Oleh : Fajar Mentari, S.Pd
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Kalimantan Utara
KEMENTERIAN atau lembaga pemerintah di pusat dan daerah kini punya hobi baru, yakni hobi berburu opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). WTP seolah menjadi ajang pameran pimpinan lembaga pusat dan daerah. WTP menjadi obsesi pimpinan lembaga. Memang menjadi wajar jika WTP diburu karena merupakan opini tertinggi dari BPK terhadap Laporan Keuangan (LK) yang memenuhi Standar Akuntansi Pemerintah (SAP).
Pengumuman yang begitu gencar seolah menunjukkan lembaga-lembaga negara yang memperoleh WTP sudah bersih dari penyimpangan dan penyelewengan anggaran. Namun, benarkah WTP adalah stempel bebas korupsi? jawabnya tidak! Sebab, pemberian opini WTP sebenarnya hanyalah bentuk apresiasi atas pemeriksaan LK yang dinilai sudah sesuai SAP. Awas, sesat pikir dalam memaknai WTP.
Sampai dengan saat ini belum ada indikasi bahwa pemerintah atau sebuah lembaga pemerintah, baik itu di pusat ataupun di daerah yang mendapatkan opini WTP, maka sekaligus itu bisa dinyatakan bahwa pemerintahan yang dijalankannya adalah pemerintahan yang bersih (clean goverment). Faktanya opini WTP itu saat ini baru sekedar memenuhi unsur-unsur pemerintahan yang baik saja (good governance).
Tidak sedikit pejabat daerah yang begitu membanggakan keberhasilannya meraih opini WTP dengan serta merta mengaitkannya sebagai daerah yang bebas korupsi. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa klaim tersebut tak beralasan. Opini WTP yang diberikan oleh BPK tersebut dasar pertimbangan utamanya adalah kewajaran penyajian pos-pos LK sesuai dengan SAP. Kewajaran di sini bukan berarti kebenaran atas suatu transaksi. Opini atas LK tidak mendasarkan kepada apakah pada entitas tertentu terdapat korupsi atau tidak.
WTP itu masih belum menjamin potensi penyimpangan anggaran tidak terjadi. Karena audit BPK itu hanya memeriksa secara formil bukan materiil. Artinya sifat WTP itu hanya prosedural saja, tidak memberi jaminan kepala daerah itu bebas korupsi. Penilaian BPK terhadap LK itu cuma untuk menunjukkan pengelolaan, bukan penyimpangan.
Opini WTP diberikan untuk menilai kewajaran informasi LK, bukan secara spesifik untuk menyatakan bahwa entitas yang mendapatkan opini WTP telah bebas korupsi. Opini WTP diberikan jika LK dianggap memberikan informasi yang bebas dari “salah saji material”, bukan bebas dari tindak pidana korupsi. Audit atas LK tidak didesain secara khusus untuk menemukan dugaan korupsi. Audit atas LK itu ditujukan untuk menilai kewajaran penyajian LK entitas. Artinya bahwa secara administratif bisa dipertanggungjawabkan, tetapi belum tentu secara hukum.
Ada banyak daerah yang mendapat predikat WTP. Sayangnya menjadi anomali ketika daerah yang dapat WTP tapi kepala daerahnya malah terjerat korupsi dalam penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Mereka menyalahgunakan kepercayaan publik dengan merugikan negara. Mengelola APBN dan APBD jadi penting untuk diperbaiki kualitasnya karena Indonesia dihadapkan pada situasi global yang sedang tidak baik-baik saja.
Alasan banyaknya kepala daerah yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetapi tetap mendapat opini WTP dari BPK, itu lantaran praktik suap yang dilakukan kepala daerah tersebut tidak memengaruhi LK. Sehingga, kasus korupsi seperti “suap” masih mungkin terjadi meski BPK sudah memberi label predikat WTP. Sekadar perbandingan, WTP yang diperoleh Kementerian Agama (Kemenag) 2012 lalu menjadi sebuah ironi. BPK menyerahkan hasil audit dengan status WTP kepada menteri agama (Menag). Tapi beberapa hari setelahnya, KPK malah membongkar korupsi pengadaan Al-qur’an di kementerian ini. Ada juga kasus Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang berpotensi merugikan negara triliunan rupiah. Namun, BPK tetap memberikan opini WTP atas penyajian LK Kemenpora. Upaya pemerintah untuk mencapai audit BPK dengan opini sempurna ini ternyata menciptakan peluang kolusi antara auditor dengan lembaga pemerintah.
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya sudah ada enam kasus suap atau gratifikasi yang melibatkan 23 auditor BPK sejak 2005 – 2017. Auditor dimaksud menerima sogokan agar memberikan opini WTP terhadap LK lembaga-lembaga pemerintah. Dan di 2018, ICW mencatat, setidaknya ada 10 kepala daerah yang ditangkap oleh KPK walau daerahnya sudah menerima predikat WTP. Para kepala daerah itu terdiri dari bupati, walikota, hingga gubernur. Publik prihatin, sangat prihatin, opini WTP dijadikan alat transaksi suap. Kasus transaksional opini WTP harus dijadikan pembelajaran bagi kementerian/lembaga untuk tidak perlu mengambil jalan pintas demi menggapai kebanggaan opini WTP. Hal itu harus dicapai dengan cara yang benar, bukan dengan cara yang melanggar hukum.
Sebegitu dianggap penting dan berharganya WTP sampai-sampai sebagian Pemda menempuh semua cara. Harus tegas dikatakan bahwa berburu opini WTP sah-sah saja, malah sebuah keharusan agar pengelolaan keuangan negara dilakukan dengan taat asas. Akan tetapi, perburuan itu menyesatkan bila dilakukan dengan cara tak terpuji. Cara tak terpuji itulah yang tersurat dalam OTT KPK. Sebelum kita membahas lebih jauh, maka mungkin kita perlu tahu tentang apa itu opini audit dan jenis-jenisnya.
Opini audit adalah suatu laporan yang diberikan oleh akuntan publik atau auditor terdaftar yang menyatakan bahwa hasil pemeriksaan atas LK yang disajikan sudah dilakukan sesuai dengan norma atau juga aturan pemeriksaan akuntan yang diikuti dengan pendapat tentang nilai kewajaran LK yang diperiksa. Opini audit atau nota kesepahaman yang ditandai itu merupakan kerangka dasar sebagai acuan dalam kegiatan pemanfaatan bersama data dan informasi serta penguatan koordinasi penyelenggaraan kebijakan pengelolaan keuangan publik.
Opini audit diberikan oleh auditor dengan melalui beberapa tahap audit sehingga auditor tersebut bisa memberikan kesimpulan dari opini yang harus diberikan atas LK yang diauditnya tersebut. Sebelum auditor tersebut memberikan pendapat (opininya), seseorang auditor tersebut juga harus melaksanakan tahap-tahap audit. Pertama perencanaan serta juga pencanangan pendekatan audit. Kedua, pengujian pengendalian serta juga transaksi. Ketiga, pelaksanaan prosedur analitis dan juga pengujian terinci atas saldo. Dan keempat, penyelesaian serta juga penerbitan laporan audit. Siklus pengelolaan keuangan negara, dimulai dari perencanaan dan diakhiri dengan pertanggungjawaban.
Pelaksanaan audit merupakan salah satu cara untuk menghilangkan permasalahan teori keagenan (agency problem theory). Agency problem timbul karena adanya asimetri informasi, manajemen (pemerintah) lebih banyak mengetahui kondisi internal termasuk keuangan institusi pemerintah dibandingkan principal (rakyat). Oleh sebab itu dibutuhkan audit oleh auditor independen yang dalam hal ini adalah BPK.
BPK memiliki tugas dominan untuk melakukan pemeriksaan yang mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk memberikan opini atas tingkat kewajaran hasil audit. Tim auditor akan melihat apakah itu berpengaruh secara materiil terhadap LK atau tidak. Biasanya yang digunakan berupa ‘materiality’ yang disusun tim sampai proses pembahasan di penanggungjawab.
Opini BPK merupakan pernyataan profesional sebagai kesimpulan pemeriksa keuangan negara mengenai tingkat kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam LK yang didasarkan pada kriteria yang sudah diatur. Pertama, kesesuaian dengan SAP, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), memastikan bahwa pencatatan angka-angka antara lain pendapatan, belanja, pembiayaan, aset, utang, ekuitas, dan setiap transaksi yang ada dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) telah sesuai dengan SAP.
Kedua, dalam rangka tranparansi pengelolaan keuangan harus dipastikan bahwa seluruh informasi penting telah diungkapkan secara lengkap dalam catatan atas LK. Ketiga, sisi kepatuhan terhadap perundang-undangan, BPK harus memeriksa kesesuaian pengelolaan keuangan. Pemeriksaan dilakukan dalam rangka memastikan semua transaksi dalam LKPD telah sesuai dengan aturan dan ketentuan yang ada.
Keempat, memeriksa efektivitas Sistem Pengendalian Intern (SPI) dalam rangka memastikan bahwa terdapat efektifitas dan efisiensi dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan, keandalan LK, pengamanan aset pemerintah serta ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Disamping empat kriteria di atas, dalam melakukan pemeriksaannya, BPK berpedoman pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). SPKN tersebut menjadi quality control dan quality assurance pelaksanaan audit oleh BPK RI.
Dari LK yang disajikan dalam empat kriteria ini, lalu menghasilkan yang disebut sebagai kesimpulan dan rekomendasi. Inilah yang kemudian dipakai untuk menganalisis dan mengkaji hasil kesimpulan dan rekomendasi dari BPK dalam memberikan opini terhadap hasil pemeriksaan. Walau telah disajikan secara wajar atas seluruh aspek yang material, namun tentu masyarakat berharap agar pemerintah tetap perlu menindaklanjuti rekomendasi BPK atas temuan SPI dan kepatuhan.
Dalam setiap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) pasti selalu terdapat rekomendasi, yang merupakan saran dari pemeriksa berdasarkan hasil pemeriksaannya yang ditujukan kepada orang dan/atau badan yang berwenang untuk melakukan tindakan dan/atau perbaikan, yang bisa menjadi masukan untuk Pemerintah Daerah (Pemda) guna meningkatkan kualitas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Pemda. Pemda harus menindaklanjuti rekomendasi BPK dan menyelesaikan temuan pemeriksaan dengan menyusun action plan (tindak lanjut) yang dilengkapi dengan timeline penyelesaian pemeriksaan yang jelas. Apabila terdapat rekomendasi yang harus ditindaklanjuti sampai ke tingkat penyidikan hukum, maka hal itu harus segera diselesaikan agar menjadi efek jera bagi pelakunya.
Jenis-jenis opini audit yang diberikan dari asersi manajemen suatu lembaga atau instansi yang diaudit dikelompokkan menjadi Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau Unqualified Opinion adalah suatu pendapat yang diberikan jika pemerintah dianggap telah memberikan informasi yang bebas dari salah saji material, pemerintah telah menyelenggarakan LK dalam segala hal yang material yang sudah sesuai dengan standar auditing atau Standar Akuntansi Keuangan (SAK), artinya auditor tersebut tidak menemukan adanya kesalahan material secara keseluruhan dalam LK atau juga tidak terdapat penyimpangan dari adanya prinsip akuntansi yang berlaku.
Dikatakan opini WTP jika LK disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas dan arus kas telah sesuai atas prinsip akuntansi yang berlaku umum dengan baik. Bukti audit yang dibutuhkan sudah terkumpul dengan secara mencukupi dan juga auditor sudah menjalankan tugasnya sedemikian rupa, sehingga ia dapat memastikan kerja lapangan tersebut sudah ditaati. Standar umum sudah diikuti sepenuhnya didalam perikatan kerja. LK yang di audit tersebut disajikan sesuai dengan adanya prinsip akuntansi yang lazim yang berlaku di Indonesia yang ditetapkan juga dengan secara konsisten pada laporan-laporan yang sebelumnya.
Demikian pun pada penjelasan yang mencukupi sudah disertakan pada catatan kaki serta bagian-bagian lain dari LK. Tidak terdapat adanya ketidakpastian yang cukup berarti (no material uncertainties) tentang perkembangan di masa mendatang yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya atau juga dipecahkan dengan secara memuaskan. Kalaupun kemudian dalam pemeriksaan auditor menemukan ada kesalahan, misalnya dalam pemeriksaan ditemukan proses pengadaan barang atau jasa yang menyimpang dari ketentuan, namun sepanjang kesalahannya dianggap tidak material dan tidak berpengaruh signifikan terhadap pengambilan keputusan yang dalam arti bahwa secara keuangan sudah dilaporkan sesuai dengan SAP, maka opini WTP bisa untuk tetap diberikan.
Ada pun Opini Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelasan (WTP-DPP) atau Modified Unqualified Opinion, diberikan jika dalam keadaan tertentu auditor harus menambahkan suatu paragraf penjelasan dalam laporan audit, meskipun tidak memengaruhi pendapat wajar tanpa pengecualian atas laporannya. Ada beberapa keadaan yang menyebabkan ditambahkannya paragraf penjelasan. Keadaan itu, misalnya, ditemukan penerapan prinsip akuntansi yang tidak konsisten. Namun auditor menilai penyimpangan dari prinsip akuntansi itu masih bisa diterima. Jadi, tidak ada satu penjelasan pun yang menyebutkan bahwa opini WTP diberikan sebagai jaminan tidak ada tindak pidana korupsi.
Opini WTP dengan bahasa penjelasan yang ditambahkan dalam laporan audit bentuk baku (Unqualified Opinion with Explanatory Language). Opini ini diberikan jika terdapat keadaan tertentu yang mengharuskan seorang auditor menambahkan penjelasan (bahasa penjelasan lain) dalam laporan audit, meskipun tidak mempengaruhi opini WTP yang dinyatakan oleh auditor. Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atau Qualified Opinion, diberikan dengan kriteria sistem pengendalian internal memadai, maksudnya bahwa sebagian besar informasi dalam LK bebas dari salah saji material, kecuali untuk transaksi tertentu yang menjadi pengecualian. Dalam artian tidak memengaruhi kewajarannya secara keseluruhan, namun terdapat ketidak sesuaian atau salah saji yang material pada beberapa pos LK, sehingga harus dilakukan pengecualian.
Opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atau Disclaimer of opinion, diberikan apabila terdapat suatu nilai yang secara material tidak dapat diyakini auditor karena ada pembatasan lingkup pemeriksaan yang dibatasi oleh manajemen, auditor tidak bisa melaksanakan suatu pemeriksaan sesuai dengan standar auditing yang ditetapkan, auditor tidak bisa mengumpulkan cukup bukti audit dengan nilai sangat material, sehingga kewajaran LK diragukan.
Sedangkan Opini Tidak Wajar (TW) atau Adverse Opinion, diberikan bila hasil auditnya ditemukan ketidak wajaran, LK secara keseluruhan tidak disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di indonesia. Artinya bahwa LK mengandung salah saji yang sangat material atau sangat menyesatkan sehingga tidak disajikan secara wajar. Dengan kata lain bahwa LK tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Dalam kasus ini, auditor harus memberi tambahan paragraf untuk menjelaskan ketidakwajaran atas LK, disertai dengan dampak dari akibat ketidakwajaran tersebut pada laporan auditnya.
Dan pernyataan menolak memberikan opini, yaitu opini yang diberikan jika auditor tidak dapat memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat untuk menyatakan suatu opini, sehingga auditor tidak dapat memberikan pendapat. Berdasarkan uraian di atas, maka opini WTP diberikan dengan kriteria yang jelas dan pemeriksaan dilakukan sesuai standar pemeriksaan keuangan (best practices). Opini WTP diberikan untuk menunjukkan kewajaran informasi LK, bukan secara spesifik untuk menyatakan bahwa entitas yang mendapatkan opini WTP telah bebas dari korupsi.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa LKPD yang meraih opini WTP telah bebas dari salah saji yang material, dalam artian tidak terdapat kesalahan dalam LK, baik yang diakibatkan oleh kekeliruan maupun kecurangan. Mengingat LK yang dibuat oleh Pemda merupakan wujud dari akuntabilitas pelaksanaan APBD, maka LKPD yang meraih opini WTP mencerminkan pelaksanaan anggaran yang yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel serta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, jika suatu entitas mendapatkan opini WTP, selayaknya tata kelola keuangan entitas tersebut telah baik. Walaupun demikian, menjadi sangat menarik untuk memahami bagaimana peran opini pemeriksaan atas LK terhadap pemberantasan korupsi. Pencapaian opini WTP menjadi sebuah kebanggaan dan prestasi. Sebab bagi awam, penerima opini WTP dipahami sebagai lembaga yang paling bersih dan berprestasi yang oleh karenanya harus ditunjukkan kepada seluruh masyarakat. Tentunya dengan tujuan agar muncul pencitraan positif bagi Pemda bahwa roda pemerintahan telah akuntabel dan bersih. Sehingga wajar saja jika Pemda terus berusaha untuk mendapat opini WTP dari BPK.
Perburuan WTP, agaknya lebih kepada mengejar image sukses seorang kepala daerah dalam masa kepemimpinannya. Sebuah upaya memunculkan pemikiran di masyarakat bahwa daerah yang memperoleh WTP sama halnya dengan mendapat pengakuan good governance dan bebas dari praktik penyimpangan khususnya korupsi. Selain untuk mengejar citra pengelolaan uang yang bertanggungjawab pada masyarakat, entitas pemerintahan juga mengejar penghargaan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang jumlahnya ternyata mencapai miliaran rupiah apabila bisa mencapai target WTP. Sehingga menurut saya adalah hal yang wajar jika ada yang berani memberikan “suap” ratusan juta rupiah kepada auditor BPK. Tergantung besaran reward dari pemerintah pusat untuk daerah yang memperoleh WTP. Pemberian predikat WTP akan memudahkan bagi kementerian/lembaga dan pemerintah untuk mencairkan anggaran. Kalau laporan keuangannya baik, maka pencairan dana dari pusat ke daerah atau anggaran lainnya akan semakin mudah.
Patut diwaspadai, jangan sampai perburuan reward atas WTP menjadi awal siklus lingkaran korupsi. Jika oknum BPK sebagai auditor eksternal bisa dipengaruhi bahkan gampang dibeli, lalu supreme auditor internal di kelembagaan juga main mata, maka dipastikan siklus korupsi akan terjadi. Indikatornya adalah ketika kelembagaan atau Pemda sudah berlomba-lomba mendapatkan opini WTP, misalnya dengan merekayasa LK atau bekerja sama dengan pihak luar dan untuk memberikan privilege ke auditor. Lalu untuk itu semua pihak ketiga memberikan sesuatu karena ada urusan yang dalam laporan itu, sehingga opini yang seharusnya bukan WTP, tapi dipaksakan menjadi WTP.
Pada umumnya auditor melakukan audit hanya berdasar audit berbasis sampel, karena tidak mungkin memeriksa seluruh transaksi, apalagi pada perusahaan besar atau entitas pemerintah yang menggunakan anggaran besar. Diperlukan biaya besar dan waktu lama untuk memeriksa seluruh populasi. Manfaat informasi dalam LK juga sia-sia (menjadi basi) jika waktu pemeriksaannya lama, sementara informasi dibutuhkan kesegeraannya untuk pengambilan keputusan. Namun meski semua bergerak cepat, maka konsekuensinya adalah akuntansi juga bergerak sama cepatnya. Karena itu, mesti terjadi fenomena luar biasa maju, tetapi transparansi keuangan dan akuntabilitas menciptakan good governance tetap menjadi kaulah segalanya.
Situasi seperti ini sangat menyulitkan auditor, karena auditor selalu bekerja berdasarkan data yang diperoleh di lapangan. Situasi yang koruptif dan kolutif berakibat pada data (fakta) yang diterima auditor sering bersifat “rekayasa” yang disusun sangat rapi sehingga sulit dideteksi. Dengan banyaknya praktik penyimpangan, meskipun sudah menggunakan pendekatan audit berbasis risiko dan pemilihan metoda sampling yang tepat, auditor masih menghadapi risiko ada transaksi atau kegiatan yang luput dari pemeriksaan dan di kemudian hari ditemukan korupsi oleh penegak hukum (KPK, red).
Penggunaan sampling merupakan praktik yang lazim dalam audit. Ini berarti audit dilakukan berdasar pengujian sebagian data secara uji petik. Cara demikian mengandung risiko terjadinya salah saji material yang tidak ditemukan. Namun, dengan analisis risiko dan metoda sampling yang tepat, maka risiko tersebut dapat diminimalisir. Dengan keterbatasan audit dan faktor lingkungan yang koruptif, maka sangat sulit bagi BPK untuk menjamin opini WTP bebas dari korupsi. Audit memiliki keterbatasan dalam pengambilan sampel audit, karena tidak semua transaksi diperiksa. Bisa terjadi, untuk sejumlah transaksi yang tidak diambil sebagai sampel, justru terjadi korupsi. Apalagi jika sifatnya penyuapan kepada pejabat publik, sangat sulit dideteksi dari transaksi yang diaudit. Dan akibatnya besar kemungkinan lolos dari perhatian BPK. Dalam audit, auditor menghadapi keterbatasan yang timbul karena proses audit itu sendiri.
Berdasarkan uraian dan fakta di atas, setidaknya kita dapat menarik kesimpulan bahwa entitas yang memperoleh WTP atas LKPD yang diberikan oleh BPK belum menjamin penyelenggara pemerintahan daerah lepas dari jeratan tindak pidana korupsi. Hal ini lebih disebabkan pada ruang lingkup pemeriksaan BPK yang masih terbatas pada proses penatausahaan dan pertanggungjawaban, sehingga melemahkan BPK dalam mendeteksi adanya potensi penyalahgunaan anggaran khususnya korupsi. Namun demikian, BPK wajib mengungkapkan apabila menemukan ketidakpatuhan atau ketidakpatutan, baik yang berpengaruh atau tidak berpengaruh terhadap opini atas LK.
Korupsi di Indonesia pada saat ini populasinya semakin bertambah. Dari golongan kelas atas maupun kelas bawah sudah banyak yang menjadi koruptor. Faktor penyebab korupsi itu ada dua yaitu melalui faktor internal dan eksternal. Yang melalui faktor internal adalah dari perilaku diri kita sendiri, lingkungan, dan keluarga. Yang melalui faktor eksternal adalah kesenjangan sosial, politik, budaya dan organisasi-organisasi yang sistemnya kurang akurat.
Dr. Donald R. Cressey, salah seorang pendiri Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) dalam Tuanakotta (2010) menjelaskan hipotesis para pelaku korupsi sebagai bagian dari fraud (tindakan curang yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga menguntungkan kepentingan pribadi atau kelompoknya) di tempat kerja. Di antaranya adalah orang yang dipercaya yang oleh karenanya menjadi pelanggar kepercayaan ketika melihat dirinya sendiri sebagai orang yang mempunyai masalah keuangan yang tidak dapat diceritakannya kepada orang lain, ia merasa bahwa masalah ini secara diam-diam dapat diatasinya dengan menyalahgunakan wewenangnya sebagai pemegang kepercayaan di bidang keuangan, dan tindak-tanduk sehari-hari memungkinkannya menyesuaikan pandangan mengenai dirinya sebagai seseorang yang bisa dipercaya dalam menggunakan dana atau kekayaan yang dipercayakan.
Dalam perkembangan selanjutnya, hipotesis ini dikenal sebagai fraud triangle atau segitiga kecurangan yang menjelaskan mengenai motif seseorang melakukan kecurangan, yaitu perceived pressure, adanya tekanan akan kebutuhan hidup yang mendesak atau karena tuntutan dari jabatan dan tanggungjawab. Perceived opportunities, adanya kesempatan bagi seseorang untuk melakukan fraud. Dan rationalizations, pembenaran dari pelaku fraud atas apa yg dilakukannya. Faktor penyebab seseorang melakukan tindakan korupsi yaitu faktor dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya) dan faktor rangsangan dari luar (misalnya dorongan dari teman-teman, iri hati, kesempatan, dan sebagainya).
Ada beberapa sumber potensial korupsi dan penyelewengan, yakni berkaitan dengan perencanaan anggaran, proyek pembangunan fisik, transaksi pelayanan perizinan kemudian pajak dan retribusi, fasilitas kredit perbankan, pemberian konsesi, jual-beli jabatan, pengadaan atau mekanisme pemberian barang, dan jasa-jasa lainnya yang sifatnya tidak berupa penggelapan aset negara. Selain penyebab yang telah disebutkan diatas, masih banyak lagi penyebab derasnya arus korupsi yang terjadi di Indonesia, antara lain: Tanggung jawab profesi, moral, dan sosial yang rendah. Sanksi yang lemah dan penerapan hukum yang tidak konsisten dari institusi penegak hukum, institusi pemeriksa atau pengawas yang tidak bersih atau independen. Rendahnya disiplin atau kepatuhan terhadap undang-undang dan peraturan. Kehidupan yang konsumtif, boros, dan serakah (untuk memperkaya diri sendiri). Dan Lemahnya pengawasan berjenjang (internal) dalam pelaksanaan tugas.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa faktor faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi: Greeds (keserakahan), berkaitan dengan karakter atau adanya perilaku serakah yang secara potensial ada didalam diri setiap individu. Opportunities (kesempatan), berkaitan dengan keadaan organisasi, lembaga, instansi atau masyarakat yang memberikan kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan. Needs (kebutuhan), berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh individu untuk menunjang atau memenuhi kebutuhan hidupnya yang menuntut kewajaran. Dan Exposures (pengungkapan), terkait dengan resiko atau konsekuensi bagi pelaku apabila diketahui melakukan kecurangan.
Faktor faktor greeds dan needs berkaitan dengan individu pelaku (actor) korupsi, yaitu individu atau kelompok, baik dalam organisasi maupun di luar organisasi pelaku korupsi yang merugikan pihak korban. Sedangkan faktor faktor opportunities dan exposures berkaitan dengan korban perbuatan korupsi (victim), yaitu organisasi, instansi, lembaga, atau masyarakat yang kepentingannya dirugikan. Apabila kita melihat motivasi seseorang melakukan korupsi, hal ini bisa terjadi karena dua faktor yang paling kuat, yakni kelemahan sistem dan sumber daya manusia (SDM). Sistem yang buruk akan mengakibatkan adanya celah bagi seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi, sedangkan faktor manusia juga berperan sangat penting dalam terjadinya korupsi. Untuk itu perlu dilakukan beberapa tindakan perbaikan agar WTP yang diperoleh menjadi lebih bermakna.
Berdasarkan banyak di pemberitaan media massa yang bisa kita perhatikan secara seksama, seruan saya agar BPK jangan seperti sebelum-sebelumnya yang dengan gampangnya memberikan WTP, karena WTP tidak menjamin keuangan sehat dan transparan, bahkan terkadang WTP dimanfaatkan untuk menutupi kasus-kasus penyimpangan keuangan di daerah. “Saya menilai bahwa transparansi keuangan daerah masih kurang memuaskan. Ada banyak Pemda yang enggan untuk membuka LK kepada masyarakat, padahal masyarakat berhak untuk mengetahui kondisi keuangan yang dikelola. Terlebih lagi jika ada permintaan dari publik.”
Kasus korupsi pada lembaga yang berpredikat WTP telah menggerus kepercayaan masyarakat kepada BPK. Tidak sedikit yang menduga opini WTP bisa diperjual-belikan. Tidak keliru jika pandangan masyarakat kepada BPK menjadi buruk. Sebab, masyarakat tidak mendapat penjelasan yang benar mengenai opini BPK. Masyarakat menyangka, jika WTP pasti tidak ada korupsi. Jika ada korupsi, maka auditnya pasti salah. Padahal, pandangan itu dilihat dari sudut ilmu audit tidak tepat. Opini WTP bukan dimaksudkan untuk menjamin tidak ada korupsi.
Pencapaian WTP sebenarnya sudah merupakan kewajiban pemerintah. Sehingga yang diberikan seharusnya bukan penghargaan, tapi hukuman bagi entitas pemerintahan yang tidak mendapatkan WTP. Penghargaan dan hukuman memang dapat dilakukan sebagai langkah awal, agar entitas pemerintah dapat memperbaiki pengelolaan keuangan negara. Namun, pemerintah juga harus mengantisipasi efek negatif yang terjadi akibat penghargaan dan hukuman tersebut. Karenanya, kebanggaan berlebihan memperoleh WTP itu menjadi tidak tepat, itu adalah hal yang keliru. Apalagi penyajian LK WTP sebenarnya adalah kewajiban, bukan prestasi. Tak perlu digembar-gemborkan dan malah menjadi semacam euforia belaka.
Demikian juga BPK yang notabenenya sebagai institusi pemberi opini, sangat perlu untuk mencegah sekecil apa pun celah terciptanya hubungan kolutif antara auditor dan lembaga yang diaudit. Para penyelenggara negara, termasuk BPK haruslah sadar sepenuhnya bahwa opini WTP bukanlah tujuan akhir. Itu hanya sasaran antara, sedangkan tujuan utamanya ialah keuangan negara dikelola sepenuhnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. APBD yang diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sudah seyogianya dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab dan kehati-hatian, agar dana yang ada tidak diselewengkan oleh pihak oknum yang tidak bertanggungjawab. Hal ini seharusnya patut menjadi perhatian agar LK yang dibuat tidak hanya sekedar meraih opini WTP, melainkan tujuan LK dalam memberikan informasi yang bermanfaat bagi para pengguna LK dalam menilai akuntabilitas dapat tercapai.
Dalam kaitannya dengan penyelewengan dana APBD yang dilakukan oleh aparat yang tidak bertanggungjawab, timbul pertanyaan mengapa juga terjadi pada daerah yang laporan keuangannya sudah meraih opini WTP. Hal ini dapat saja terjadi mengingat tujuan dari pemberian opini WTP adalah untuk menunjukkan kewajaran informasi LK, bukan secara spesifik untuk menyatakan bahwa entitas yang mendapatkan opini WTP telah bebas korupsi.
Namun yang jelas, jika suatu entitas mendapatkan opini WTP, selayaknya tata kelola keuangan entitas tersebut secara umum telah baik. Untuk itu maka langkah yang harus dilakukan secara bersama-sama setelah meraih WTP adalah bagaimana agar APBD yang ada dapat bebas dari korupsi dengan pembangunan zona integritas menuju wilayah bebas dari korupsi (WBK) di masing-masing instansi. Dalam zona integritas, terdapat aparatur pengawas internal yang wewenangnya dipegang oleh inspektur jenderal (Irjen) untuk memperkuat pengawasan, salah satunya pelaksanaan anggaran di level kementerian atau lembaga.
Apabila langkah-langkah dalam melaksanakan pemberantasan korupsi dapat dilakukan seiring dengan peningkatan kualitas LK, maka hal ini menjadi sangat bermakna dalam menjaga integritas kelembagaan. Adalah penting merubah paradigma daripada memburu WTP, Pemda lebih baik menyusun LK berdasarkan asas manfaat yang bukan hanya bersandar pada deretan angka. Sebab ukuran keberhasilan yang sebenarnya, terletak pada kemampuan mengentaskan persoalan kemiskinan, pengangguran, atau masalah ekonomi.
Percuma meraih opini WTP jika rakyat tetap hidup dalam kubangan kemiskinan. Jangan bangga dengan WTP jikalau masih banyak pengangguran dan Kemiskinan. Jika itu yang terjadi, opini WTP hanya menjadi prestasi kosong di atas kertas tanpa bukti nyata yakni kemakmuran rakyat. Begitulah paradigma lama yang begitu terdisrupsi dengan adanya kemajuan teknologi. Jika paradigma asas manfaat ini yang menjadi rujukan, maka Pemda tak perlu lagi repot mengejar WTP. Karena, WTP sendiri yang akan datang sebagai bukti dari sebuah pemerintahan yang gemilang dan tolok ukur kesuksesan seorang kepala daerah. (*)