TARAKAN – Upaya hukum terus dilakukan oleh pengelola Grand Tarakan Mall (GTM) untuk pembatalan status pailit kepada PT Gusher Tarakan. Sebab, putusan pailit tersebut dianggap cacat hukum.
Kuasa Hukum GTM Benhard Manurung mengatakan, adanya permohonan PKPU yang diajukan oleh Steven Hendrik sebagai perwakilan PT Gusher Tarakan dianggap menyalahi aturan. Sebab, Steven Hendrik tidak memiliki legal standing untuk mengajukan kepailitan.
“Mengenai pengurus itu sudah dibatalkan dan ada putusan PTUN. Yang artinya Steven Hendrik itu tidak mempunyai legal standing atau alas hak untuk mengajukan PKPU,” kata Benhard kepada Facesia.com.
Ia menjelaskan, secara hukum, perusahaan yang berhak mengajukan atas kepailitan adalah mereka yang tidak bermasalah baik gugatan PTUN maupun gugatan perdata.
“Karena Hendrik Hakim bermasalah akhirnya ada muncul ADRT yang baru dengan direktur Agus Toni. Steven Hendrik dasarnya apa, kok bisa dia mengajukan pailit padahal secara legal standing perusahaan ADRT-nya itu sudah dibatalkan. Kok bisa menjaminkan ke BNI dan objeknya juga yang dijaminkan ada di Balikpapan. Kami punya buktinya semua,” ujarnya.
Ditambahkan Benhard, terkait legal standing Steven Hendrik sebagai debitur di BNI dinilai cacat karena tidak patut dan layak secara hukum sebagai peminjam debitur ke BNI.
Baca juga: https://facesia.com/dua-dasawarsa-perjalanan-pt-gusher-tarakan-berujung-pailit/
“Jadi sesuai hal keadaan tersebut maka kami kuasa hukum PT Gusher versi pak Gusti dan Agus Toni menduga keras adanya akad kredit dan pinjaman uang ke BNI yang dilakukan oleh Steven Hendrik dengan oknum BNI masuk dalam tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Ia menilai, sejak awal pinjaman uang, BNI mengesampingkan asas kepatutan, kelayakan dan kehati-hatian. Juga dikuatkan lagi obyek jaminan tidak adanya hak tanggungan yang harusnya dicek oleh pihak BNI secara detail.
“Misalnya subyek-subyek calon debitur, obyek milik sah dari debitur Steven Hendrik kalau PT harus ada rapat pemegang saham dan PT pimpinan Steven bukan milik orang lain. Tapi hal-hal ini kan tidak diperhatikan. Oleh sebab itu, kami akan laporkan peristiwa perjanjian utang piutang antara Steven Hendrik dan oknum BNI ke KPK. Karena BNI adalah perusahaan BUMN negara dan yang menjadi korban adalah PT Gusher pimpinan Pak Gusti dan Agus Toni serta bank BNI milik negara jadi korban akibat ulah mereka,” tegasnya.
Baca juga: https://facesia.com/pengelola-gtm-akan-lakukan-upaya-hukum-nilai-penetapan-pailit-cacat-hukum/
Terkait masalah lain yang muncul mengenai Leny, disebutkan pengacara asal Surabaya ini, jika mengacu pada legal standing, Leny sebagai debitur yang sah bukan kreditur.
“Bahkan kurator tidak pernah bertemu dengan Leny. Karena kurator terlibat dalam rencana pemberian keterangan palsu. Dalam undang-undang kepailitan perusahaan yang dinyatakan pailit asal mulanya dari kreditur,” tukasnya.
Benhard menjelaskan, sesuai pasal 2 ayat (1) jo. pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan, minimal ada dua atau lebih kreditur. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan “Kreditur” di sini mencakup baik kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen.
“Kreditur itu minimal harus ada dua, kalau kreditur tidak lebih dari 2 maka tidak bisa pailit. Oleh sebab itu, maka harus krediturnya yang mengajukan. Leny ini membayar kontan, ada buktinya sehingga dia tidak dapat disebut kreditur. Dia juga tidak pernah ketemu kurator dan kuasa hukumnya yang membuat itu tidak pernah ada tanda tangan,” paparnya.
Selain itu, lanjut Benhard, proses untuk mengajukan kepailitan, jika debitur dalam usahanya sudah tidak bisa produksi lagi.
“Ini poinnya. Faktanya, kita lihat GTM masih bisa bergerak maka tidak bisa dipailitkan,” tegasnya.
Bukti lain yang disebutkan kuasa hukum GTM yang dinilai cacat hukum, jangka waktu pemberesan harta pailit yakni 270 hari setelah dinyatakan pailit itu tidak dilaksankan.
“270 hari itu harus beres apabila tidak maka dianggap tidak pailit. Ini berdasarkan Undang-undang bukan saya yang mengada-ngada,” tutupnya.(sha)