang akan kami tuju. Namanya juga pulau, laut adalah jalur penting yang harus kami lalui. Di perjalanan pasti akan menemukan ombak yang menggoda dan angin yang kapan saja menitipkan sakit pada raga.
Bila membuka salah satu jurnal, Pulau Sadau sebenarnya berasal dari Bahasa Inggris, Shadow Island. Kalau diartikan seenak udel berarti Pulau Bayangan. Tapi bagi kami, warga Tarakan, Kalimantan Utara, Shadow Island lebih dikenal dengan nama Pulau Sadau yang mungkin pelafalannya sudah tergerus dengan lidah lokal kami.
Pulau yang tak terlalu luas tapi tiba-tiba mengundang kami untuk menghibur kesepiannya yang lama tak dijamah orang yang sok ‘kota’. Dalam dokumen administrasi Pemerintah Kota Tarakan, Pulau Sadau masuk dalam wilayah kuasa RT 13, Kelurahan Karang Harapan.
Satu jam menunggu, mobil hitam yang kuat di segala medan itu akhirnya muncul. Semua personel yang disebut Adinda melalui telepon tadi sudah lengkap. Semringah dari raut wajah mereka tak bisa disembunyikan, meski gerimis menolak mereka untuk bahagia. Setelah kupastikan tak ada lagi yang terlupa, keril kunaikkan, menyusul aku melompat ke bak pikap. Gerimis siap kami taklukkan. Bang Mustari di balik setir memimpin perjalanan.
Mobil melaju dengan kencang. Angin dan gerimis kecil datang tanpa ampun. Kami tak bisa menolak kedinginan, tapi tak mau kehilangan momentum. Ada rasa bahagia menaklukkan Jalan Aki Balak dan Jalan Pangeran Aji Iskandar di tengah gerimis. Bahkan, tiga kelurahan yang kami lalui seperti sudah rela melepaskan kami ke pulau yang menurut orang-orang adalah pulau yang cukup ramai namun jauh dari kebisingan kota.
“Pulau Saaadaaauuu, kami dataaaanngg….,” suaraku melengking di tengah rintik yang mungkin akan membuatku demam setelahnya.
Tiba di titik kumpul, kami semua turun. Letaknya tak jauh dari salah satu dermaga di Juata Laut. Di dermaga inilah kami akan memulai seluruh rangkaian perjalanan. Rumah salah seorang sahabat Bang Mustari inilah jadi tempat kami istirahat sambil menunggu air laut pasang.
Air laut pasang adalah syarat mutlak bila ingin merapat di dermaga Pulau Sadau. Tidak boleh tidak! Kalau air laut surut di Pulau Sadau, satu-satunya tindakan yang harus diambil adalah berjangkar jauh di depan dermaga. Sekitar 400 meter. Jauh.
Selain itu, kami juga harus menunggu kedatangan Ketua Karang Taruna Kota Tarakan, Mas Roniansyah. Pria ramah ini sedang dalam perjalanan. Dia tak bersama kami yang memilih naik pikap. Dia bersama 4 rekannya yang lain, sesama pengurus Karang Taruna Kota Tarakan. Masing-masing mengendarai motor. Tanpa Mas Roni –begitu nama akrabnya—kami tak akan tahu di mana lokasi berkemah nanti. Dia tiba-tiba jadi orang penting dalam kehidupan rombongan ini.
Tak lama, pria yang tak pernah pisah dengan topi ala kawula mudanya itu datang. Dia langsung mengabarkan bahwa selain berkemah, mereka akan menggelar beberapa kegiatan besok, Minggu 20 Februari 2022.
“Yang ikut kemping ini saja (5 orang). Selebihnya, besok mereka datang. Jam 10 pagi,” begitu Mas Roni mengabari. “Banyak cewek dan ibu-ibu juga,” bisiknya tiba-tiba berusaha menambah rasa bahagia pada kami.
Ya, kami ikut didaulat mendukung acara Karang Taruna Kota Tarakan di Pulau Sadau. Dalam kegiatan ini, kata Mas Roni, Karang Taruna yang dia pimpin akan menggelar acara bersama komunitas lain, seperti Ikatan Perempuan Tidung Tarakan (IPTA), Ikatan Pemuda Makassar (IPM) Kota Tarakan, Komunitas Open Book One Person (OPOB) Tarakan dan beberapa komunitas lainnya. Tentu saja melibatkan warga dan anak-anak di sana.
“Ada yang bagi-bagi sembako, ada cek kesehatan, ada juga bercerita bersama anak-anak di sana. Dan beberapa kegiatan lainnya,” Mas Roni kembali menjelaskan panjang lebar.
Asyik bercerita, waktu yang ditunggu pun tiba. Air laut sudah pasang. Kami bergegas ke dermaga. Di sana, sudah ada kapal yang lumayan gede menunggu. Baru naik ke kapal, percakapan kami yang semula riang tiba-tiba menjadi percakapan horor. Pukul 17.00 Wita, sekarang. Hampir malam.
Suara mesin domfeng KM Kharisma yang ‘itu-itu saja’ akhirnya membawa kami ke lautan. Tak ada percakapan khusus di kapal ini. Bising mesin kapal hanya membuat kami sepakat untuk berfoto. Kami sebenarnya sedang memendam sesuatu yang tak bisa diungkap sehingga tak mampu menuangkan apa rencana selanjutnya ketika sampai di Pulau Sadau.
Kalau sudah begini, ingin rasanya kembali mendengarkan lagu ‘Hingga Akhir Masa’ karya Club80. Siapa tahu lagu lawas ini bisa menenangkan pikiranku yang sedang tak menentu. Maklum, Malam Minggu.
“Pulau Sadau akan menjemputku, tapi aku tiba-tiba rindu padamu. Ah, aku kembali kacau!” kali ini aku seperti kerasukan kepiting bucin. Merah merona di muka. (bersambung)