ISTILAH Timur Tengah baru telah digunakan oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, baru-baru ini. Dalam forum internasional, Netanyahu menunjukkan dua buah peta Israel dan kawasan sekitarnya. Dalam peta itu, tidak ada sama sekali nama maupun wilayah Palestina. Upaya Israel untuk mengubah tatanan kekuasaan regional dan merestrukturisasi peta politik bukanlah hal baru.
Namun, dinamika kawasan yang semakin kompleks dan eskalasi konflik pasca serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 dan direspons dengan serangan Israel ke Gaza selama 12 bulan terakhir telah meyakinkan banyak pihak di Israel bahwa tujuan tersebut kini lebih realistis untuk dicapai.
Peta Israel yang kontroversial
Dalam pidatonya baru-baru ini di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Netanyahu menampilkan peta pertama, yang mencakup wilayah berwarna hijau untuk negara-negara yang memiliki perjanjian damai dengan Israel atau sedang dalam negosiasi untuk menormalisasi hubungan dengan Israel.
Peta yang dinamai “karunia” itu memuat negara-negara mencakup Mesir, Sudan, Uni Emirat Arab (UEA), Arab Saudi, Bahrain, dan Yordania. Sedangkan peta kedua menunjukkan wilayah yang diwarnai hitam. Netanyahu menyebutnya sebagai wilayah “kutukan”. Peta itu mencakup Iran dan sekutunya di wilayah tersebut: Suriah, Irak, dan Yaman, serta Lebanon.
EPAPerdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menunjukkan peta wilayah “kutukan” ketika berbicara di Sidang Umum PBB di New York, pada 27 September 2024.
Dalam pidatonya baru-baru ini, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, memperingatkan tentang apa yang disebutnya sebagai “ambisi penuh kebencian Israel.”
Erdogan mengatakan, “Mereka [Israel] akan menginginkan tanah air kita di antara Tigris dan Efrat. Dan secara terbuka menyatakan melalui peta yang mereka tunjukkan bahwa mereka tidak akan puas dengan Gaza.”
Yezid Sayigh, peneliti senior dari Carnegie Middle East Center, ragu bahwa ambisi pemerintahan Netanyahu itu merupakan indikasi dari agenda langsung atau tujuan sebenarnya.
Sayigh memprediksi bahwa “Timur Tengah baru yang Netanyahu upayakan saat ini adalah tentang memungkinkan Israel menjajah sisa wilayah Palestina.”
Hal itu terlihat dari upaya Israel yang ‘tidak malu’ dalam memperluas proyek permukimannya, terutama di Tepi Barat.
Ditambah lagi, Israel juga telah secara terbuka mengumumkan niatnya untuk meningkatkan jumlah permukiman, meskipun ada kritik dari Arab dan dunia internasional.
“Ada sejumlah menteri dalam pemerintahan sayap kanan Israel yang tidak percaya pada solusi dua negara, dan sekarang kita tampaknya semakin jauh dari solusi negara Palestina sejak Perjanjian Oslo pada 1993.”
EPAPerdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menunjukkan dua peta wilayah Timur Tengah yang dia namai “berkah” dan “kutukan” ketika berbicara di Sidang Umum PBB New York, pada 27 September 2024.
“Tetapi saya tidak berpikir Amerika Serikat akan menyetujui peta Israel iniyang tidak mencakup wilayah Palestina,” kata David Schenker, peneliti senior di Washington Institute for Near East Policy.
Sebelumnya, Schenker menjabat sebagai asisten menteri luar negeri untuk urusan wilayah timur dekat.
“Pandangan Israel terhadap Timur Tengah baru adalah wilayah yang bebas dari ancaman Iran,” kata Schenker.
Timur Tengah tanpa ‘ancaman Iran’
Berbicara kepada BBC, Miri Eisen, pakar keamanan dan pensiunan perwira intelijen Israel, mengatakan: “Israel tidak ingin memaksakan Timur Tengah yang baru, tetapi untuk memastikan rezim mullah di Iran tidak mendefinisikan tatanan regional.”
“Kata-kata Netanyahu ditujukan untuk mengakhiri program nuklir Iran dan memulihkan posisi historisnya setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menyebabkannya [Netanyahu] malu secara global,” kata Sayigh.
Pembunuhan pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallahsetelah serangan besar-besaran Israel yang menargetkan jantung pinggiran selatan Beirutdipandang sebagai titik balik ketegangan geopolitik dalam perang tersebut.
Iran menembakkan rangkaian rudal balistik ke Israel. Negara itu menggunakan berbagai senjata yang telah lama membuat khawatir Barat, sebagai respons atas pembunuhan kepala politik Hamas, Ismail Haniyeh di wilayahnya.
Di sisi lain, Israel berjanji untuk menanggapi serangan Iran pada waktu yang dipilihnya sendiri.
Solusi militer tidaklah cukup
Amerika Serikat (AS) memberikan dukungan signifikan kepada Israel untuk memastikan keunggulan strategisnya. AS juga telah mengintensifkan kehadiran militernya di kawasan tersebut, mengingat meningkatnya ketegangan belakangan.
Namun, dukungan ini menyaratkan Israel agar tidak melewati batas merah yang diulang-ulang Washington dalam pidato resminya, yaitu menargetkan proyek nuklir Iran dan solusi dua negara.
Eisen berkata: “Tindakan militer Israel dilakukan untuk melawan ekspor senjata dan ideologi Iran ke proksi-proksinya di kawasan yang mengancam Israel dan negara-negara lain, dan bertujuan untuk melemahkan kemampuan militernya.”
David Schenker, peneliti senior di Washington Institute memandang bahwa Israel mungkin telah membuat kemajuan dalam melumpuhkan proksi Iran di kawasan tersebut. Tetapi, dia ragu bahwa Israel dapat menciptakan tatanan baru tanpa dukungan negara-negara Arab.
“Hamas dapat bangkit kembali tanpa otoritas Palestina, upaya Arab dan diplomasi internasional, serta begitu pula Hizbullah tanpa upaya masyarakat Lebanon.”
Eisen menganalisis bahwa Israel berupaya memperkuat kemitraan keamanan, ekonomi, dan bahkan teknologi dengan para sekutu yang memiliki persepsi sama tentang “ancaman Iran”.
Selama beberapa tahun terakhir, Washington telah memimpin proyek normalisasi di kawasan tersebut, dengan menawarkan bantuan ekonomi hingga militer.
AS mempromosikan gagasan bahwa Israel bukanlah ancaman regional bagi negara-negara Arab, tetapi sebaliknya, mitra strategis dalam menghadapi Iran.
Laju normalisasi hubungan negara-negara di kawasan dengan Israel telah meningkat selama empat tahun terakhir.
Maroko, UEA, dan Bahrain telah menandatangani ‘Perjanjian Abraham’ dengan Israel, tetapi tersendat sejak serangan 7 Oktober 2023 dan serangan Israel di Gaza berikutnya.
Israel telah berupaya menormalisasi hubungan dengan Arab Saudi yang menentang meningkatnya keterlibatan dan pengaruh Iran yang mayoritas Syiah di kawasan tersebut. Arab Saudi juga takut akan hegemoni Iran di Timur Tengah.
Namun, Arab Saudi telah secara resmi menyatakan dalam sebuah artikel di Financial Times bahwa negara itu tidak akan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel sampai negara Palestina didirikan.
Sebelum 7 Oktober 2023, pergeseran geopolitik dan ekonomi telah memainkan peran besar dalam mengubah sikap sejumlah negara Arab seperti Mesir, Suriah, Lebanon, dan Yordania.
Negara-negara itu sebelumnya menolak mengakui Israelsebagai protes atas pemisahan Palestinausai negara itu dideklarasikan pada tahun 1948.
“Tidak diragukan lagi bahwa negara-negara ini bersimpati ke Palestina, tapi mereka menemukan Israel bukanlah satu-satunya masalah. Ada juga para pembuat keputusan di Palestina.”
“Akhirnya negara-negara ini memutuskan untuk mengutamakan kepentingan mereka sendiri daripada menghubungkan normalisasi dengan konflik Palestina dan Israel,” kata Schenker.
Kemitraan ekonomi
Kesepakatan dan perjanjian Israel dengan negara-negara Timur Tengah ini diumumkan sebelum 7 Oktober 2023, mencakup investasi dalam pertahanan, keamanan siber, teknologi finansial, dan energi.
Namun, perang sejak 7 Oktober 2023 mungkin telah memperlambat volume kerja sama perdagangan antara Israel dan mitra barunya dari negara-negara Arab.
Walau demikian, data resmi Israel mengungkapkan bahwa perdagangan antara Israel dan lima negara Arab meningkat selama paruh pertama tahun fiskal ini, dipimpin oleh UEA, Mesir, Bahrain, dan Maroko.
Surat kabar Israel Maariv mengungkapkan sebuah perjanjian telah ditandatangani antara UEA dan Israel untuk membungun rute perdagangan antara kedua negara, yang melewati Arab Saudi dan Yordania, dan juga meluas ke Mesir.
Gas Israel juga merupakan sumber pasokan utama untuk beberapa jaringan listrik Mesir.
“Israel harus menggabungkan diplomasi, kemitraan ekonomi, dan tindakan pertahanan dan militer yang kuat untuk membentuk tatanan regional baru,” kata Schenker.
“Perubahan di Timur Tengah tidak dapat dilihat secara terpisah dari situasi internasional, yaitu konflik internasional lainnya antara AS, Rusia, dan China, serta perubahan politik dalam negeri di Eropa,” kata Sayigh.
Peneliti dari Carnegie itu khawatir dengan percepatan perubahan regional dan globa, yang semuanya berkontribusi pada percepatan tren global menuju konflik. (ita)
Leave a review