TARAKAN – Polemik kepemilikan lahan di Tarakan menjadi sorotan tajam, terutama terkait proyek pembukaan jalan yang berdampak pada tanaman tumbuh milik masyarakat. Ketua Komisi I DPRD Tarakan, Adyansa, mengungkapkan dilema yang dihadapi pihaknya dalam mencari solusi terbaik bagi masyarakat yang terdampak.

Menurut Adyansa, permasalahan bermula dari status tanah yang secara administrasi tercatat milik pemerintah sejak tahun 2005. Hal ini membuat pemerintah tidak dapat memberikan ganti rugi secara hukum.
Namun, DPRD Tarakan bergerak cepat mencari solusi alternatif dengan memanggil kontraktor proyek.

“Inisiatif kami di DPRD adalah memanggil kontraktor untuk membantu atau menyisipkan keuntungan mereka untuk mengganti tanaman tumbuh masyarakat yang terkena pengerjaan proyek,” ujarnya.
Setelah melalui tiga kali pertemuan yang intensif, akhirnya kontraktor menyanggupi permintaan tersebut. Masyarakat yang terdampak pun sepakat dengan ganti rugi yang ditawarkan sesuai kemampuan kontraktor.
Namun, permasalahan tidak berhenti di situ. Status kepemilikan tanah kembali menjadi polemik ketika pemilik lahan mengklaim telah memiliki surat kepemilikan. Adyansa menegaskan pihaknya akan mempelajari kembali terkait kepemilikan tanah ini.
Total ganti rugi yang diperkirakan mencapai sekitar Rp 60 juta, dihitung oleh kontraktor berdasarkan Perwali tahun 2011. Jumlah ganti rugi bervariasi untuk setiap orang yang terdampak.
Adyansa berharap kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi DPRD dan pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam mengantisipasi dampak proyek pembangunan terhadap masyarakat.
“Harapannya ke depan ini menjadi pelajaran bagi kami di DPRD dan juga pemerintah untuk mengantisipasi jangan sampai merobohkan atau menggusur tanaman masyarakat tanpa memberitahukan biaya ganti ruginya,” tegasnya.
Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya transparansi dan komunikasi yang baik antara pemerintah, kontraktor, dan masyarakat dalam setiap proyek pembangunan. Jangan sampai kepentingan masyarakat terabaikan demi kepentingan proyek semata. (nri)