JAKARTA – Sebagai Presiden Dewan Keamanan (DK) PBB pada Agustus, Indonesia memimpin sidang yang membahas keterkaitan antara penanggulangan terorisme dan kejahatan terorganisasi.
Pertemuan terbuka yang diselenggarakan secara virtual pada Kamis malam (6/8), dihadiri oleh perwakilan dari Kantor PBB urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC), Kantor PBB urusan Penanggulangan Terorisme (UNOTC), serta seluruh anggota DK.
“Keterkaitan antara kejahatan terorisme dan kejahatan terorganisir merupakan sebuah fenomena baru dan sangat berbahaya dan menjadi ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional khususnya di masa pandemi,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam pengarahan media mengenai pertemuan tersebut, Jumat.
Dalam pernyataan nasional, Indonesia menekankan bahwa perang terhadap pandemi tidak boleh menyurutkan upaya bersama dalam mengatasi ancaman terorisme. Hal ini sejalan dengan resolusi DK PBB nomor 2532 terkait COVID-19 yang menyerukan gencatan senjata selama pandemi, kecuali untuk memerangi terorisme. “Kita tidak ingin melihat bahwa pandemi justru memberikan kondisi kondusif bagi terorisme untuk memperkuat diri,” ujar Retno.
Untuk mengantisipasi ancaman yang lebih besar dari keterkaitan antara terorisme dan kejahatan terorganisir, Indonesia menyampaikan tiga upaya yaitu, pertama, pentingnya menyesuaikan kebijakan dalam menangani keterkaitan antara terorisme dan kejahatan terorganisir yang selama ini diambil.
“Upaya yang selama ini berjalan sendiri-sendiri dalam mengatasi kejahatan terorisme dan kejahatan terorganisir harus diubah. Sinergi antara aparat penegak hukum harus dilakukan,” Retno menegaskan.
Kedua, yaitu memperkuat infrastruktur hukum dan institusi dalam mengatasi keterkaitan kedua kejahatan ini. Instrumen hukum internasional terkait dua kejahatan terorisme dan kejahatan terorganisir harus dicerminkan dalam hukum nasional negara. Upaya ini diharapkan memperkuat kapasitas hukum nasional dalam mengatasi keterkaitan tersebut.
Selain itu, kapasitas penegak hukum dalam mengatasi fenomena keterkaitan ini juga harus ditingkatkan. Selama ini, Jakarta Centre Law Enforcement Cooperation (JCLEC) telah aktif membangun kapasitas penegak hukum bagi lebih dari 100 negara di bidang penanggulangan terorisme dan kejahatan terorganisir.
“ Ke depan, kita akan pastikan agar isu keterkaitan terorisme dengan kejahatan terorganisir menjadi bagian dari program JCLEC,” tutur Retno.
Ketiga, yakni memperkuat mekanisme kawasan dalam merespons fenomena keterkaitan antara terorisme dan kejahatan terorganisasi. ASEAN, misalnya, memiliki wadah untuk membahas dua kejahatan ini sekaligus, yang dapat menjadi contoh bagi organisasi kawasan lainnya.
Selain itu sinergi antara organisasi kawasan dan organisasi internasional menjadi sebuah keniscayaan dalam mengatasi fenomena ini, melalui tukar menukar informasi, praktik terbaik khususnya terkait kekhususan setiap kawasan. “Negara anggota DK memberikan apresiasi terhadap pertemuan virtual ini yang memberikan perhatian dalam mengatasi keterkaitan dua kejahatan ini khususnya pada saat pandemi,” kata Retno.(sha)