Oleh: TAJUDDIN
SENGKUNI adalah seorang Mahapatih dan Penasihat Khusus Raja Hastina, dalam cerita Mahabrata. Dengan kelihaian dan kelicikannya, sengkuni berhasil membuat Duryadana selalu mengikuti saran dan nasehatnya. Saran dan nasehat sengkuni seringkali bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan kebajikan. Semua karena kelihaian sengkuni untuk membungkus semua taktik dan cara-cara meraih kemenangan yang sesungguhnya culas dan licik itu dengan bungkus kata-kata dan perilaku yang seolah-olah memperdulikan moral.
Menurut Soesatyo dalam bukunya, karakter dari Sengkuni sendiri digambarkan berbadan kurus dengan muka tirus. Cara bicaranya lemah, tapi bukan lemah lembut melainkan menjengkelkan. Wataknya licik, culas, dengan kesenangan untuk menipu, menghasut, dan memfitnah, dan jiwanya seorang munafik. Kemudian perangainya yang khas adalah sangat senang bila berhasil membuat orang lain celaka.
Kalau kita melihat uraian diatas ternyata sengkuni dalam pewayangan ini, ada juga perangai dan perilaku tersebut didaerah. Apalagi kita lihat dan tinjau dalam ranah politik dan birokrasi. Setelah berakhirnya rezim totaliter Orde Baru dan digantikan oleh rezim reformasi, demokrasi menjadi pilihan bangsa ini.
Kemudian sistem sentralisasi yang dianut pada rezim totaliter juga berganti dengan desentralisasi atau otonomi daerah. Termasuk perubahan Undang-Undang 32 menjadi 23. Tujuan otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan dimasyarakat dan mensejahterahkan masyarakat di daerah.
Tetapi belakangan kebijakan desentralisasi tersandera dan terperangkap oleh dominasi raja-raja kecil yang berusaha untuk membangun dinasti. Dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan politik berada ditangan segelintir orang. Benar juga kata Karl Marx bahwa, penguasa itu hanya kepanjangan tangan pemilik modal. Merekalah yang secara dominan mempengaruhi kebijakan publik dan bermotif keuntungan pribadi kelompok tersebut.
Kalau kita kaitkan dengan modal politik penguasa yang mendominasi adalah modal ekonomi. Apalagi menjadi pemimpin politik didaerah mendapatkan subsidi dari para elit ekonomi. Saat pencalonan sebelum jadi pemimpin mendapatkan bantuan uang sebagai modal untuk kontestasi politik dari para elit ekonomi. Sehingga dalam perjalanan pemerintahan didaerah penguasa harus memenuhi janjinya. Sehingga transaksional politik dan ekonomi berjalan secara alternatif fungsional dalam birokrasi pemerintahan.
Kemudian kita bincangkan lagi tentang para sengkuni didaerah. dalam terminology modern, perilaku sengkuni tersebut sejalan dengan tipologi politik Machiavelli, dimana segala cara dilakukan asal tujuan tercapai meskipun harus menabrak moralitas kebenaran. Sangat sering sekali kita lihat cara-cara yang tidak fair dan cenderung kearah bandit politik dalam menyasar kepentingan politik.
Para sengkuni dalam ranah politik didaerah tentu saja sangat terlihat dalam ranah perebutan kepentingan untuk tetap berkuasa, apapun caranya harus tetap dilakukan. Oleh karena itu seorang pemimpin bukan saja harus mengambil sikap, pemihakan dan memberikan kata putus terhadap kebijakan publik.
Tetapi menurut Diogenes Laertius seorang, “Kita memiliki dua telinga dan hanya selembar lidah agar lebih mengedepankan mendengar dibandingkan berbicara.” Dengan begitu seorang pemimpin harus mengambil keputusan atau kebijakan public itu dengan pertimbangan tertentu. Langkah yang harus ditempuh dalam menjalankan roda pemerintahan dari sudut pandang birokrasi dan politik senantiasa disandarkan pada janji politik yang merupakan nawacita. Sebisa mungkin menghindari sifat sifat Sangkuni dalam menjalankan roda pemerintahan. (*)