Oleh : Apt. Siti Jubaidah., M.Pd
(Dosen STIKES SAMARINDA)

Dua tahun terakhir, moderasi kembali marak menjadi perbincangan. Terutama sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan tahun 2019 sebagai Tahun Moderasi.
Banyak kegiatan berupa penelitian, seminar, dan karya ilmiah yang mengangkat tema ini, termasuk di tanah air. Bahkan lembaga-lembaga yang menggunakan nama moderasi belakangan banyak bermunculan (TribunKaltim.co, 20/12/20)
Moderasi beragama didengungkan oleh lembaga-lembaga kajian keislaman yang dianggap bagian dari tuntutan zaman dengan embel-embel sebagai islam yang moderat. Fakta sekarang penerapan wawasan moderasi Islam (wasathiyah Islam) di kalangan kaum muslimin di seluruh dunia menjadi kesepakatan antara Menkopolhukan RI Mahfud MD dan Sekjen Rabithah Alam Islam atau World Moslem League (WML) Syekh Abdul Karim Al Issa, di Riyadh (8/12/2020).

Pada kesempatan tersebut, Mahfud MD menyatakan Islam wasathiyah sangat cocok bagi umat Islam di Indonesia yang disebut merupakan laboratorium pluralisme dan toleransi paling efektif di dunia.

Hal ini karena menurut Mahfud, Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dengan berbagai agama dan mazhab keagamaan yang sangat lengkap. Semuanya bisa hidup berdampingan (kompas.tv, 9/12/2020).
Sebagai seorang muslim wajib difahami bahwa kata “toleran”, atau kata “moderat” (wasathiyyah) sering digunakan dengan makna positif untuk mensifati orang-orang yang bisa menerima hal-hal yang melenceng dalam syari’ah, seperti LGBT, pernikahan sejenis, muslimah menikah dg non muslim, membuka aurat, orang kafir menjadi penguasa dan tidak perlunya hukum syari’ah diterapkan secara formal. Sementara kelompok yang menolak hal tersebut akan dijuluki radikal, fundamentalis yang dianggap berbahaya
Parahnya, klaim tersebut kemudian dijustifikasi dengan dalil dari Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 143:
شَهِيدًا عَلَيْكُمْ الرَّسُولُ وَيَكُونَ النَّاسِ عَلَى شُهَدَاءَ لِتَكُونُوا وَسَطًا أُمَّةً جَعَلْنَاكُمْ وَكَذَلِكَ
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat yang “wasath” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Ayat inilah yang sering dipelintir, digunakan tidak pada tempatnya, lalu siapa saja yang mereka cap radikal, fundamentalis dan tidak sesuai dengan selera mereka dianggap telah melanggar ayat ini. Padahal, kata “wasath” memiliki makna yang jauh berbeda dengan apa yang mereka klaim.
Makna Wasath
Padahal tentang ayat ini sudah tepat, kata wasath diterjemahkan menjadi “adil dan pilihan”, bukan diterjemahkan dengan “moderat”. Imam al Qurthubi (w. 671 H) menyatakan:
“al wasath : (maknanya) adalah adil”(Tafsir al Qurthuby, 2/153)
Beliau mengutip hadits hasan sahih riwayat Imam at Tirmidzi:yang artinya :“dari Abu Sa’id al Khudri, dari Nabi ﷺ, tentang perkataan Allah Ta’ala: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat yang “wasath”, Beliau saw mengatakan: (al wasath adalah) adil.”
Menggaungkan opini moderasi dalam beragama ini adalah bathil, karena memaksakan aturan-aturan syari’at dan sudah mengajak kepada kemungkaran yang sangat jelas dengan asumsi toleran dan menganggap islam yang terdahulu sudah tidak dapat digunakan secara formal, padahal jika diteliti lebih dalam justru mereka membuat jargon seperti ini untuk tujuan menjauhkan umat islam untuk mendalami agamanya dan sibuk menawarkan konsep toleransi, Islam damai dan mengakomodir pluralitas, namun faktanya masif menyerang Islam dan umat Islam. Atas nama agenda deradikalisasi,
Moderasi Islam mereka gunakan salah satu titipan design dari barat dengan target menjauh dari islam politik dan menjadi pengekor keinginan barat. kaum kafir sadar untuk menikam Islam politik yang hadir ditengah umat. Ketakutan ini jika Islam politik hadir, akan membuat umat makin cerdas mengkritisi dan membongkar kebobrokan mereka. Kebekuan berpikir umat Islam mereka langgengkan dengan jalan moderasi Islam.
Islam dan politik tidak dapat dijauhkan bahkan dipisahkan dari umat karena Nabi Muhammad S.A.W sebagai uswah hasanah dalam mengatur tata Negarapun bedasarkan pada rambu-rambu syari’ah dan politik disini mengatur dalam segala lini kehidupan yaitu : ekonomi, sosial, pendidikan dan lainnya.
Tak dapat dipungkiri proyek liberalisasi dan kapitalisasi dari barat solusinya adalah islam karena ideology islamlah yang memiliki cara pandang berbeda karena bearsal dari Ilahi yang tidak dapat dikompromi untuk kepentingan segolongan justru ideology ini untuk kemaslahatan umat,
Adalah tugas kita, menyadarkan umat akan situasi sebenarnya. Bahwa mereka saat ini ada di antara dua pilihan. Berislam dengan cara barat yang mengundang kemudaratan. Atau istikamah memegang Islam kaffah (menyeluruh) dan Institusi Khilafah/negara Khilafah, yang menjanjikan kemuliaan. Hanya dengan kesadaran ideologislah, umat akan mampu membaca hakikat kebenaran, bahwa semua yang terjadi di dunia ini, berjalan dalam skenario Allah dalam benturan peradaban yang ujungnya ada pada kemenangan Islam.
Wallahu’alam Bisawab.(*)