JAKARTA – Topik Fetish Kain Jarik menyita perhatian publik setelah muncul sebuah utasan di Twitter tentang pelecehan seksual berkedok riset kampus. Lantas apa hubungannya fetish yang punya konotasi fantasi seksual dengan jarik?
Dalam utasan tersebut, pemilik akun @m_fikris mengaku menjadi korban pelecehan seksual seseorang bernama Gilang yang mengaku sebagai mahasiswa Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur. Ia bercerita, dirinya diminta untuk membungkus tubuhnya dengan kain jarik sehingga mirip seperti pocong.

Korban akhirnya menyadari bahwa dia sedang menjadi objek fetish Gilang. Setelah curhatan @m_fikris viral, korban-korban lain akhirnya angkat bicara. Banyak di antara mereka diminta untuk membungkus diri sendiri atau orang lain dan dipegang bagian vital untuk melihat reaksinya.
Dihimpun dari berbagai sumber, kain jarik merupakan sebutan lain untuk kain khas Jawa yang memiliki motif dengan beragam corak. Dalam bahasa Jawa, jarik sendiri bermakna ‘aja gampang siri’ atau bisa diartikan jangan mudah iri hati.

Filosofinya, jarik akan membuat si pemakai lebih berhati-hati saat berjalan. Dulu, jarik menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Biasanya mereka memakai jarik sebagai bawahan, alas tidur bayi, alat gendong bayi, hingga alas dan kain penutup untuk orang meninggal.
Namun, seiring perubahan zaman, jarik di masa kini lebih sering dipakai di acara formal, seperti pernikahan adat Jawa. Motif pada jariknya pun disesuaikan agar maknanya sejalan dengan pernikahan itu sendiri.
Misal jarik yang digunakan saat pernikahan Kahiyang Ayu, putri Presiden Joko Widodo, pada 2017 silam. Jarik bermotif wahyu gumulung menjadi salah satu pilihan keluarga Jokowi untuk momen spesial tersebut.
“Maknanya, mengumpulkan segala berkah dari Tuhan. Terlihat dari isenan atau wahyu yang seperti berkumpul,” terang Ki Ronggojati Sugiyatno, pemilik Toko Busana Jawi Suratman, kepada Wolipop kala itu. Pak No, begitu sapaan akrabnya, dipercaya keluarga pengantin untuk urusan busana tradisional Jawa di pernikahan tersebut.
Lalu ada pula jarik bermotif jati kusumo yang dipakai untuk sesi midodareni. Dijelaskan Pak No, jati bermakna abadi dan kusuma adalah bunga yang melambangkan keharuman. “Jadinya nama yang abadi. Midodareni itu kan menyongsong dan hari yang penting juga untuk menjadikan keabadian yang madya,” ungkap Pak No.
Tidak ketinggalan jarik bermotif bokor kencono. Maknanya, kata Pak No, sebagai wadah kemuliaan manusia karena pernikahan adalah tahapan kedua dari tiga peristiwa penting dalam hidup manusia, yakni lahir, nikah, dan mati.(int/sha)