Oleh: Dr. Syamsuddin Arfah, M.Si
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku…” (QS. Al-Baqarah: 186)
Ramadhan bukan sekadar ritual, melainkan momentum transformasi. Ia adalah mihrab pertaubatan, ruang kontemplasi, dan medan perubahan. Dalam dekapnya, doa mengalun lebih syahdu, harapan meretas batas logika, dan langit seolah lebih dekat. Inilah momentum emas—saat ruh bergetar dalam ketundukan, saat doa menjelma wasilah keajaiban.
Sejarah mencatat, momentum adalah kunci. Lihatlah kisah keluarga Imran: keluarga yang tak sekadar bernasab mulia, tetapi menanam visi peradaban. Istri Imran berharap anak lelaki sebagai penjaga Baitul Maqdis, tetapi Allah menganugerahinya Maryam—seorang perempuan suci yang kelak melahirkan Nabi Isa AS. Allah tidak selalu memberi sesuai pinta, tetapi selalu menganugerahkan yang terbaik.
Maryam tumbuh dalam pengasuhan Nabi Zakariya, seorang lelaki yang bertahun-tahun merindu keturunan. Setiap kali ia masuk ke mihrab Maryam, ia mendapati rezeki yang tak lazim. Maryam menjawab dengan ketenangan tauhid, “Ini dari Allah.”
Jawaban itu mengguncang kesadaran Zakariya. Jika Allah mampu memberi tanpa sebab yang kasat mata, mengapa ia ragu akan doa yang selama ini ia panjatkan? Di tempat itu, Zakariya mengangkat tangan, memohon dengan sepenuh jiwa:
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku dari sisi-Mu seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” (QS. Ali Imran: 38)
Mustahil di mata manusia, tetapi tidak di hadapan-Nya. Allah mengabulkan doa Zakariya. Istrinya yang telah sepuh dan mandul melahirkan seorang putra: Yahya, bukan sekadar anak, tetapi seorang nabi.
Mihrab Ramadhan, Gerbang Keajaiban
Ramadhan adalah Hunalika kita—seperti mihrab Maryam bagi Zakariya. Di sinilah doa menemukan puncak kekhusyuannya. Jika harapan masih terasa jauh, jika impian tertahan di antara ketidakmungkinan, inilah saatnya mengangkat tangan, berserah dengan sepenuh pengharapan.
Lihatlah Kalimantan Utara—daerah yang kaya akan potensi, tetapi masih menyimpan banyak ironi sosial.
Di ruang-ruang kelas yang sederhana, guru-guru TK, SD, dan SMP tetap berdiri mengajar dengan penuh dedikasi. Mereka tak pernah meminta lebih, hanya berharap hak mereka tidak diabaikan. Namun, tahun ini, insentif mereka tidak terakomodasi, sementara para guru honorer dan P3K harus menghadapi pemotongan TPP (Tunjangan Penghasilan Pegawai) yang tak mereka duga. Mereka bertahan bukan karena gaji, tetapi karena panggilan jiwa. Lalu, kepada siapa mereka bersandar jika bukan kepada Sang Pemilik Ilmu?
Di pabrik-pabrik dan perusahaan, buruh dan pekerja menghadapi ketidakpastian. Upah yang mereka terima tak selalu sebanding dengan tenaga yang mereka curahkan. Beberapa bahkan dirumahkan tanpa kejelasan nasib, sementara harga kebutuhan pokok terus merangkak naik. Di antara keringat dan kelelahan, mereka berdoa, berharap ada kebijakan yang lebih berpihak.
Di meja-meja administrasi, sejumlah pekerja menatap laporan BPJS Ketenagakerjaan yang tertunggak. Bukan karena mereka lalai, tetapi karena ada celah kebijakan yang menghambat hak mereka. Akibatnya, jaminan kesehatan yang seharusnya menjadi hak mereka kini menjadi beban yang harus mereka tanggung sendiri. Mereka hanya bisa berikhtiar, berharap ada keadilan yang masih berpihak kepada mereka.
Di pasar-pasar tradisional, di pusat perbelanjaan, di outlet-outlet pakaian, para pedagang menghadapi realitas yang semakin berat. Dagangan mereka semakin sepi, omzet menurun drastis, sementara toko-toko daring terus menguasai pasar tanpa regulasi yang seimbang. Persaingan ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga pertaruhan nasib ribuan keluarga yang menggantungkan hidup pada usaha kecil.
Di antara mereka ada yang diam, ada yang bertanya, ada pula yang berdoa. Doa yang lirih, namun penuh harap. Seperti doa Zakariya di mihrabnya. Seperti doa Maryam dalam kesendiriannya.
Ramadhan adalah jawaban bagi hati yang resah. Sebagaimana Zakariya menjadikan mihrabnya sebagai titik tolak keajaiban, mari jadikan Ramadhan sebagai momentum emas. Kita tidak sekadar berdoa, tetapi meyakini bahwa di antara malam-malamnya tersimpan jawaban atas harapan-harapan yang terpendam.
Ramadhan telah mengajarkan kita bahwa keajaiban bukan hanya tentang sesuatu yang luar biasa, tetapi juga tentang bagaimana Allah menggerakkan hati manusia menuju kebaikan. Jika kebijakan masih belum berpihak, jika hak-hak masih tertahan, jika keadilan masih terasa jauh, maka doa adalah senjata terakhir yang tak bisa dibungkam.
“Ya Rabb, sebagaimana Engkau mengabulkan doa Zakariya, karuniakanlah kepada kami keajaiban di Ramadhan ini. Karuniakan keadilan bagi negeri ini, kemakmuran bagi rakyatnya, dan keteguhan hati bagi mereka yang memperjuangkannya.”
Allahu a’lamu bis-shawab. (***)