JAKARTA – Ketua PUPR DPD RI Hasan Basri merespons pernyataan Menteri Kehutanan Republik Indonesia yang menyatakan akan membuka 20 juta hektar lahan hutan, untuk kepentingan energi dan pangan baru-baru ini. Hal tersebut merupakan pernyataan serius yang mesti dicermati.
“Sekian banyak sudah janji-janji dari agenda pembukaan lahan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan energi. Faktanya pemerintah pusat tidak pernah benar-benar berhasil menunaikan janjinya. Ada banyak lahan untuk lumbung pangan sudah dibuka, tapi di mana letak keberhasilan dan dampaknya bagi rakyat? ,” tuturnya.
Dengan adanya wacana membuka lahan hutan 20 juta hektar yang luasnya melebihi 2 kali Pulau Jawa, merupakan ancaman terhadap lingkungan dan masa depan bangsa ini.
“Saya mendukung lumbung pangan dari dulu di Pulau Kalimantan, dengan alasan agar bekas Proyek Lahan Gambut Jutaan hektar yang digagas Presiden kedua dulu, bisa diberdayakan. Agar kerusakan yang kadung terjadi beberapa dekade lalu, bisa diperbaiki dan mendatangkan manfaat bagi rakyat. Itu sebabnya saya mendukung food estate atau lumbung pangan dilanjutkan dengan intensifikasi. Mengoptimalkan lahan yang dikuasai Petani, sehingga meningkat produktivitasnya dan naiklah penghasilannya,” ungkapnya.
Menurut Hasan Basri, tidak perlu rasanya membuka lahan baru lagi, apalagi sampai membabat hutan dengan alasan pangan. Berdayakan jutaan hektar lahan yang sudah ada dicanangkan dari pemerintahan sebelum-sebelumnya dan buktikan keberhasilannya, termasuk program-program yang konon katanya ada di Kalimantan Kalimantan. Kami minta pemerintah pertanggungjawabkan secara transparan perkembangan maupun hasilnya, agar tidak jadi gimmick semata.
“Saya dari dulu sampaikan tentang pentingnya pemberdayaan para petani dan mengoptimalkan lahan yang telah mereka garap dan kuasai. Dorong modernisasi penyuburan tanah, pemilihan bibit, tata cara penanaman, pemberian pupuk, tata cara pemanenan, dan penjualan beras, harus dilakukan dengan baik dan benar, serta berkeadilan. Pada prinsipnya konsep food estate yang dulu dijanjikan di Kalimantan Pulau Kalimantan dengan modernisasi pertanian dan kawasan terintegrasi dengan hilirisasi pertanian, mestinya diwujudkan,” jelasnya.
Alih-alih membabat hutan baru, fungsikan lahan hutan yang kadung dibabat untuk agenda yang sama dan tunjukkan komitmen. Alih-alih menimbulkan ancaman lingkungan yang tak terkendali, sebaiknya Menteri Kehutanan evaluasi status kawasan hutan di Kalimantan Pulau Kalimantan yang banyak merugikan masyarakat. Banyak desa hingga kantor pemerintahan di Pulau Kalimantan berstatus kawasan hutan, meski faktanya tidak demikian.
“Adil dan arif dalam membuat kebijakan. Agar pemerintah sungguh memberi rakyat keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan, dan kesejahteraan. Rakyat, bersama mengawal agenda-agenda pemerintah, agar tidak berubah jadi bencana sosial di kemudian hari.Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?,” pungkasnya. (*)