TARAKAN – Permasalahan harga udang yang banyak dikeluhkan petani tambak menjadi perhatian khusus bagi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kalimantan Utara.

Dikatakan Peter Setiawan Ketua DPP Apindo Kaltara, permasalahan harga udang perlu diurai dari hulu ke hilir. Seperti diketahui, petani tambak juga masuk dalam kategori pengusaha, sama seperti supplier (pos pembelian udang) dan pabrik (cold storage).
“Jadi semua yang bidangnya bekerja untuk menghasilkan sesuatu termasuk udang, itu masuk dalam lingkup pengusaha,” tuturnya.

Dijelaskan Peter, ketika berbicara mengenai pengusaha udang, maka harus dibahas dari hulu terlebih dahulu yaitu petambak. Dengan adanya kenaikan BBM memberikan pengaruh untuk cost operasional lebih tinggi dari biasanya. Belum lagi bibit hingga pupuk yang tidak mendapatkan subsidi sama sekali.

Baca juga: https://facesia.com/tiga-cold-storage-sepakat-naikkan-harga-udang/
“Petambak punya risiko besar, jika gagal panen atau harga murah maka tidak bisa menutup cost oeperasional,” ujarnya.
Sama halnya dengan supplier, lanjut Peter. Mereka juga memiliki risiko yang sama dengan memberikan pinjaman ke petambak. Sebab, jika hasil panen petambak gagal maka modal yang sudah dipinjamkan akan madek.
Sementara, untuk hilir atau pabrik, harga sudah tidak seperti pada tahun 1998. Meski waktu itu krisis moneter, tapi hanya di Indonesia saja, bukan krisis ekonomi dunia.
Baca juga: https://facesia.com/kualitas-udang-menurun-penyebab-harga-anjlok/
“Jadi ketika dollar naik, Tarakan happy semua. Petambak senang, supplier senang, pabrik juga senang. Sekarang kan tidak begitu lagi. Apalagi sejak perang Ukraina vs Rusia memberikan dampak yang sangat besar sekali. Mulai mata uang yang turun hingga permintaan juga menurun,” jelasnya.
“Saat ini, keluhan dari pabrik adalah pasar Amerika Serikat sudah setop untuk membeli udang. Karena mereka merasa inflasi tinggi dan resesi global di dunia. Mereka tidak makan bahan pokoknya udang, jadi mereka beralih ke ayam,” lanjutnya.
Sementara itu, pasar ekspor terbesar untuk udang windu adalah Jepang. Kondisi saat ini, mata uang Jepang mulai merosot, sehingga situasi ini serba salah. Ketika pabrik beli berdasarkan PO maka dampaknya lebih besar ke petambak.
“Akhirnya pabrik juga dilema sekali. Jika beli, gak bisa jual, stoknya banyak. Putarannya tidak bisa cepat, maka petambak juga susah. Maka kita harus berpikir global, jangan berpikir ego masing-masing,” ujarnya.
Baca juga: https://facesia.com/harga-udang-anjlok-petambak-menjerit/
Ketua DPP Apindo Kaltara ini menegaskan, mengenai isu permainan harga di pabrik, itu tidak bisa terjadi. Ia mencontohkan, dirinya juga merupakan pemain dengan 3 saudara untuk cold storage di Tarakan. Yakni PT SKA, PT Sabindo dan PT Mustika Minanusa Aurora.
“Meski kami bertiga bersaudara, tapi tidak bisa bersatu. Sebab kita bersaing. Ini bisnis. Kalau ada yang bilang, wah ini kok bisa harga sama, karena memang buyer sama. Hanya saja mereka kadang belinya di Mustika, kadang di SKA atau Sabindo. Ini buyernya sama bukan masing-masing cold storage punya buyer yang berbeda. Makanya harga sama,” tegasnya.
Ia membeberkan, ketika di lakukan pertemuan dengan pihak Apindo, cold storage, petambak dan pemerintah Kota Tarakan dalam hal ini DPRD dan walikota, pada Minggu (25/9/2022) maka diputuskan untuk menaikkan harga udang. Udang windu dengan size 20 harga naik Rp 15.000 dan size di bawahnya naik Rp 10.000.
“Kenaikan ini untuk harga tabel dan komisi tetap. Karena komisi untuk petambak ini tetap maka komisi supplier memang harus turun,” tuturnya.
Meski demikian, ia tidak menyalahkan supplier karena mereka juga mencari keuntungan dengan cara mereka sendiri. Seperti mixing size dan lainnya.
“Untuk petambak kan murni masuk ke pabrik. Jika size 20 itu gak ada campuran dengan size lain. Kalau dari supplier mungkin untuk size 20 ada campuran size 50, 60 dan lainnya. Itu teknik dari mereka karena semua cari untung. Tapi tidak masalah, yang penting kita timbang, kalau cocok yah di beli, jika tidak cocok jangan di beli,” tuturnya.
Terkait permasalahan harga udang yang terjadi saat ini, menurutnya kita tidak dapat menyalahkan siapa pun. Sebab, penyebabnya adalah krisis dunia. Jika ada yang berpatokan dari harga dollar, misalnya harga dollar naik tapi harga udang turun, bukan itu penyebabnya.
“Penyebabnya adalah tidak ada buyer, tidak ada pembeli. Saat ini size kecil seperti 50 dan 60, itu susah jual. Apalagi India ada teknologi baru, untuk size 20 bisa dihasilkan dalam waktu 4 bulan, dia jual dengan harga murah. Imbasnya Indonesia rugi lagi karena mereka tidak mau beli yang mahal, mereka cari yang murah,” paparnya.
Itu beberapa masalah yang sedang dihadapi terkait ekspor udang. Untuk itu, Ketua DPP Apindo Kaltara ini berharap agar komunikasi antara petambak, supplier dan pabrik ini harus lebih intens.
“Saya berpesan kita duduk bersama, komunikasi yang baik. Sebab jika tidak ada komunikasi maka muncul persepsi yang salah,” imbuhnya.
Rencananya, kedepan Apindo akan membuat agenda untuk duduk bersama antara petambak, supplier dan pabrik. “Ini hanya komunikasi saja. Kalau komunikasi lancar, aman terarah, itu sangat bagus,” ujarnya.
Sebab, menurut Peter jika memaksakan pabrik menaikkan harga tinggi, petambak akan happy tapi pabrik yang mati. Ini merupakan satu rangkaian yang harus berjalan bersama. Jika ada yang mengatakan pabrik bisa memainkan harga, itu tidak bisa dibenarkan karena setiap pabrik mempunyai hitungan tersendiri.
“Contoh Mustika perusahaan besar, karyarwan besar otomatis cost yang dikeluarkan juga tinggi. Misalnya air susutnya berapa dan lainnya. Jadi beda beda pabrik, beda hitungan dan tidak bisa disamaakan,” jelasnya.
Dalam pertemuan dengan petambak beberapa hari lalu, ia juga menawarkan jika petambak menginginkan harga tabel masing-masing perusahaan, tidak satu harga lagi maka bisa saja.
“Siapa yang cocok dengan harga kita silahkan datang, kalau gak yah gak kami beli. Karena kasihan juga dengan perusahaan ini, terlebih sebentar lagi akan ada pembahasan UMP-UMK. Dengan adanya kenaikan BBM sebesar 30 persen, buruh menuntut kenaikan upah sebesar 15 persen,” ujarnya.
Posisi Apindo harus berada di tengah, disatu sisi melihat kebutuhan buruh, di sisi lain perusahaan harus tetap jalan agar tidak ada pengurangan pegawai akibat dari kenaikan gaji yang tinggi.
“Jika perusahaan tidak sanggup bayar, terjadi pengurangan karyawan. Akhirnya menimbulkan masalah lagi,” terangnya.
Dari informasi yang beredar, tahun 2023 kita diimbau untuk berhati-hati karena bahan makanan mulai merangkak naik. Dari beberapa petambak juga sudah mengeluh karena terlalu banyak kebutuhan. Dengan adanya kenaikan harga, biaya operasional tidak menutup dengan hasil panen yang ada.
“Jadi jika ada yang bilang ada permainan harga itu saya bantah. Pemerintah juga tidak bisa mengintervensi untuk menstabilkan harga udang. Waktu rapat kemarin, saya ada dengar bahwa Gubernur membuat janji politik untuk stabilitas harga udang. Pemerintah tidak bisa masuk ke situ karena ini bisnis to bisnis, pemerintah hanya fasilitator. Sama halnya dengan Apindo hanya sebatas fasilitator antar pengusaha,” bebernya.
“Sekarang kalau ada yang mau produksi, pabrik saya boleh dipakai. Kemarin saya sudah bicara dengan Perumda agrobisnis, katanya ada orang Malaysia ingin berinvestasi, saya bilang boleh. Jadi pemerintah bisa hitung juga, rugi atau untung. Pabrik saya ingin dipakai oleh Perumda, boleh. Saya siap, saya akan membantu petambak,” ujarnya.
Ia hanya memposisikan dirinya sebagai fasilitator antar pengusaha. Sehingga semua dapat berjalan tanpa ada yang merasa dirugikan.
“Saya pengusaha, saya tetap membela apa yang ada saya sampaikan. Saya juga tidak menyalahkan supplier terkait bagaimana cara mereka agar untung. Mereka punya sistem dan perusahaan juga punya, untuk sama-sama mencari keutungan,” tambahnya.
Selain masalah udang, Peter juga menuturkan ada masalah lain yang harus dipikirkan. Yakni induk hatchery yang tidak ada di Tarakan sehingga harus diambil dari luar. Dan ini akan menambah cost opersional.
“Ini gunanya harus duduk bersama. Bibit dari Surabaya mahal. Kasihan juga petambak. Kalau mereka teriak kami paham. Inilah peran pemerintah, kita duduk bareng mencari solusi. Ini kan ada tol laut, saya programkan kita gunakan ini. Namun biaya kontainer naik 300 persen untuk ekspor dan petambak tidak mau tahu ini,” ungkapnya.
Melemahnya nilai tukar rupiah, berbanding lurus dengan turunnya permintaan dari buyer. Peter memaparkan, berdasarkan data ekspor tahun 2021 dari Januari – Desember nilai ekspornya 14.095 ton. Sementara, saat ini dari Januari-Agustus baru 7.795.632 kg.
“Kalau perhitungan sementara sampai dengan akhir Desember bisa tembus 11 .000 ton, berarti ada penurunan hampir 3000 ton,” jelasnya.
Menurutnya, krisis ekonomi global sangat berpengaruh terhadap perekonomian dunia. Beruntung, Indonesia kaya akan hasil laut.
“Kita bersyukur Indonesia ini kaya. Banyak yang bisa digarap seperti pertahanan pangan juga laut masih kaya. Tidak seperti negara lain, saat ini sudah ada 30 negara yang bangkrut, bahkan Perdana Menteri Sri Langka sudah melarikan diri karena krisis ekonomi,” ungkapnya.(sha)