Oleh: Erick Hendrawan, Ketua DPD KNPI Kota Tarakan
UMAT Islam dan Hari Raya adalah definisi kegembiraan. Kedatangan momentum satu tahun sekali ini disambut gembira dan dijadikan lomba bagi umat Islam untuk menabung pundi-pundi pahala sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh Allah SWT.
Bertepatan pada tanggal 10 Dzulhijjah, umat Islam seantero jagat raya ini menyambut pesta akbar Iduladha atau Idulkurban. Selain penyambutan hari raya besar, bagi umat Islam, menunaikan ibadah haji dalam menyempurnakan rukun Islam turut dirasakan hangat dan riuhnya beribadah di tanah suci mekkah.
Hari raya Iduladha bagi umat Islam merupakan hari raya yang penuh dengan makna historis, sosial, bahkan filosofis. Secara historis, Idulkurban berawal dari peristiwa ketika kesediaan Nabi Ibrahim AS untuk mengorbankan putranya, Ismail AS, untuk Allah SWT. Kemudian Allah SWT menggantikannya dengan seekor domba.
Hikmah yang dapat dipetik dari kisah tersebut adalah keikhlasan Nabi Ibrahim AS beserta putranya untuk menjalankan apa yang diperintahkan Allah SWT. Bagi Nabi Ibrahim AS, mengurbankan anaknya adalah bentuk rasa ikhlas dan sebuah ujian yang sungguh berat karena hakikatnya beliau menantikan harapan seorang anak sebagai penerusnya sudah lama.
Namun karena itu adalah perintah dari Allah SWT, maka keduanya kemudian saling meneguhkan hati untuk menjalankan apa yang diperintahkan. Keikhlasan hati dari kedua itulah yang kemudian membuat Allah SWT memerintahkan untuk menggantinya dengan menyembelih hewan kurban.
Ada pemaknaan kurban yang tidak hanya semata-mata pada persoalan menyembelih hewan di waktu Idulkurban. Akan tetapi, yang menjadi perkara utama adalah menunaikan dan mewujudkan misi tauhid dan misi sosial dengan penuh keikhlasan yang diniatkan semata hanya kepada Allah SWT.
Persoalan yang kemudian muncul adalah ketika pelaksanaan kurban sebagai ritual tahunan yang kental dengan nuansa politis. Argumentasi dari ciri-ciri berkurban bermotif politisyakni, pertama, hewan kurban diberikan oleh lembaga politik atau aktivis politik; kedua, pelaksanaan bertepatan di wilayah/daerah yang menjadi konstituen dari politisi terkait; dan yang ketiga, adanya liputan media secara sengaja dengan mengundang wartawan.
Namun di sini tidak sepenuhnya membenarkan bahwa berkurban saat momen politis adalah salah. Karena sejatinya momentum apa pun adalah sah dijadikan instrumen politik untuk mengambil kekuasaan. Sedang kekuasaan dekat dengan rakyat, maka alat politik yang tidak melibatkan rakyat adalah nihil baginya.
Lalu bagaimana apabila niat politisi untuk berkurban semata mengambil simpati dan suara konstituen tempat menyembelih? Wallahu a’lam! Di sini bukan untuk mendebatkan berpahala atau tidak.
Apabila benar, hal tersebut tentunya akan mendapat “pahala” dari simpati dan pujian masyarakat. Namun kita tidak tahu apakah simpati masyarakat akan linier dengan dukungan dan pilihan. Tetapi, sekali lagi, di sini tidak pula menyalahkan berkurban dalam momen politik.
Lalu bagaimana mentransformasikan simpati warga menjadi dukungan untuk memilih? Kita kembalikan lagi pada niat masing-masih di awal. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya setiap perbuatan (amal) tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang ia niatkan….” (HR Bukhari).
Kembali lagi memaknai kurban dalam dimensi kehidupan sosial adalah bagaimana kita sebagai umat manusia atas dasar ketakwaan dan keyakinan mengorbankan apa yang kita miliki, tentu saja dalam konteks kehidupan saat ini menyisihkan sebagian harta untuk berkurban sebagai wujud pengabdian kepada Allah SWT.
momentum perayaan Idul Adha 1441 ini kita dihadapkan pada ujian besar, mewabahnya covid-19 tentu mengurangi kesemarakan kegiatan sakral pemotongan hewan kurban, tentu disini kita dituntut lagi untuk minimal berkurban untuk tidak berkumpul secara berlebihan, berkurban mengikuti protokol Kesehatan hingga sedikit menahan diri atas aktivitas yang kurang penting, tapi sekali lagi ini adalah cara Allah SWT menunjukan kasih sayang kepada Umatnya.
Akhirnya semoga kita semua dapat meneladani makna kurban secara dimensi sosial serta menjadikan kisah pengabdian Nabi Ibrahim AS kepada Allah SWT dalam aktivitas keseharian kita di muka bumi.(*)