
JAKARTA – Kasus pemecatan terhadap guru honorer di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan menjadi bukti pemerintah tidak memberikan perhatian kepada kesejahteraan guru. Hal ini diungkapkan oleh Koordinator Nasional Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim.




Seperti diketahui, guru honorer di SDN 165 Sadar bernama Hervina dipecat karena memposting foto gajinya selama 4 bulan bekerja yang hanya sebesar Rp 700 ribu. Foto tersebut ia unggah di Facebook miliknya.
“Terbukti kan bahwa komitmen dalam menyejahterakan guru honorer itu masih kita pertanyakan, contohnya ada guru di Bone itu yang memposting Rp 700 ribu gaji itu diberhentikan kepala sekolah. Komitmen Kemendikbud belum terlihat,” terangnya dalam siaran YouTube Pendidikan VOX Point, Senin (15/2).



Selain itu, penghapusan tunjangan profesi guru (TPG) di satuan pendidikan kerjasama (SPK) juga menambah persoalan kesejahteraan guru. Padahal, tunjangan guru telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Guru dan Dosen. Di situ, dikatakan bahwa TPG diberikan kepada guru yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya.



“Padahal itu jelas sekali tertulis bahwa guru yang memiliki sertifikat pendidik itu berhak mendapat TPG, itu mereka yang SPK itu sudah menerima TPG, presedennya ada, lalu di tengah jalan dipotong. Itu kan berpotensi melanggar UU Guru dan Dosen,” ujarnya.



Perihal pemberian tunjangan itu termaktub di dalam Peraturan Sekretaris Jenderal (Persesjen) Nomor 6 Tahun 2020vtentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Penyaluran Tunjangan Profesi dan Tunjangan Khusus Bagi Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam pasal 6 ditekankan bahwa pemberian TPG bagi guru bukan PNS dikecualikan bagi guru pendidikan agama yang tunjangannya dibayarkan Kementerian Agama (Kemenag) dan guru yang bertugas di SPK.



“Alasan Kemendikbud, di SPK itu orang-orang mampu dan sekolah mahal. Saya rasa tidak semua juga yang begitu. Ada juga sekolah nasional biasa yang mengonversi diri menjadi SPK. Itu sama saja dengan guru sekolah swasta, bahkan ada juga yang SPK agak pelit sehingga gaji dan tunjangan gurunya kecil,” jelas dia.



Oleh karena itu, keputusan dalam menghilangkan TPG dinilai diskriminatif. Ia pun mempertanyakan komitmen Mendikbud Nadiem Makarim dalam mensejahterakan para guru.
“Justru kami mempertanyakan komitmen Mas Menteri untuk mensejahterakan guru-guru tanpa melihat sekolahnya, negeri, swasta dan SPK. Kami mengimbau langkah terakhir nanti kita bisa mengajukan gugatan, baik itu ke PTUN atau mekanisme hukum perdata yang lain,” tegas dia.(int/sha)