TARAKAN – Wakil Wali Kota Tarakan Effendhi Djuprianto turut menyampaikan pendapatnya mengenai pertemuan bersama pengusaha kayu di Tarakan.

Dijelaskan Effendhi Djuprianto, hasil pertemuan pertama karena ada masukan dari pengusaha atau pengecer kayu di Tarakan, difasilitasi dan dari Pemkot Tarakan mengundang serta melaporkan juga ke Gubernur Kaltara diwakili Asisten 2 Pemprov Kaltara didampingi perwakilan Dinas Kehutanan dan Kepala UPTD KPH Tarakan.
Dijelaskan Effendhi, kesimpulan pertemuan bersama pengecer kayu siang tadi di antaranya stok kayu di Tarakan sudah menipis tersisa tiga kubik. Dari rata-rata normal sebelum lima bulan lalu mencapai 4000 meter kubik.

Gerak pembangunan Kota Tarakan kaitan pembangunan pemerintah dan ekonomi masyarakat, kesimpulannya diusulkan sesegera mungkin persoalan kelangkaan kayu ada diambil kebijakannya dari pemerintah.

“Kami usulkan ke Pak Gubernur melalui Asisten 2, ada kebijakan nanti semoga bisa diputuskan. Karakteristik Tarakan dan kabupaten lainnya tidak sama, kabupaten lainnya diangkut kendaraan dan satu meter kubik kebutuhan mereka bisa dianulir, tidak pakai angkutan kayu,” paparnya.
Di Tarakan karena merupakan kepualuan berbeda sehingga harus diangkut lagi. “Kurang lebih antara 20-an kubik misalnya akhirnya melalui laut dan barang tentu itu sudah harus ikuti aturan kaitannya dengan aturan yang ada, karena tidak bisa buktikan surat angkutan kayu maka menjadikan illegal loging,” paparnya.
Ia melanjutkan, kebutuhan masyarakat tidak bisa terpenuhi untuk kayu. Padahal sumber kayunya memang bukan di hutan lindung atau hutan produksi. “Dan tadi dari dinas juga mengarahkan bahwa untuk jangka pendek harus menghubungi perusahaan yang memiliki Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang punya kewajiban kebutuhan lokal, tapi pengecer juga sudah menghubungi salah satu perusahaan pemegang HPH dan ternyata mereka sendiri tidak punya kesediaan stok untuk menutupi kebutuhan lokal itu,” paparnya.
Kemungkinan juga terbentur di persoalan harga menggunakan pola pengambilan padat karya, hanya sampai di Tarakan mencapai Rp 2,5 juta tertinggi pengeluaran yang sanggup dijangkau. “Kalau padat investasi, sekitar Rp7 juta ke atas per meter kubik. Itupun kayu lunak seperti Meranti,” terangnya.
Kedua, jika tidak segera ada kebijakan diinisiasi pemerintah bersama, apalagi kewenangan ini ada di Dishut Provinsi Kaltara, sehingga Asisten Pemprov kaltara yang turut hadir tadi menjadi ujung tombak penyampaian keluhan pengecer kayu untuk kemudian dilaporkan ke Gubernur Kaltara.
“Semoga ada kebijakan semoga minggu ini normal kembali. Kami berharap dan kami hanya berikan masukan agar segera minimal rapat forkopimda provinsi. Kalau kami dari Tarakan diajak, tidak ada masalah, tapi persoalan kewenangan sudah jelas di provinsi,” jelasnya.
Ia berharap jangka menengah ada juga usulan disampaikannya jika bisa ada Perbub dan jangka panjang ada perda. Undang-Undang yang mengatur perkayuan lanjutnya sama. “Peraturan Meterinya sama tapi ketika kewenangan dulu di kabupaten, itu kana da kebijakan lokal melalui pergub dan perbup dan perda kabupaten yang mengakomodir kebutuhan lokal dan ekonomi kerakyatan. Kalau ini tidak dilakukan, akan ada gejolak, masyarakat berpikiran pemerintah berpihak pada oligarki,” tukasnya. (*)