Oleh: Ernadaa Rasyidah
(Pengamat Generasi)

Marhaban ya Ramadan, Euforia kaum muslim kian tampak menyambut bulan suci. Bulan untuk memperbanyak ibadah, menambah khusyuk, meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Momentum ini pula yang menjadi perhatian Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Siaran Pada Bulan Ramadan. Surat edaran ini merupakan panduan lembaga penyiaran dalam bersiaran pada saat Ramadan 1442 H atau 2021 nanti.
Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, mengatakan maksud dan tujuan dari edaran ini adalah untuk menghormati nilai-nilai agama berkaitan dengan pelaksanaan ibadah di bulan Ramadan. Surat edaran ini adalah hasil keputusan Rapat Koordinasi dalam rangka menyambut Ramadan 1442 H tanggal 10 Maret 2021 lalu yang dihadiri KPI, Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, dan perwakilan lembaga penyiaran.

Di antara aturan itu, KPI melarang televisi menampilkan adegan berpelukan atau bergendongan atau bermesraan dengan lawan jenis, larangan menampilkan gerakan tubuh yang berasosiasi erotis, sensual, cabul. Begitu juga ungkapan kasar dan makian yang bermakna cabul dan menghina agama lain. (Tirto.id, 20/3/2021)

Dalam aturan tersebut juga dicantumkan larangan menampilkan muatan LGBT, hedonistik, mistik, horor atau supranatural, praktik hipnotis, atau sejenisnya. Lembaga penyiaran dilarang mengeksploitasi konflik atau privasi orang lain, bincang seks, serta muatan yang bertentangan dengan nilai kesopanan dan kesusilaan. Semua itu dilakukan untuk menghormati nilai-nilai agama serta meningkatkan moralitas masyarakat.
Di satu sisi publik menyambut baik, juga mengapresiasi upaya KPI. Karena poin-poin aturan tersebut sangat dibutuhkan publik untuk menjaga dan menghindarkan diri dari segala kemaksiatan. Namun kita juga tentu paham bahwa media massa bukanlah sarana netral, berjalan sebagai alat propaganda sesuai dengan pandangan sistem hidup tertentu. Panduan yang terkesan baik, namun berlaku pada bulan Ramadan saja membuktikan bahwa sekularisasi (pemisahan agama dari kehidupan) sedang berjalan di negeri ini. Publik kembali pesimis, apakah surat edaran itu akan diindahkan atau diabaikan. Mengingat sifatnya hanya imbauan. Bukan sesatu yang mengandung sanksi yang mengikat. Terlebih permintaan ini sebenarnya lebih tepat disebut memenuhi permintaan pasar/konsumen dan rating daripada tanggung jawab dalam mengedukasi dan mencerdaskan masyarakat. Kebijakan setengah hati media sekular ini sejalan dengan pandangan bahwa agama hanya identik ibadah ritual semata (salat, puasa, zakat, haji). Di luar ibadah ritual, negara memberlakukan hukum buatan manusia. Dalam sistem sekuler kapitalis hari ini, media tidak lebih sebagai sarana mendulang pundi-pundi rupiah dengan pertimbangan untung dan rugi.
Kondisi ini memang sangat niscaya ketika sekulerisme, liberalisme menjadi paradigma sistem kehidupan yang diterapkan, termasuk dalam urusan kemediamassa-an. Tidak jarang media massa telah terkooptasi oleh rezim penguasa, sehingga menempatkan media sebagai alat penjaga rezim kekuasaan. Setidaknya, media berposisi menjadi pengiklan seluruh produk kapitalisme, baik produk barang maupun pemikiran, hingga tak heran jika antara rezim penguasa, kapitalis dan perusahaan media terjalin hubungan yang saling menguntungkan dan saling mengukuhkan.
Media Massa Dalam Islam
Media Islam sebagai media komunikasi massal yang berfungsi dalam menciptakan sebuah opini publik yang kemudian akan menjadi opini umum. Pembentukan opini umum adalah hal yang tidak bisa disepelekan dalam sistem Islam. Media massa (wasaail alilam) berperan strategis dalam melayani ideologi Islam (khidmat al-mabda al-islami), baik di dalam maupun di luar negeri (Syarawi, 1992: 140).
Karena merupakan media propaganda dakwah menebar risalah Islam, maka media massa juga berperan mengedukasi publik tentang pelaksanaan kebijakan dan hukum Islam. Negara akan mengeluarkan undang-undang yang memuat panduan umum pengaturan informasi, siaran berbagai program acara yang mendukung pengokohan masyarakat Islam yang kuat memegang syariat, sehingga melahirkan banyak kebaikan di tengah masyarakat.
Berbeda halnya dengan media massa dalam sistem kapitalisme sekuler, ia merupakan alat destruktif menghancurkan nilai-nilai Islam dan merusak moral manusia. Dengan adanya korporasi media yang beraroma kapitalis, dapat dipastikan berbagai tayangan serta informasi banyak yang pro kepentingan ekonomi maupun politis dari pemilik modal. Dalam Khilafah, tidak perlu menunggu bulan Ramadan baru akan menjaga tayangan agar tidak menampilkan konten yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Tapi, setiap hari tanpa melihat momen, negara menjalankan aturan ketat bagi setiap tayangan yang akan ditonton masyarakat, apakah itu mengandung syirik, ide-ide sesat, atau yang berbahaya dan mendangkalkan akidah umat. Media juga menjadi sarana menjelaskan semua tuntunan hidup baik berdasarkan syariat. Disamping itu, juga menjadi sarana informasi, edukasi, persuasi, serta hak berekspresi publik dalam rangka amar maruf nahi mungkar dan Muhasabah Lil Hukam. Oleh karena itu, media massa dalam Islam akan mampu mewujudkan masyarakat cerdas karena memiliki tuntunan yang jelas dalam semua urusan hidupnya. Sehingga Umat mampu menilai mana yang benarsalah, juga peduli karena adanya budaya kritis dan menasehati penguasa.
Etika Penyiaran dalam Islam
Ada beberapa poin etika penyiaran dalam Islam diantaranya:
Pertama, isi siaran hendaknya mengandung nilai pendidikan yang baik, mendorong manusia untuk maju, hidup sesuai dengan ajaran Islam. Kedua, menyampaikan berita/informasi yang benar, yang bersih dari penipuan dan kebohongan. Ketiga, berisi peringatan agar pemirsa tidak melakukan perbuatan tercela atau melanggar hukum syariat. Keempat, tidak melakukan fitnah, baik secara ucapan, tulisan, atau gambar yang merugikan kehormatan orang lain. Kelima, dilarang membuka atau menyiarkan aib orang lain, kecuali untuk mengungkap kezaliman. Keenam, dilarang mengadu domba antara seseorang atau sekelompok orang dengan orang atau kelompok lain karena dapat menimbulkan perpecahan di tengah umat. Ketujuh, menyuruh berbuat baik dan mencegah dari perbuatan mungkar. Termasuk perbuatan mungkar ialah menyiarkan hal-hal pornografi dan pornoaksi, serta perilaku penyimpangan karena semua itu diharamkan dalam Islam.
Betul bahwa kontrol negara dalam paradigma Islam sangat ketat terhadap kerja media. Dalam arti, negara akan memastikan kerja media tak keluar dati rambu-rambu yang telah ditetapkan. Lembaga ilamiyah atau penerangan, akan senantiasa memastikan konten berita tak membawa kemudharatan bagi umat. Termasuk menjaga tersebar luasnya pemikiran asing atau budaya yang tak sesuai dengan hukum-hukum Islam. Dan negara akan memberi sanksi tegas terhadap pelaku pelanggaran.
Meski ada kontrol ketat terhadap kerja media seperti itu, namun tak ada kesan negara otoriter atau mengekang kebebasan media. Atau kesan media dipaksa mengabdi pada rezim penguasa. Karena semua paham tentang kewajiban dan urgensi melangsungkan kehidupan Islam melalui penerapan Islam kaffah di tengah-tengah umat.
Mereka justru paham, bahwa kerja media adalah bagian dari berlomba-lomba dalam kebaikan dan ikhtiar menguatkan ketaatan, bukan sebagai alat untuk saling menjatuhkan apalagi menyebarluaskan kebohongan dan keburukan. Sehingga diluar media yang dikelola oleh negara, diniscayakan muncul media-media swasta yang siap beramal mengokohkan fungsi negara sebagai pengurus dan perisai rakyat, sekaligus sebagai pengemban risalah Islam ke seluruh alam.
Paradigma inilah yang seharusnya dihadirkan kembali ke tengah-tengah umat. Biiznillah, media akan menjadi wadah edukasi yang mencerdaskan masyarakat.
Wallahu ‘lam bi shawwab.(*)