Catatan
H. Rachmat Rolau, praktisi pers Kalimantan Utara
PANDANGAN saya tiba-tiba tertarik pada determinasi kalimat “Kaltara Rumah Kita” yang tertulis di kaos yang dikenakan oleh kelompok pendukung salah satu pasangan calon gubernur Kalimantan Utara (Kaltara) 2024.
Periode yang lalu, di Pilkada Kaltara 2020, saat Zainal Arifin Paliwang berpasangan dengan wakilnya Yansen TP, “Kaltara Rumah Kita” menjadi slogan mereka.
Di Pilkada Gubernur 2024 ini, kalimat itu muncul lagi. Menariknya, setelah Zainal-Yansen pisah, “Kaltara Rumah Kita” justru diangkat oleh Yansen-Suratno (YESS). Sementara Zainal menggunakan kata, “Ziap” plus “Bersama Kita Tangguh”.
Biasanya, sebuah determinasi kata hanya populer satu kali untuk suatu momentum tertentu saja. Tapi kali ini “Kaltara Rumah Kita” kembali diusung oleh (YESS). Lalu saya mulai berpikir, “Kaltara Rumah Kita” ini karya siapa?
Sayangnya, untuk mengais asal-usul dan latar-belakang kembalinya slogan ini perlu meminta penjelasan dari sang pemilik kalimat. Mengapa kalimat tersebut masih diusung oleh YESS? Apakah ketika Yansen di periode lalu makna Kaltara sebagai “rumah besar” belum diwujudkan secara sempurna?
Sebab, kalau hanya merujuk pada kata “rumah”, tentu tidak terlalu sulit untuk diterjemahkan karena filosofi sebuah rumah itu sederhana saja. Yakni, tempat, di mana di dalamnya dihuni oleh keluarga yang terdiri dari ayah, ibu serta anak-anaknya.
Mereka hidup rukun, damai serta saling melengkapi. Lalu di dalam rumah juga ada aturan sebagai batasan berperilaku. Ada keadilan untuk simbol persamaan hak. Ada kesejahteraan serta jaminan perlindungan keamanan yang merupakan tanggung jawab kedua sosok tersebut.
Tetapi “rumah” yang dimaksud Yansen lewat “Kaltara Rumah Kita”, mungkin tidak sesederhana itu. “Kaltara Rumah Kita” tidak bisa hanya diinterpretasi sebagai tempat tinggal belaka. Rumah besar Kaltara tentu jauh lebih kompleks dan mencakup banyak hal sehingga dibutuhkan pemimpin yang kuat, berpengalaman dan sudah teruji, lebih dari sekadar kepala keluarga.
Nah, kalau benar “Kaltara Rumah Kita” adalah perumpamaan sebuah pemerintahan, tentu semua sepakat bahwa itulah visi-misi terbaik menuju jalan kesejahteraan. Karena hakikatnya, pemimpin ideal itu bukan meminta preferensi dari masyarakat, melainkan sosok yang lebih mendahulukan kebutuhan warganya di atas kepentingannya sendiri.
David Osborne -penulis dan penasihat salah satu presiden Amerika dalam tulisannya: Reinventing Government memverifikasi tanggung jawab pemerintah menjadi dua. Yakni, kesejahteraan dan keamanan.
Kesejahteraan menurut Osborne antara lain; pendidikan dan ekonomi. Pendidikan yang baik ketika pemerintah memberikan kemudahan dan fasilitas pada proses belajar-mengajar bagi semua strata dimulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Kaltara belum termasuk dalam kriteria yang dimaksud itu.
Kualitas pendidikan dan daya saing sumber daya manusia (SDM) warga Kaltara masih di bawah angka rata-rata nasional (versi Google). Inilah juga menjadi tantangan para lulusan sekolah di Kaltara dalam menghadapi persaingan dari luar.
Bidang ekonomi pun juga demikian. Ibarat itik kehausan di tengah derasnya air. Ini sekadar tamsilan petani yang secara geografis memiliki potensi lahan pertanian yang sangat luas. Namun potensi tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Masyarakat mengelola lahan pertanian sekadar memenuhi kebutuhan keluarganya.
Padahal, provinsi yang merupakan beranda Indonesia ini mestinya menjadi lumbung ketahanan pangan nasional, kalau saja semua potensi sumber daya yang dimiliki dikelola secara profesional. Pada persoalan ini, keterlibatan pemerintah sangat dibutuhkan sebagai pihak yang punya kemampuan meningkatkan produksi pertanian para petani.
Saat ini, masih banyak kebutuhan pokok masyarakat Kaltara disuplai dari Jawa dan Sulawesi. Misalnya, beras, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Tiga macam komoditas yang didatangkan dari luar itu membuat semua orang bertanya: apakah pertanian di Kaltara terbatas dan tak subur sehingga beras, kol, tomat, cabe, apel, telur ayam dan lainnya harus ‘di-impor’?
Kaltara sejatinya menjadi produsen pertanian terbesar bukan konsumen terbesar.
Yansen sebagai birokrat tulen yang sarat pengalaman memimpin Kabupaten Malinau (2011-2021) pasti punya komitmen soal ini. Ia paham cara mengubah potensi sumber daya pertanian yang semula tradisional menjadi sebuah industri pertanian modern dan mandiri. Tentu, lewat panduan “Kaltara Rumah Kita”.
John Locke: “Manusia dilahirkan dan hidup bebas dan bersama dalam hak-haknya. Maka demi kesejahteraan bersama, perbedaan sosial tidak dapat dibenarkan”. (***)