Film Bedindang Bedibuay, Refleksi Peran Perempuan Tidung Dalam Ruang Kebudayaan
JAKARTA – Kemendikbudristek RI melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media, yakni Indonesiana.TV mengadakan open call layar cerita perempuan Indonesia (LCPI) 2023 beberapa waktu lalu.
Kegiatan ini merupakan kompetisi film pendek fiksi dalam bentuk proposal ide cerita yang dikurasi agar dapat pendanaan langsung dari negara untuk memproduksi film pendek fiksi.
Ratusan sineas yang berasal dari seluruh Indonesia, bertarung menjadi yang terbaik agar proposalnya terpilih. Usai proses kurasi yang melibatkan para kurator profesional untuk menilai setiap proyek, terpilih 18 ide cerita dari berbagai kebudayaan di Indonesia.
Salah satu yang terpilih adalah ide cerita yang berasal dari kota Tarakan, Kalimantan Utara. Yakni, film Bedindang Bedibuay oleh Rohil Fidiawan dan Taufan Agustiyan Prakoso.
Open call layar cerita perempuan ini konsen di isu kebudayaan yang mengedepankan seni lisan oleh perempuan dan terjaring dari 10 kategori Objek Pelestarian Kebudayaan (OPK).
Rohil Fidiawan, Produser film menilai, Bedindang Bedibuay memiliki makna dalam akan doa-doa dan harapan kebaikan orang tua kepada anak di masa depan.
“Film ini akan jadi spesial bagi masyarakat Kalimantan Utara. Secara universal, Bedindang Bedibuay kuat akan unsur seni dan syariat islam secara sederhana dengan lirik doa yang terkandung,” katanya, Kamis (28/9/2023).
Tumbuh dan besar dilingkungan masyarakat Tidung dan Bulungan, ia merasakan kuatnya masyarakat Kaltara akan unsur budaya tutur dan bercerita. Ini menjadi refresentatif ingatan sang produser dimasa kecil.
“Bukan sekedar tutur lisan dan penghantar tidur untuk anak, Bedindang Bedibuay merupakan cara-cara sederhana orang tua Tidung akan harapan baik di masa depan kepada anak,” bebernya.
Ia menambahkan, Produser dan Sutradara Bedindang Bedibuay baru saja menyelesaikan bimbingan teknis (Bimtek) yang dilaksanakan di Jakarta terhadap 18 film lainnya, (20-23/9/2023) lalu. Hal ini terkait kelengkapan administrasi soal perizinan film, lembaga sensor film, dan pemantapan skenario yang melibatkan kurator andalan Indonesia.
Kegiatan ini juga dihadiri dan dibuka langsung oleh, Sekretaris Dirjen Kebudayaan, Kemendikbudristek RI, Fitra Arda.
“Kita baru saja melaksanakan bimtek, hal ini terkait tertibnya aturan pembuatan film di Indonesia hari ini. Mulai dari perizinan hingga lembaga sensor sesuai kategori usia segmentasi penonton pada film,” ujarnya.
“Kita juga dihadirikan kurator terbaik Indonesia ya. Ada materi Script Development dari penulis ternama Visinema Picture, M. Irfan Ramli, lalu dilanjutkan dengan materi Directing Film oleh ketua asosiasi IFDC atau ketua asosiasi sutradara se-Indonesia, Agung Sentausa, ketua ADN (Asosiasi Dokumenter Nusantara), Tonny Trimarsanto, kemudian ada pak Agus Makkie, dan pak Lianto Luseno,” tambahnya.
Lanjutnya, film ini mengadaptasi cerita latar belakang seniman asli kota Tarakan, Usman Najrid Maulana. Saat konflik kepulangan lulusan sekolah seni ke kampung halaman, dihadapkan dengan tantangan melanjutkan kekaryaan.
“Ini merupakan cerita nelayan suku Tidung yang sangat sederhana ya, yang terinspirasi dari seniman Usman. Berlatar belakang keluarga nelayan suku Tidung, melibatkan konflik sederahan perempuan suku Tidung bergelar sarjana seni,” ungkapnya.
Rencananya, film ini akan diproduksi pada minggu kedua di bulan Oktober 2023 nanti. Rohil menyebut, akan melibatkan puluhan kru dan penampilan kelompok Ina-ina Nurjalin milik Usman Najrid Maulana dari Paguntengara Artploration.
“Dari timeline, shooting dilaksanakan bulan depan. Semoga tidak meleset dari jadwal,” ucapnya.
Selain itu, Sutradara Film Bedindang Bedibuay, Taufan Agustiyan, mengatakan, cerita tentang Bedindang Bedibuay ini tak lepas dari perjalanannya saat mengerjakan film dokumenter dan menjelajahi separuh lebih wilayah nusantara.
“Perjalanan saya sebagai sutradara film dokumenter, menemui ragam seni budaya baik sifatnya atraktif, dekoratif, maupun naratif. Ada beberapa kesamaan diantara suku budaya di Indonesia, salah satunya seni tutur, baik berupa hikayat, macopat, dongeng, dan ragam bentuk lainnya dan memiliki pesan kuat dan filosofis sebagai pegangan tata nilai bermasyarakat,” imbuhnya.
Bedindang Bedibuay menurut Taufan, merupakan seni tutur suku Tidung yang menarik perhatiannya. Hal ini karena hikayat yang dilantunkan untuk menidurkan anak adalah upaya “Menyelipkan” nilai leluhur kepada pikiran anak.
“Dengan harapan meresap kedalam bawah sadar, dan menjadi bagian penting dari pendidikan karakter bagi si anak,” ujarnya.
Menurut Taufan, film ini akan berbicara tentang bagaimana perempuan Tidung mengambil peran penting bagi ruang kebudayaan, bukan hanya penyokong ekonomi keluarga.
“Perempuan memiliki cara unik untuk terus melestarikan tradisi. Menceritakan perempuan yang modern dan progresif mengantarkan saya untuk pulang dan membangun budaya masyarakat,” tutupnya.(*)