Oleh: Tarsoen Waryono
Pengamat Lingkungan Universitas Indonesia
PROSES pembentukan struktur geologi wilayah Depok, erat kaitannya dengan daerah-daerah sekitarnya baik Bogor Barat maupun Bogor Utara (Cibinong, Klapanunggal). Formasi ini terdiri dari batu pasir halus sampai kasar, konglomerat dan batu lempung berusia Miosen Awal. Fakta fisik yang masih dapat dikenali, tersingkap di Selatan Tenggara Parung Panjang, bagian Barat Laut Kabupaten Bogor. Pada kala Miosen Tengah terjadi proses Pesesaran geser, terjadi di Timur Laut (Bogor Utara), dengan dua garis sesar yaitu; membentang mulai dari Citerep, Cibubur dan berakhir di Jatinegara, dan paparan yang menjulang kearah Utara mencakup wilayah Cibinong, Parung hingga Pasar Minggu. Pada kala Miosen akhir (Pleitosin Awal), wilayah-wilayah ini terangkat kembali, saat terjadi aktivitas Gunung Api di bagian Selatan (Bogor Tengah), baik G. Gede, G. Pangrango maupun G. Salak, yang menghasilkan batuan gunung api muda. Endapan-endapan vulkanik ini terdistribusi secara alami dan menutup punggungan dan lembah hamparan muka bumi mulai dari Citerep, Cibinong, parung, Depok, hingga Pasar Minggu dan Ulujami. Distribusi endapan alluvial pada daerah-daerah cekungan (lembah), yang pada akhirnya terbentuklah situ-situ alami dan berangsur-angsur mulai dari Bogor Bagian Barat hingga DKI Jakarta.
Karakteristik, Penyebaran dan Ancamannya
Hamparan situ-situ berdasarkan proses pesesarannya dibedakan menjadi tiga bagian hamparan, yaitu (a) hamparan bagian Barat menyusur dari daerah Bogor Barat, Parung dan berakhir di daerah Ciputat (Situ Gantung); (b) hamparan bagian Timur mulai dari Cibubur (Rawa Dongkal), Klapadua, dan berakhir di Senayan, dan (c) hamparan bagian Tengah mulai dari Cibinong, komplek (baru) Pemda Bogor, Citayam-Depok, Pasar Minggu, dan Ulujami;
Karakteristik situ-situ secara alamiah pada hamparan Bagian Barat dan Timur, dicirikan oleh pengaruh tata air permukaan dangkal hingga terbatas dengan mata-mata air tanah. Oleh sebab itu limpasan air hujan merupakan sumber utamanya, hingga pada saat musim kemarau kadang-kala terjadi kekeringan. Berbeda halnya dengan situ-situ di bagian Tengah, cenderung dipengaruhi oleh tata air peralihan antara air permukaan dan air tanah dalam, hingga tidaklah mengherankan apabila pada musim kemarau masih tersedia air, bahkan melimpah karena bersumber dari mata air tanah dalam. Atas dasar itulah wilayah-wilayah yang dicirikan oleh kondisi situ-situ yang dipengaruhi oleh sumber air tanah dalam, sangatlah wajar hingga ditetapkan sebagai wilayah atau kawasan resapan air tanah.
Situ-situ di wilayah Kota Depok pada awalnya tercatat 26 lokasi ( 235 ha), tersebar secara sporadis di seluruh wilayah Depok; dan kini tercatat tinggal 19 buah atau seluas 119 ha. Berdasarkan kondisi fisiknya tergolong baik 6 buah (36,45 ha), kurang baik 4 buah (26 ha), rusak 4 buah (33,30 ha), dan tidak berfungsi sebagai kawasan tandon air 5 buah (23,25 ha). Ancaman terhadap keberadaan situ-situ di wilayah ini, selama 15 tahun terakhir cenderung disebabkan oleh desakan alih fungsi status kawasan tandon air menjadi wilayah pemukiman. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, niscaya akan menimbulkan malapetaka yang erat kaitannya dengan pelestarian sumberdaya air, serta berpengaruh langsung terhadap wilayah di bagian bawahnya.
Secara umum ancaman terhadap keberadaan dan kelestarian situ-situ di wilayah Kota Depok, dapat dikelompokan menjadi tiga bagian yaitu; (a). Konversi atau alih fungsi status; akibat semakin laju pertumbuhan penduduk, yang cenderung memacu kebutuhan ruang dan lahan untuk kepentingan pemukiman; (b). Pendang-kalan; endapan lumpur hasil sedimentasi ditambah dengan limbah padat sampah organik yang bersumber dari rumah tangga; (c). Pencemaran oleh limbah; baik yang bersumber dari home industri maupun limbah-limbah rumah tangga yang terbawa oleh limpasan aliran air yang terakumulasi. Sebagai akibat yang ditimbulkannya, dapat berpengaruh terhadap biota perairan, dan proses eutrofikasi (penyuburan), hingga semakin melimpahnya gulma air eceng gondok (Eichornia crassipes), yang cenderung mempercepat pendangkalan, dan kekeringan karena tingginya penguapan.
Manajemen Pengelolaan Situ Secara Terpadu Berkelanjutan
Kondisi fisik wilayah situ-situ berdasarkan proses terbentuknya, pada hakekat-nya merupakan kunci dasar pendekatan sebagai bahan pertimbangan dalam manajemen penangananya. Hal ini mengingat bahwa potensi daya dukung lingkungan situ-situ seperti jenis tanah (batuan asal), besaran curah hujan, dan kondisi penutupan vegetasinya, berpengaruh terhadap sifat fisik-kimia tanah, yang erat kaitannya dengan ancaman yang cukup potensial terhadap kelestarian dan keberadaan situ-situ.
Mencermati atas proses terbentuknya situ-situ, pendekatan konsepsi penge-lolaannya, seyogyanya didasarkan atas kaidah konservasi tanah dan air. Pemadu-serasian antara pemanfaatan situ secara optimal dengan upaya-upaya (olahdaya) pelestarian terhadap daya dukung lingkunganya, merupakan alternatif yang dinilai terjitu. Membangun kawasan hijau sebagai penyangga kawasan tandon air dalam bentuk hutan kota, dipaduserasikan dengan pengembangan sarana rekreasi wisata air, nampaknya menjadi strategis untuk memulihkan kembali keberadaan situ-situ yang kini dinilai sangat memprihatinkan. Untuk itu, harapan munculnya arahan kebijakan sebagai kaidah dan rambu- rambu untuk tujuan penyelamatan, pelestarian dan pemanfaatan secara optimal terhadap kawasan tandon air, akan mendudukan posisi strategis atas prestasi yang dicapai oleh Pemda Depok dalam mempertahankan wilayahnya sebagai kawasan resapan air tanah. Hal ini mengingat karena peranan fungsinya yang berpengaruh langsung terhadap wilayah di bagian hilirnya. Dalam pada itu, Rentrada (Rencana Strategi Pembangunan Daerah) Kota Depok, dalam kaitannya dengan penanganan situ-situ secara terpadu dan berkelanjutan, paling tidak akan memuat hal-hal sebagai berikut; (a) Pembangunan sumberdaya alam perairan dan lingkungannya, diarahkan untuk mewujudkan keserasian antara kegiatan-kegiatan manusia dan eko-sistem yang mendukungnya; hingga tujuan terciptanya kota Depok yang indah, nyaman, bersih dan menarik dapat diwujudkan, melalui kegiatan-kegiatan berbasis ke- masyarakatan dalam hal pembangunan berwawasan lingkungan, peningkatan budaya dan sadar terhadap pentingnya keserasian lingkungan hidup. (2). Pemanfaatan sum-berdaya air dan tanah yang mempunyai nilai ekonomis dan fungsi sosial, diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi, melalui berbagai penggunaan yang jelas. Tata guna air dan lahan diselenggarakan secara terpadu, hingga menjamin kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagai pendukung kawasan tandon air.
Agar tujuan dan sasaran kebijakan pengelolaan dan pengembangan ekosistem perairan (situ- situ), secara terpadu dan berkelanjutan dapat diimplementasikan secara rasional, pendekatan utamanya dilakukan melalui perbaikan kawasan penyangga situ-situ, dalam bentuk perbaikan habitat baik melalui rehabilitasi kawasan, pemilihan jenis budidaya yang dinilai sesuai (cocok) dengan kondisi habitat dan ekosistemnya, serta jelas Instansi yang bertanggung-jawab menanganinya sesuai dengan kewenangannya.
Aspek Pengelolaan dan Pengembangan Situ-situ
Aplikasi pengelolaan dan pengembangan ekosistem perairan pada dasarnya dilakukan melalui penyusunan rencana tapak yang merupakan langkah awal dalam tahapan penyusunan konsep desain detail engineringnya. Dalam penyusunannya, dirumuskan sebagai gambaran alokasi dan penempatan (tata letak) pengisian ruang tapak pengembangan ekosistem perairan secara terpadu, yang mencakup beberapa unsur perpaduan antar lokasi, kondisi fisik wilayah dan lingkungan di sekitarnya, yang erat kaitannya dengan aspek pemanfaatannya.
Didasari atas kriteria dasar pengelolaan dan pengembangan situ-situ secara terpadu berkelanjutan, seperti uraian terdahulu dengan memperhatikan aspek daya dukung fisik wilayahnya, untuk itu dalam perencanaanya perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut; (a) Aspek kelembagaan; situ-situ di wilayah Kota Depok secara ekologis, hendaknya dipandang sebagai satu kesatuan kawasan tandon air yang mem-punyai keterkaitan satu dengan lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pengelolaannya perlu direncanakan secara terpadu dengan melibatkan beberapa Instansi terkait, yang meliputi unsur pemerintah, swasta dan masyarakat sebagai stake holder; (b) Aspek Teknis; secara teknis pengelolaan dan pengembangan situ-situ harus melibatkan beberapa disiplin ilmu, karena dalam pelestarianya mencakup upaya konservasi sumberdaya air, tanah dan ekosistemnya, yang erat kaitannya dengan kondisi fisik wilayah pada masing-masing situ, (c) Aspek IPTEK; pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengelolaan dan pengembangan situ-situ.(*)