Oleh: St. Rajma, NS, S.Pd
Pemerhati Sosial dan member komunitas revowriter

MENTERI Sosial Juliari P. Batubara ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penetapan ini terkait kasus dugaan korupsi bantuan sosial Covid-19. Bersama Juliari ada empat orang lain lagi yang ikut jadi tersangka.
Kasus suap ini diawali adanya pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako untuk warga miskin dengan nilai sekitar Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan dua periode. (Kompascom, 7/12/2020)

Dari setiap paket sembako yang dibandrol seharga 300 ribu untuk warga jabodetabek. Senilai 10 ribu per paket harus masuk ke kantong Juliari dan rekan korupsinya. Total setidaknya KPK menduga Juliari sudah menerima 17 Miliar dari dua periode yakni Rp 8,2 miliar dan Rp 8,8 miliar. Dana itu digunakan untuk membiayai keperluan pribadi sang menteri

Bansos salah urus dari awal
Dari awal penyaluran bansos memang sudah salah urus. Mulai dari data penerima yang amburadul berupa data ganda dan salah sasaran, bansos yang tertahan di gudang tak segera disalurkan . Lalu pengadaan bansos sembako yang tidak melibatkan UMKM dan pasar tradisional, melainkan dari vendor besar. Hal ini tentu mengakibatkan uang tidak berputar di pasar tradisional dan UMKM yang bisa membantu rakyat kecil tetap bertahan ditengah pandemi. Justru nikmatnya peredaran uang dinikmati oleh sejumlah perusahaan besar.
Diketahui Matheus dan Adi yang juga merupakan tersangka membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa perusahaan vendor, seperti Ardian IM, Harry Sidabuke, dan PT Rajawali Parama Indonesia pada periode Mei sampai November 2020. PT RPI diduga milik Matheus. Terlebih Penunjukan ini diduga diketahui oleh Juliari.
Banyak pihak yang menyayangkan. Di tengah terpuruknya rakyat menghadapi gelombang pandemi. Ibarat kekata pepatah ” sudah jatuh terimpa tangga pula”. Justru bantuan sosial yang diharapkan bisa menjadi ‘pelampung’ penyelamat rakyat kecil dikorupsi juga. Mirisnya tersangka utama adalah menteri sosial yang menangani pengelolaan dana berbagai program bansos.
Juliari bukan menteri pertama yang diciduk KPK. Selang sepekan ada menteri kelautan dan perikanan Edhy Prabowo yang tersandung korupsi ekspor benih lobster.Sebelumnya juga banyak deretan nama menteri yang terjerat kasus korupsi. Abuse of power memang telah mendarah daging dalam tata kelola negeri ini sejak awal kemerdekaan.
Indonesia berada di peringkat ketiga sebagai negara terkorup di Asia menurut hasil survei lembaga Transparency International. Survei ini digelar sejak Juni hingga September 2020 terhadap 20 ribu responden di 17 negara Asia. (rmol.id 30/11/2020)
Mengapa kasus korupsi begitu lekat dengan perjalanan bangsa ini? Tak lain jawabannya adalah karena politik transaksional ala demokrasi. Jabatan atau kekuasaan bukan barang murah dalam sistem perpolitikan demokrasi. Ada ‘mahar’ besar yang harus digelontorkan individu untuk masuk kedalam rezim.
Mencicipi nikmatnya jabatan dan harta duniawi adalah kebahagiaan menurut kapitalisme-demokrasi. Maka penguasa dan pejabat yang lahirpun adalah mereka yang tamak nan rakus mengejar sederet angka ini. Sehingga bukannya berupaya maksimal memberikan kemaslahatan pada umat, yang ada malah bekerja sama untuk merampok harta rakyat. Sekalipun itu adalah bantuan bagi warga miskin saat bencana melanda.
Islam menutup celah korupsi dari akarnya
Islam dalam memberantas korupsi, telah memiliki perangkat yang tidak ditemukan dalam sistem demokrasi. Pertama, ketakwaan individu. Bahwa satu-satunya motivasi seseorang menduduki kursi jabatan adalah ketakwaanya kepada Allah. Bukan harta yang mereka incar, tetapi pahala. Mereka hanya takut kepada Allah SWT. Kedua, kebijakan Khilafah yang menjadi upaya preventif teradap terjadinya korupsi. Seperti pemberian gaji yang layak pada para pejabat serta perhitungan yang ketat terhadap harta sebelum dan sesudah menjabat. Seperti yang dilakukan Rasulullah saw.
Dalam kitabnya Al Amwal fi Daulah Khilafah Syekh Abdul Qodim Zallum menyebutkan, dalam sistem Islam akan ada badan pengawasan/pemeriksaan keuangan untuk mengetahui apakah pejabat tersebut melakukan kecurangan atau tidak. Seperti yang dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab yang mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai pihak yang mengawasi kekayaan para Sahabat.
Hukum sanksi bagi koruptor dalam Islam sangat menjerakan. Korupsi terkategori ta’zir, yaitu kejahatan yang sanksinya diserahkan kepada ijtihad hakim. Sanksinya bisa berbentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati.
Maka berharap korupsi akan bisa diberantas dalam sistem demokrasi adalah bagai mendulang bulan ditengah siang. Karena justru sistem demokrasilah yang menyuburkan praktik korupsi itu sendiri. Satu-satunya jalan dalam memberantas korupsi hingga akarnya adalah kembali kepada syariat Islam yang agung, bersumber dari pencipta alam semesta, Al mudabbir Yakni Allah Swt dalam bingkai institusi daulah Islamiyah.(*)
Wallahu a’lam bishowab