FAJAR MENTARI : KADES DAN PERANGKAT DESA HARUS NETRAL
TIDENG PALE – Netralitas Kepala Desa (Kades) dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Tana Tidung (KTT) tiba-tiba menjadi bahan perbincangan warga belakangan ini. Melalui sebuah foto yang beredar, seorang oknum kades di KTT diduga telah ikut berpolitik praktis lantaran mengacungkan jari sebagai simbol dukungan kepada salah satu pasang calon kepala daerah.
Tindakan tersebut tentu saja menuai sorotan tajam dari Ketua <span;>Lembaga Nasional Pemantau dan Pemberdayaan Aset Negara Provinsi Kalimantan Utara (LNP-PAN Kaltara), Fajar Mentari SPd. Pria yang akrab disapa FM ini menegaskan, larangan kades terlibat dalam politik praktis sangat jelas tertuang dalam aturan, yakni Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri nomor 273/3772/JS yang diteken 11 Oktober 2016.
Aturan ini, lanjut FM, merupakan penegasan pasal 70 Undang-undang nomor 10 tahun 2016 (UU 10/2016) tentang Perubahan Kedua atas UU 1/2015 tentang Penetapan Perppu nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi UU. Tidak hanya itu, lanjut Fajar, selain dijelaskan dalam UU Pilkada, larangan kades berpolitik praktis juga diatur dengan rinci dalam UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Dalam UU ini disebutkan bahwa kades dilarang membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain atau golongan tertentu. UU juga melarang kades menjadi pengurus Parpol dan ikut serta dan atau terlibat kampanye.
Kades juga, kata dia, dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye dan dilarang menjadi pengurus Parpol dan ikut serta dan/atau terlibat kampanye Pemilu dan/atau Pilkada. Kades juga tidak boleh mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan, baik sebelum, selama dan sesudah masa kampanye yang meliputi ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada anggota keluarga dan masyarakat.
“Larangan dalam kampanye yang melibatkan kepala desa juga ada tertuang di Undang-undang nomor 7 tahun 2017 pasal 280 ayat 2 huruf (h), yakni pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan Kepala Desa, Perangkat Desa, dan Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD),” jelasnya.
Melihat aturan-aturan tersebut, tegas FM, oknum kades maupun oknum perangkat desa, termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terlibat kampanye atau politik praktis dapat dipidanakan. Sehingga, dia pun berharap agar ASN dan kades bisa menjaga prinsip netralitas dalam Pilkada.
“Apabila ada kades yang menganggap bahwa dirinya bisa membawakan nama pribadi dalam tindakan berpolitik praktis, maka itu tindakan yang blunder. Kalau ada yang bilang bisa membawa nama pribadi, itu kades harus membaca UU dulu. Konsekuensi hukum bagi kades yang melanggar larangan tersebut, diancam sanksi pidana berupa pidana penjara paling singkat 1 bulan dan paling lama 6 bulan. Selain mendapat sanksi pidana kades yang melanggar ketentuan itu juga akan didenda paling sedikit Rp600 ribu dan paling banyak Rp6 juta,” jelasnya.
Dalam pantauan FM, kades maupun perangkat desa memang ada kecenderungan terlibat dalam kegiatan politik praktis. Sering kali ada tren dilibatkannya kades dalam arus dinamika politik praktis oleh kelompok-kelompok tertentu, apalagi jelang Pilkada. Bahkan, FM kerap mendapatkan informasi kades dan perangkatnya dijadikan sebagai tim sukses yang bertugas mendulang suara di level desa atau kelurahan.
Gerakan para kades, nilai FM, terbilang efektif karena mereka adalah pemegang kendali utama di level RT dan RW setempat. Keterlibatan oknum kades dan perangkatnya di tingkat kades sampai RT dan RW pada setiap Pilkada itu selalu rawan.
“Jabatan kepala desa itu melekat selama 24 jam. Jadi, jika ada tindakan kades yang mengajak warganya agar mendukung atau memilih Paslon kepala daerah, tentu merupakan tindakan pelanggaran. Apalagi jika menggunakan fasilitas desa atau fasilitas jabatannya,” tuntasnya.
Untuk itu, diapun meminta warga yang melihat keterlibatan kades dan perangkatnya dalam politik praktis agar segera melaporkannya ke Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Jika perangkat yang beranggotakan Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan ini menemukan unsur pelanggarannya, maka dapat direkomendasikan kepada pejabat pembina kepegawaian, dalam hal ini Bupati untuk pemberian sanksi.
“Kades maupun perangkat desa harus netral, dalam artian tidak terlibat langsung dalam politik praktis secara berpihak, baik itu dengan cara mempengaruhi, mengajak, menyerukan, menghimbau atau memberikan barang untuk dukungan kepentingan politik siapa pun,” imbuhnya. (*)