

TARAKAN – Persoalan tarif dan potongan komisi yang mencekik pengemudi ojek online (ojol) di Tarakan kembali mencuat. Perwakilan dari Pemuda Muhammadiyah, yang bertindak atas nama para driver yang merasa takut untuk bersuara, menyampaikan langsung keluhan tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tarakan, Senin (27/10/2025).



Dalam Rapat Dengar Pendapat yang digelar komisi III DPRD Kota tarakan, Zulfikar, Sekretaris Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kota Tarakan, yang bertindak sebagai penyampai aspirasi, para driver ojol di Tarakan merasa terintimidasi oleh pihak aplikator.
“Rasa takut kepada aplikator sangat besar, mereka khawatir jika identitasnya bocor, mereka akan mendapatkan sanksi berupa diskriminasi, seperti tidak mendapatkan penumpang. Ada kasus di mana driver yang menginisiasi aksi, tidak mendapatkan penumpang selama kurang lebih satu bulanan,” ungkap Zulfikar.


Salah satu tuntutan utama para driver adalah penyesuaian tarif, minimal disamakan dengan tarif yang berlaku di Kalimantan Timur (Kaltim), yang kisarannya mencapai Rp15.000 hingga Rp17.000 untuk tarif terendah.



Para driver menyoroti perbedaan mencolok, seperti contoh tarif terendah untuk mobil (roda empat) di Tarakan untuk jarak 0–4 km yang hanya Rp11.600, dinilai sangat rendah.



Persoalan ini pernah berhasil diatasi di Kaltim, di mana Gubernur sempat mengambil langkah tegas dengan menutup aplikator yang enggan menaikkan tarif, hingga akhirnya aplikator bersedia patuh.
Masalah lain yang dianggap melanggar regulasi adalah terkait potongan komisi. Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan (KP) Nomor 1001 Tahun 2022 untuk roda dua, total komisi yang diizinkan adalah 20% (15% untuk aplikator, 5% untuk kesejahteraan driver), dengan sisa 80% diterima oleh driver.


Zulfikar menyampaikan bahwa di lapangan, khususnya pada salah satu aplikator besar, potongan yang diterima driver jauh melampaui 20% yang diatur oleh KP 1001.
“Aplikator juga mengambil biaya lain seperti biaya sewa aplikasi dan biaya keselamatan/kesejahteraan. Jika diakumulasikan, potongan ini bisa mencapai 50%. Sebagai contoh, total tarif penumpang Rp21.000, namun driver hanya mendapatkan bersih Rp12.000,” jelasnya, sembari menyebut kondisi ini sebagai penjajahan gaya baru.
Selain itu, isu kesejahteraan dan asuransi juga menjadi perhatian serius. Meskipun biaya tunjangan asuransi tertera di struk, driver dilaporkan tidak mendapatkan perlindungan asuransi ketika mengalami musibah atau kecelakaan, memaksa mereka untuk melakukan patungan sesama driver ojol.
Para driver juga mempertanyakan klaim aplikator di daerah yang selalu beralasan bahwa penentuan tarif adalah kebijakan pusat, sementara di sisi lain, aplikator terbukti bisa menaikkan tarif secara drastis saat ada event tertentu di Tarakan.
Melalui forum ini, Pemuda Muhammadiyah berharap adanya kepastian hukum dari pemerintah daerah yang dapat memaksa aplikator untuk mematuhi regulasi yang berlaku demi menjamin kesejahteraan ribuan driver ojek online di Kalimantan Utara. (Sha)

